Mohon tunggu...
Dikpa Sativa Padandi
Dikpa Sativa Padandi Mohon Tunggu... -

Dikpa, gadis kelahiran tanah Luwu yang sedang mengumpulkan serpihan-serpihan mimpinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karma Losari, oleh: Dikpa Sativa

21 Juli 2013   06:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alauddin, September 2011

Ada banyak pikiran berkecamuk dalam kepalaku. Perasaan aneh juga kerap masuk diam-diam dalam hatiku. Wanita itu… aku bahagia di sampingnya. Dia adalah bayangan wanita idaman yang dulu pernah kuangankan. Mata bulat bening, hidung mancung kecil dan lesung pipi yang membuatnya terlihat makin cantik.
Kami berjanji untuk bertemu di gerbang kampusnya dan menghabiskan sore bersama. Setengah jam menunggu, akhirnya wanita itu datang, berlari-lari kecil, lalu mengembangkan senyum selebar-lebarnya. Rambut pendeknya bergerak-gerak tertiup angin.

“Eh… maaf, sudah membuatmu menunggu lama. Tidak apa-apa, kan?” ucapnya riang.

Aku hanya mengangkat bahu. Lepas beberapa jeda, kami sudah melesat membelah keramaian kota Makassar. Wanita itu tak henti-hentinya bicara. Bercerita tentang pengalamannya seharian di kampus, tentang tugas-tugas yang menumpuk, dosen yang killer, juga tentang teman-temannya yang kadang menyebalkan. Aku hanya tertawa. Sesekali menimpalinya dengan gurauan. Ah, ya Tuhan… aku sangat bahagia bisa bersamanya.
**

Terminal Daya, Oktober 2011

“Harusnya kamu tidak melakukan ini, Rein.” Ucap wanita itu pelan. Matanya lekat memandang wajah kekasihnya.

“Kamu sakit…. Jadi, aku harus mengantarmu sampai rumah.”

Wanita itu terdiam. Ada rasa tak enak menggelayut dalam hatinya. Dia merasa berat atas kemauan Rein untuk mengantarnya pulang kampung. Delapan jam perjalanan dengan ongkos yang cukup mahal. Ah… Rein, kamu begitu baik. Gumamnya dalam hati.

“Kamu belum makan, kan? Tadi aku membeli ini untuk kita.” Rein tersenyum. Menyodorkan satu bungkus makanan pada wanita itu.

Mata wanita itu lekat memandangi wajah Rein. Berkaca-kaca. Tapi, dia kemudian menyimpan tangis itu. Menahan air matanya agar tak jatuh. Di ruang tunggu keberangkatan bus, mereka menghabiskan dua bungkus makanan. Bicara dan bercerita panjang lebar. Sesekali mereka tertawa. Kebahagiaan memenuhi hati mereka.

“Bus Alam Indah tujuan Palopo kok belum datang dari tadi?” tanya Rein pada temannya, Aldi, yang juga bekerja paruh waktu di salah satu loket pembelian tiket.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun