"Oceeeen.... ini emak dan bapakmu, Nak!"
"Oceeeen.... kau adalah anak kami, sedang tanda hitam di keningmu masih ada sampai sekarang, itu pertanda bahwa kau benar Ocen anak emak-bapak."
"Hentikan bualan kalian!" hardik Boncel, "Kedua orangtuaku sudah lama mati, mengapa kalian mendaku sebagai otangtuaku yang hanya akan menjatuhkan wibawaku saja, mengerti!?"
"Tapi kau adalah Ocen anak emak, anak bapak!"
"Upaaasss...seret segera orang-orang gila ini ke luar, cepat!!"
Dengan tenaga yang masih tersisa, kedua orangtua itu kembali beringsut hendak memeluk kaki anak semata wayang yang sangat dirindukannya itu.
Namun apa daya, Boncel kembali mengentakkan kakinya ke depan yang membuat kedua orangtua itu terjungkal ke belakang untuk yang kedua kalinya.
"Oceeeennn.... Oceeeennn...." teriakan yang semakin melemah kedua orangtua yang memanggil nama anaknya terus terdengar ketika dua upas menyeret kakek-nenek itu ke luar pendopo tanpa belas kasih.
Bahkan, saat keduanya sudah berada di luar pintu gerbang, upas langsung menutup rapat pintu kayu besi itu. Tetapi, Boncel masih mendengar teriakan yang memanggil namanya itu lamat-lamat untuk kemudian tertelan angin yang menderu.
Suasana pagi yang semula cerah, tiba-tiba menjadi mendung seketika. Awan hitam beriringan menuju atap kabupatian. Kilat memberkas di langit dan guntur menyalak menggetarkan bumi. Tidak lama kemudian, hujan turun bagai tercurah dari langit.
Dalam tirai hujan yang semakin rapat, sepasang orangtua dengan hati terluka itu beringsut, menjauh dari pendopo kabupatian.