Aku menoleh, menatap wajahnya lekat. Aku tidak cukup mengerti dengan apa yang baru saja dikatakannya. Aku menghela napas, berusaha mengatur suara, “apa maksudmu, Ir?”
“Berhentilah memanggilku Air, Rein.” Ucap wanita itu sedikit ketus.
Aku terperanjat mendengar jawabannya. Dia ingin berhenti kupanggil Air? Bukankah nama itu nama yang sangat berarti untuknya? Tanda cinta kami. Aku berusaha tak tersulut emosi. Berupaya menenangkan.
“Sunset di Losari terlalu indah untuk sebuah pertengkaran, Ir.”
“Ya. Sayangnya aku bukan wanita pertama yang kau ajak ke sini seperti janjimu…!”
“Ir… ini momen satu tahun kebersamaan kita. Harusnya kit…”
“Aku yakin kamu masih punya telinga. Berhentilah menyebutku Air.” suara itu tertekan, memotong kalimatku. Wanita itu menghela napas. Matanya berkaca-kaca, “Aku tidak pernah memaksamu untuk terus mencintaiku. Kamu tahu, kadang, kita memang tidak bisa menerka kapan cinta datang dan pergi. Bagiku, cinta adalah kemutlakan keikhlasan untuk yang dicintai. Bukan semacam paksaan. Kalau kamu mau pergi, pergilah…! Aku tidak akan menahan.”
“Aletha…” suaraku tertahan, sangat berat mengucapkan nama itu, “apa yang kamu bicarakan?” suaraku benar-benar memelan sekarang.
Plaaaaakkkkkk….
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Membentuk cap tangan kemerahan. Aku mendongakkan kepala. Sosok itu sempurna berdiri di hadapanku. Matanya beringas penuh kemarahan. Rambut pendeknya bergoyang tertiup angin. Lesung pipinya tidak lagi sempurna tergambar. Dia terus berdiri dan menatapku tajam. Jira.
“Ji... ra…?” putus-putus aku menyebut nama itu.