"Oh, nyari Papah yah. Sebentar saya panggilkan, beliau ada di kamar, silahkan duduk dulu", ucapnya datar.
"Terimakasih", jawab saya sambil duduk.
Tak lama kemudian ayahku muncul dari dalam kamar. Tampak wajah yang dipenuhi oleh garis-garis tua dan kerutan di sekeliling matanya. Kemudian dia duduk di hadapanku tanpa sepatah katapun.
"Minal aidzin wal faidzin, Pah", ucapku sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman sambil membungkukkan tangan.
"Sama-sama", jawab ayahku sambil menerima uluran tanganku dingin.
"Mah, air", ucapnya ketika sudah duduk di kursi, kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lama kemudian Ibu Tiriku datang membawa air dan kue lebaran dan serta meletakannya di meja. Setelah itu dia berlalu dari hadapan kami, kembali asyik dengan acara tivi di ruang tengah.
"Ayo diminum", ucap ayahku. Kembali nada bicaranya datar tanpa ekspresi.
"Terimakasih", jawabku.
Setelah minum air putih yang disuguhkan, akupun merokok. Selama lima menit kami saling berdiam diri, hanya hembusan asap rokok yang saling berpautan mewakili keadaan kami saat itu.
"Gimana kabarnya Pah, baik-baik sajakah?", tanyaku. Kesal dengan kebisuan yang terjadi antara kami.
"Baik", jawabnya. Kembali kuterima sebuah jawaban yang dingin, hingga membuatku kebingungan. Apa yang harus kulakukan agar suasana kaku ini mencair.