“Ah, nggak kenal. Mau ngapain?”
“Katanya dia itu penulis yang bukunya lagi Mbak Sekar garap. Tuh, orangnya nunggu di ruang tamu,” jawab Ita seraya memberi kode agar Sekar mengikuti petunjuknya pada seorang lelaki yang sedang duduk di kursi tamu.
“Yang berewokan itu?”
“Iya, Mbak. Tapi nggak usah takut biarpun kelihatannya serem kalau ngomong medok banget jadi lucu,” sahut Ita seraya terkekeh geli.
Dengan enggan Sekar mendekati tamunya dan tanpa basa-basi lagi langsung bertanya, “Mas Pairun ya?”
“Iya, Mbak,” sahutnya dengan logat khas Jawa Timur.
Sekar langsung duduk di seberang Pairun dibatasi sebuah meja kaca bundar.
“Jadi gimana? Masih nggak terima saya edit? Mas Pairun bisa cari editor lain saja kalau begitu,” kata Sekar langsung pada pokok permasalahan dengan nada tinggi.
“Waduh, jangan marah, kan kita bisa bicara baik-baik. Memang menyakitkan saat karya saya dipangkas seperti itu, tapi kan bisa dibicarakan dulu.”
“Terus maunya apa?” tanya Sekar sengit.
“Paling tidak mbak Sekar juga mempertimbangkan poin-poin yang ingin saya pertahankan. Itu kan murni ide saya mbak, kalau dihilangkan nanti tidak sesuai dengan yang ingin saya sampaikan,” jawab Pairun dengan perlahan.