Wanita itu menjawab dengan ragu. Jemarinya basah. Ruang tamu kosan yang tidak terlalu besar itu seperti menguapkan resah.
“Ah… sudahlah. Kau tak harus menjawabnya sekarang.”
**
Pulau Samalona, Maret 2011
Langit cerah, biru, dengan saputan awan yang seperti kapas. Burung-burung melenguh di atas pohon. Beberapa kapal dan perahu kecil lewat, silih berganti, di kejauhan. Di sekeliling, ada sisa air yang belum tercemar, masih jernih. Sejauh mata mengitar, ada hamparan pasir putih yang berkilauan tertimpa cahaya matahari. Dari sini, kota Makassar terlihat sangat indah. Di sini, hanya ada beberapa rumah. Pulau yang sepi.
“Kamu tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?” laki-laki itu bertanya.
Wanita itu tidak menjawab. Matanya menghangat, ada tangis haru yang ingin pecah.
Laki-laki itu tak menunggu jawaban lebih lama. Dia menarik lengan si wanita, “Ke sini…!”
Di bawah sebuah pohon yang menghadap tepat ke laut, laki-laki itu berdiri layaknya di atas podium. Dia mengeluarkan secarik kertas. Mulai membacanya.
Pada mula yang tidak kita sangka, kita jatuh dalam satu pelukan
Sayangku…
Aku tak butuh perumpamaan-perumpamaan yang rumit
Karena… bukankah “kita” sederhana? Aku, kamu, cukup.
Wanita itu terduduk di atas hamparan pasir. Kali ini dia tak mampu menahan haru yang membuncah di dadanya. Air matanya menitik. Laki-laki itu mengembangkan senyum, lalu menuntun si wanita untuk berdiri. Di samping si wanita, laki-laki itu merentangkan kedua tangannya, lalu berteriak kencang-kencang.
“Aaaaaaaaaaaaaaa…!!!”