Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Be a Storyteller (Part 4)

15 Agustus 2020   16:29 Diperbarui: 16 Agustus 2020   08:43 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oceeeen.... ini emak dan bapakmu, Nak!"

"Oceeeen.... kau adalah anak kami, sedang tanda hitam di keningmu masih ada sampai sekarang, itu pertanda bahwa kau benar Ocen anak emak-bapak."

"Hentikan bualan kalian!" hardik Boncel, "Kedua orangtuaku sudah lama mati, mengapa kalian mendaku sebagai otangtuaku yang hanya akan menjatuhkan wibawaku saja, mengerti!?"

"Tapi kau adalah Ocen anak emak, anak bapak!"

"Upaaasss...seret segera orang-orang gila ini ke luar, cepat!!"

Dengan tenaga yang masih tersisa, kedua orangtua itu kembali beringsut hendak memeluk kaki anak semata wayang yang sangat dirindukannya itu.

Namun apa daya, Boncel kembali mengentakkan kakinya ke depan yang membuat kedua orangtua itu terjungkal ke belakang untuk yang kedua kalinya.

"Oceeeennn.... Oceeeennn...." teriakan yang semakin melemah kedua orangtua yang memanggil nama anaknya terus terdengar ketika dua upas menyeret kakek-nenek itu ke luar pendopo tanpa belas kasih.

Bahkan, saat keduanya sudah berada di luar pintu gerbang, upas langsung menutup rapat pintu kayu besi itu. Tetapi, Boncel masih mendengar teriakan yang memanggil namanya itu lamat-lamat untuk kemudian tertelan angin yang menderu.

Suasana pagi yang semula cerah, tiba-tiba menjadi mendung seketika. Awan hitam beriringan menuju atap kabupatian. Kilat memberkas di langit dan guntur menyalak menggetarkan bumi. Tidak lama kemudian, hujan turun bagai tercurah dari langit.

Dalam tirai hujan yang semakin rapat, sepasang orangtua dengan hati terluka itu beringsut, menjauh dari pendopo kabupatian.

The Series cerita kolaborasi Kompasiana.com dengan Netizen Story Menulis Biografi: Be a Storyteller Bersama Kang Pepih
HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun