Kembali, kami diam. Aku menunggu ayahku menanyakan keadaanku, menanyakan aku kerja dimana, kapan pulang atau pertanyaan apa saja layaknya seorang ayah kepada anaknya. Apalagi kami selama ini tidak pernah dekat. Bertahun-tahun, aku ditinggalkan bersama ibuku, tak pernah dia memperhatikan hidup apalagi memberi nafkah kepada anaknya, yaitu aku.
"Ayo diminum", ucapnya.
"Iyah"
Apakah hanya itu saja yang bisa engkau ucapkan ayah. Apakah kau tidak rindu padaku, apakah aku ini anakmu, apakah kita orang asing dan apakah-apakah lainnya bergelayut dalam pikiranku. Hingga setengah jam berlalu, kebisuan ini membuatku bosan, membuatku muak dan ingin menyudahinya.
"Pah, aku pamit", ucapku.
"Oh gituh. Mah, mau pamit nih", jawabnya. Tak ada namaku disebut dan aku tidak ditahannya untuk cepat-cepat pulang. Ingin rasanya aku berteriak dengan keadaan ini, mengapa bisa terjadi seperti ini.
Akhirnya aku keluar dari rumahnya dengan kesedihan yang tak terucap. Kututup pintu pagar itu sambil melangkah ke jalan. Tiba-tiba lewat motor dengan pengendara yang terdiri dari bapak-bapak di depan, anak kecil di tengah dan seorang ibu-ibu di belakang. Sepertinya mereka adalah keluarga. Tampak mereka tertawa-tawa sambil bercanda, terdengar hangat sekali. Suasana yang sangat kurindukan selama 15 tahun ini.
Tak terasa air mata mengalir di sudut mata berkaca-kaca.
"Lihat Pah, itu mereka. Itu keluarga yang kuinginkan. Biarlah kau tidak mengurus hidupku selama bertahun-tahun. Biarlah kau tidak tahu ketika aku sakit, kepayahan, menangis dan berjuang sendirian. Biarlah itu kesalahanmu di masa lalu aku sudah memaafkanmu. Namun, saat ini aku ada di sini, di rumahmu. Mencari kehangatan yang tak kau berikan selama itu, tak kau berikan juga kepadaku walau setitik. Pah, apakah engkau ayahku", tangisku dalam batin.
Duhai Engkau yang mempunyai lara.
Tidakkah engkau memberikanku bahagia
Hanya setitik yang aku butuhkan
Agar kosongnya hati ini sirna
Kau berikan aku kekuatan
Untuk menghadapi lara musim ini
Namun mengapa musim duka ini selalu datang
Tidakkah kau berikanku musim bahagia walau hanya sekali