“Makan omong kosongmu, Rein. Dasar buaya…!!!” Jira berteriak kalap. Mendorong tubuhku. Aku hampir saja jatuh terjengkang. Dia lantas pergi dengan langkah-langkah lebar dan marah.
Aku tidak mengejar Jira. Bagiku, Aletha lebih penting. Aku menatap lekat wajahnya yang kuning langsat, memegang jemarinya, berusaha meyakinkan. Wajah itu kemudian tertunduk, hidung mancungnya kembang kempis seiring matanya yang basah. Sesekali dia menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi muka karena tertiup angin.
Semua terlambat. Aletha melepaskan genggamanku. Lantas berdiri dan bergegas pergi. Barangkali dia tidak semarah Jira, tapi hatinya benar-benar luka. Aku berusaha mengejarnya. Terus mencoba meyakinkannya dengan sisa kata-kata yang kupunya. Aletha bergeming dan terus mempercepat langkahnya. Menampik tanganku berkali-kali. Dan, dalam waktu yang singkat, dia telah naik ke dalam angkot. Meninggalkanku dengan perasaan bersalah teramat banyak.
“Aletha… Aletha… Aletha…!!!” aku terus memanggilnya itu tapi dia sama sekali tidak menggubris.
Rasa suka yang tidak seharusnya, rasa suka yang berawal dari sebuah pertemuan tak disangka di salah satu pusat perbelanjaan itu, akhirnya benar-benar menghukumku. Aku merasakan tubuhku bergetar hebat. Kakiku kurasakan melesak jauh ke dalam tanah. Ada tangis yang rasanya ingin tumpah. Penyesalan... rasa bersalah… sempurna membekapku.
Aletha… maafkan aku. Sungguh, maafkan aku.
***
Makassar, 08 Juni 2013
Catatan:
*Baga = bahasa luwu yang artinya goblok, tolol, bego.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI