Mohon tunggu...
Eka Murti
Eka Murti Mohon Tunggu... -

Penikmat sastra dan pecandu teh hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Bukan Kuliner] Antara Aku, Kau dan Cilok

11 Juni 2016   14:27 Diperbarui: 11 Juni 2016   14:32 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai seorang Editor yang sibuk Sekar terkenal sangat teliti, saklek dan galak. Segala seuatu harus sesempurna EYD yang sekarang sudah berubah menjadi EBI (kok jadi seperti udang kering ya…). Penempatan titik dan koma diperhatikan dengan teliti apalagi sekadar penempatan vas bunga di kubikelnya. Ruang kecil itu dipenuhi aneka buku dan naskah yang diatur secara sistematis meski pun berjubel tetap terlihat rapi. Segala hal terkait Sekar adalah kerapihan dan keteraturan. Dia meletakkan pensil, pulpen dan kertas berdasarkan warna dan ukuran. Semua dikerjakan sesuai jadwal yang sudah dibuatnya.

Bahkan makan sehari-hari pun telah terjadwal dengan ketat. Senin adalah hari ikan air tawar, Selasa aneka daging merah, Rabu giliran daging putih, Kamis harinya makanan laut, Jumat waktunya aneka sayur, Sabtu dan Minggu bebas (karena sering banyak undangan dan Sekar tetap tidak mau rugi). Demikian juga untuk aneka cemilan pun mendapat jadwal tersendiri. Jika ada yang tidak sesuai dengan aturannya pasti langsung membuat Sekar uring-uringan.

Kali ini sekar sedang mengerjakan karya seorang penulis baru yang berasal dari luar kota. Sebenarnya dia tidak perlu bertatap muka secara langsung dengan sang penulis, cukup via email atau sarana media sosial lainnya. Namun sang penulis yang berasal dari kota Malang itu bersikeras ingin bertemu dengan Sekar karena tidak terima karya besarnya dipangkas hingga nyaris bersisa seperempat bagian saja. Perseteruan itu berlangsung alot hingga akhirnya si penulis memutuskan untuk menemuinya secara langsung.

Hal ini menyebabkan Sekar uring-uringan sepanjang hari karena kredibilitasnya sebagai editor dipertanyakan.

“Nyuk, kemana sih, Rudie? Gue mau minta tolong dia fotokopi malah ngilang,” tanya Sekar pada Arista yang sedang khusyuk membaca sebuah naskah puisi.

“Nggak tahu juga,” jawabnya cuek.

“Nyuk, itu buku-buku dirapihin kenapa sih?”

“Ya ampun Moy, kenapa sih ngurusin buku gue. Udah deh, kalau senewen sama si penulis itu jangan dilampiasin ke orang lain dong.” Arista merasa terganggu saat Sekar mulai mengkritik kerapihan meja kerjanya.

 Sekar menyerah lalu meninggakan Arista yang tetap asyik dengan bacaannya. Dia memutuskan untuk keluar kantor mencari udara segar. Saat melawati meja resepsionis Ita berseru memanggilnya, “Mbak Sekar, ada tamu tuh.”

“Siapa?”

“Namanya  Pairun.”

“Ah, nggak kenal. Mau ngapain?”

“Katanya dia itu penulis yang bukunya lagi Mbak Sekar garap. Tuh, orangnya nunggu di ruang tamu,” jawab Ita seraya memberi kode agar Sekar mengikuti petunjuknya pada seorang lelaki yang sedang duduk di kursi tamu.

“Yang berewokan itu?”

“Iya, Mbak. Tapi nggak usah takut biarpun kelihatannya serem kalau ngomong medok banget jadi lucu,” sahut Ita seraya terkekeh geli.

Dengan enggan Sekar mendekati tamunya dan tanpa basa-basi lagi langsung bertanya, “Mas Pairun ya?”

“Iya, Mbak,” sahutnya dengan logat khas Jawa Timur.

Sekar langsung duduk di seberang Pairun dibatasi sebuah meja kaca bundar.

“Jadi gimana? Masih nggak terima saya edit? Mas Pairun bisa cari editor lain saja kalau begitu,” kata Sekar langsung pada pokok permasalahan dengan nada tinggi.

“Waduh, jangan marah, kan kita bisa bicara baik-baik. Memang menyakitkan saat karya saya dipangkas seperti itu, tapi kan bisa dibicarakan dulu.”

“Terus maunya apa?” tanya Sekar sengit.

“Paling tidak mbak Sekar juga mempertimbangkan poin-poin yang ingin saya pertahankan. Itu kan murni ide saya mbak, kalau dihilangkan nanti tidak sesuai dengan yang ingin saya sampaikan,” jawab Pairun dengan perlahan.

“Kamu boleh saja mempertahankan idenya tapi cara penyampaiannya harus dirubah, kalau tetap seperti itu secara keseluruhan sangat mengganggu.”

“Terus saya harus gimana lagi? Saya bisanya ya hanya itu saja.”

“Usaha lah, cari ide lain agar ceritanya lebih mudah diterima pembaca.”

Tiba-tiba Pairun bangkit dari kursinya yang membuat Sekar pun otomatis berdiri.

“Apa-apaan nih?”

“Oh, saya hanya mau kasih ini saja mbak,” sahutnya dengan kalem seraya menyerahkan kantong kresek yang tadi diletakkan di meja.

“Apaan ini? Bikin kaget saja,” gerutu Sekar jengkel.

“Cilok. Ini saya bawa dari Bandung tadi sebelum ke Jakarta saya sengaja mampir dulu di sana. Kan ini kesukaan Mbak Sekar.”

“Maaf. Tapi saya tidak bisa menerimanya. Sudah ya saya harus balik kerja lagi.”

Sekar langsung meninggalkan Pairun yang terbengong-bengong begitu saja.

Lalu Ita si Resepsonis datang menghampiri.

“Mas, jangan putus asa, lusa datang lagi saja.”

“Tapi dia sudah marah dan nolak cilok yang saya bawa. Lusa datang juga percuma kan?”

“Kalau lusa pasti diterima deh, hari ini bukan jadwal makan cilok soalnya.”

“Hah?! Makan cilok aja pake dijadwal?”

“Mbak Sekar itu semua dijadwal. Biarpun dia suka banget sama cilok tapi kalau bukan harinya ya pasti ditolak. Makanya dia jadi jutek soalnya itu kan kesukaan dia.”

“Oh, gitu. Oke deh, nanti saya balik lagi. Trims ya.”

***

Lusanya Pairun datang lagi. Kali ini dengan tekad yang lebih kuat untuk membicarakan naskahnya agar dipertimbangkan lagi.

“Ada apa lagi, Mas?” tanya Sekar saat menemui Pairun di ruang tamu kantornya.

“Mbak sudah baca revisi saya kan, jadi gimana? Bisa dipertimbangkan kan?”

“Masih ada beberapa perbaikan yang harus dikerjakan lagi. Saya butuh kerja samanya. Tapi nggak perlu juga selalu datang ke kantor.”

“Oh, kalau itu sih karena saya mau ngasih cilok sekalian, Mbak. Yang ini bukan dari Bandung tapi dijamin enak, bener deh,” sahut Pairun seraya menyorongkan sebuah baskom.

Sekar takjub melihat begitu banyak cilok dihadapannya. Dan menerima baskom itu dengan penuh suka cita.

“Oke. Karena ini hari Rabu jadi saya terima ciloknya. Terima kasih ya,” dan Sekar pun berlenggang meninggalkan Pairun yang sekali lagi terbengong-bengong karena pembicaraan tiba-tiba berhenti begitu saja.

Baru beberapa langkah Sekar berhenti dan berbalik, “Oh, satu lagi, kalau kamu masih mau ketemu saya lagi tolong itu berewok dipangkas dan dirapikan, jangan berantakan begitu.”

Dan kembali Pairun dibuat termangu. Bukan hanya karya tulisnya saja yang kena pangkas bahkan berewok pun juga kena. “Ternyata menjadi penulis sungguh tidak mudah,” batinnya.

Jkt 110616

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun