Mohon tunggu...
Peny Wahyuni Indrastuti
Peny Wahyuni Indrastuti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu Rumah Tangga yang berjuang melawan lupa

Ada kalanya, hati menunjukkan sisi terang. Ada kalanya pula bersembunyi pada sisi gelap. Hanya mantra kata yang bisa membuatnya bicara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[My Diary] Maafkan Aku

11 April 2016   22:54 Diperbarui: 12 April 2016   00:15 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

152.
[caption caption="http://www.kompasiana.com/fiksiana-community/inilah-perhelatan-festival-fiksi-my-diary-di-kompasiana-dan-karya-para-peserta_570a74417193732c1d506829"]

Yogyakarta, kamarku, 21 Desember

Dear Diary, ‘muah’ dulu untukmu. Jangan pernah bosan menjadi sahabat sejatiku, ya.

Aku baru dari kampus. Ada mata kuliah Hukum Acara Pidana; iya Pak Bambang dosennya. Killer sih, kata kakak kelas, makanya aku tidak berani melepaskan konsentrasiku pada kuliahnya. Dan sekarang tinggal kantuknya saja.

Ingin tidur dulu karena nanti ada kuliah lagi, tapi rasanya ada yang tak enak di dada ini.

Dear, sudah seminggu Al kembali ke Bontang, kok belum berkabar, ya? Mudah-mudahan tiada suatu aral yang menghalanginya sehingga ia dapat tiba di tempat tugas dengan kondisi tubuh dan pikiran prima.

Eittt, sebentar, ada yang ketuk pintu.

Pak Pos, Dear, surat dari Al.

Ia sudah sampai dengan selamat.

Alamak, Dear. Al benar-benar ingin tahu apa keputusanku tentang lamarannya.

Tapi apa ini? Ukh, tebal sekali. Ada foto copy penggalan buku. Tak ada judul. Ehm, rupanya itu penggalan  buku yang ia baca saat nongkrong sendirian di Cengkareng.

Al minta pendapatku tentang isi penggalan buku itu, Dear. Biasalah, surat-surat kami kan memang selalu begini isinya. Ehm, ini, nih, yang ia minta pendapatku. Sudah ada stabilo hijaunya.

Menurut si Penulis, seseorang yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia pada masa kanak-kanak, akan membawa pengalaman pahit itu ke dalam perkawinannya kelak. Dan menurutnya, sebuah perkawinan bukanlah jalan pintas bagi seseorang seperti itu, untuk mendapat kebahagiaan.

Apa menurutmu, Dear? Ih, serius amat kamu mendengarnya. Lupakan sejenak soal lamaran. Aku ingin membahas penggalan buku ini dulu, ya?

Kalau menurutku, analisa si Penulis itu ada betulnya, ada juga tidaknya.

Artinya, bahwa tidak semua orang yang berasal dari keluarga tidak bahagia lantas punya kecenderungan untuk terus membawa pengalaman pahit masa kanak-kanaknya dalam perkawinannya kelak. Tapi mungkin malah terjadi sebaliknya, ia justru menciptakan suatu kondisi yang sangat jauh berbeda dari pengalaman pahit masa kanak-kanaknya. Jadi dalam hal ini, pengalaman pahit masa kanak-kanak hanya dipakai sebagai bahan baku penciptaan istana yang hendak dibangunnya pada masa mendatang. Lebur dalam satu pola baru.

Pada sisi lain, Dear, aku setuju dengan pendapat penulis, bahwa perkawinan itu memang bukan jalan keluar terbaik, sebagai jalan pintas mencari kebahagiaan bagi seseorang yang tidak bahagia pada masa kanak-kanaknya. Sebab perkawinan itu sendiri, bukanlah obat yang paling mujarab untuk segala persoalan ketidakbahagiaan.

Jika kemudian terjadi, seseorang yang tidak bahagia pada masa kanak-kanaknya mencari jalan pintas dengan perkawinan, aku yakin, yang ia peroleh adalah justru sebaliknya, yaitu kekecewaan yang terus menerus yang bahkan mungkin akan menjadi pembunuh dirinya sendiri.

Aku setuju sekali jika jalan pintas kebahagiaan itu adalah penyembuhan penyakit psikisnya terlebih dahulu, yang tentunya hanya dapat dilakukan dengan kemauan untuk memperbaiki diri.

Dear, masih mendengarkankukah? Kali ini ceritaku akan sangat panjang, lho. Dan pastinya, sudah kamu tunggu sejak tadi.

Aku mau balas surat Al tentang lamarannya itu, tapi ini masalah yang sangat pelik, Dear.

Kamu ingat, jauh-jauh Al terbang ke Yogya, ingin meminta ketegasanku tentang hubungan kami selanjutnya.

Kalau kau tanya apakah kami saling cinta? Jawabnya adalah iya!

Karena masalah pelik itulah, aku tak dapat segera memberi jawaban. Penting bagiku untuk mendiskusikannya dengan bapakku. Setelah Al meninggalkan Yogya, aku menulis surat kepada bapak. Dan kau pun tahu, bukan surat balasan yang datang, tapi bapak menyempatkan diri untuk langsung menemuiku, meski bapak tinggal beratus kilometer dari Yogya.

Dear, pada satu sisi aku mencintai Al, tapi pada sisi lain, aku harus taat pada pandangan hidupku. Seperti sebuah lingkaran yang tak tahu di mana ujungnya. Hasratku ingin tetap meliarkan keindahan mencintai seseorang. Merasakan nadi yang berdenyar saat aku berada di pelukannya. Mendengar buai janji indahnya, menunggu surat-suratnya yang melambungkan angan. Semua tentang dirinya yang membuatku berharga menjadi seorang perempuan, dibutuhkan dan dihormati dalam cinta. Tapi itu semua menjadi kesedihan teramat dalam, karena untuk melangkah ke jenjang selanjutnya, menyatukan dua tubuh, ada peringatan dari dalam keyakinanku, Al tidak punya akses untuk bisa mekakukannya bersamaku. Ada rambu yang sungguh teramat pelik.

Bapak mengatakan kalau persoalanku bukanlah persoalan yang dapat diurunrembugi dengan selembar kertas surat. Persoalan itu adalah persoalan yang kuanggap menemui jalan buntu dalam membangun jembatan agar aku dan Al dapat membangun istana cinta di masa mendatang.

Al mungkin tidak meresahkannya. Tapi aku galau luar biasa. Dan kau mendengar sendiri saat aku berdiskusi, berdebat panjang lebar begitu seru dengan bapakku, Dear.

Aku berkeras mengatakan kepada bapak bahwa Al adalah pemuda Katholik yang taat. Didukung profesinya sebagai perwira ABRI yang disiplin dan tangguh serta taat memegang suatu prinsip, maka kemungkinan untuk beralih keimanan adalah nihil. Dan andaikata pun ia beralih keimanan sekadar untuk menebus tubuhku, aku tetap tak akan menyetujuinya karena hal itu adalah perbuatan yang akan sangat menyakiti jiwanya. Aku yakin ia tak akan melakukannya. Kalau keyakinan saja dapat ditukar hanya demi perempuan, bagaimana dengan ketaatannya kepada negara? Al pasti berharap, akulah yang mengikutinya. 

Aku yang sedang dalam puncak pencarian kerohanianku, juga tetap berkeras, tak akan beralih keimanan kepada keimanan yang lain karena aku juga tak ingin tersakiti jiwaku.

Dengan begitu, Dear... ah, ini sebetulnya sulit dan menyakitkan, tapi aku tetap harus tegar mengambil kesimpulan. Peluk aku, Dear...

Ada satu pilihan dari dua alternatif.

Alternatif pertama: Aku dan Al menikah tidak berlandaskan agamaku atau agama Al. Menikah bersaksikan langit dan bumi saja. Konsekuensinya, kami berdua menjadi orang-orang yang tak taat pada agama mana pun dalam soal pernikahan. Pernikahan itu jadi tidak sah di mata Tuhan masing-masing.

Alternatif kedua: Aku dan Al menyadari, tak ada satu jembatan pun yang bisa mempertemukan aku dan dia dalam pernikahan. Kami harus rela berpisah, meski kami akan menjadi patah hati karenanya. Kehilangan keindahan cinta yang selama ini kami jalani, tapi ketaatan kepada agama masing-masing masih terjaga.

Dear... teguhkan hatiku, kuatkan diriku, sungguh ini pilihan sulit untuk cintaku. Kepalaku bisa dengan tenang merumuskan dua alternatif ini, tapi hatiku, sungguh remuk menyisakan rasa sakit seperti berdarah-darah, seperti luka parut tersiram air garam. Pedihhh, Dear....

Ya, bapak menghargai kesimpulan itu dengan bijak. Beliau mengatakan bahwa inilah ujian yang paling berat bagi orang-orang yang sungguh taqwa dan taat kepada Tuhannya, aku dan Al maksudnya.

Dan kau tahu sendiri, Dear, bapakku bukanlah jenis orang yang memaksakan pemikirannya kepada anak-anaknya. Bapak menyerahkan keputusan kepada kami berdua. Tidak berpihak kepadaku, juga tidak berpihak kepada Al nantinya, karena kami berdua dianggap sudah dewasa, mampu dan bertanggung jawab atas keputusan yang kami ambil. Al sudah dianggap putranya, karena sebelum aku dan Al memutuskan untuk memadu kasih, Al adalah salah satu murid kesayangan dalam belajar olah batin.

Dear, semangatilah aku, semoga ini bukan keputusan yang salah.

Sebelum aku menjatuhkan pilihan atas kesimpulan itu, biarlah kupanjatkan doa dulu, Dear. Semoga Allah Subhanallahu Wataallah berkenan mengampuni dosa-dosaku jika sekiranya keputusan ini menyakiti diriku, Al maupun siapa saja yang terlibat dalam persoalan ini seperti ibu, bapak, kakak-kakak yang sangat suka pada Al, dan keluarga Al yang juga menyukaiku.

Bismillah, aku memilih alternatif yang kedua.

Ah, Dear, jangan tertawakan aku. Aku memang sedang dalam pura-pura tegar, hiksss... tapi aku harus kuat.

Sakit, Dear. Seperti ada luka menganga di dada ini. Tapi ada cahaya terang yang menuntunku. Dan aku yakin, cakrawala seorang yang beriman dan taat kepada Tuhannya, akan mampu mengatasi rasa sakit ini. Semoga. Amin.

Aku rela menghancurleburkan istana angan-anganku bersama Al. Aku rela. Dan, Dear, aku berharap Al juga rela. Kami berdua tak punya jembatan untuk mewujudkan angan-angan itu.

Mungkin kamu bertanya, mengapa baru sekarang?

Sebenarnya dari awal kami meyadari itu. Tapi perasaan jatuh cinta mengalahkan akal, dan kami berdua mengingkari hal itu. Menganggap sebagai hal yang nanti bisa diputuskan dengan mudah. Tapi ternyata tidak, Dear.

Seperti sekarang ini. Aku tak ingin nantinya hidup dalam bayang semu belaka. Aku harus rela. Benar-benar harus rela berpisah darinya sebab ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi dengan mendada, dan bukannya justru melarikan diri darinya serta mencari pada kebahagiaan semu lainnya.

Ah, Al, maafkan aku. Kekasihmu ini memang selalu tak terduga dalam mengambil keputusan. Tapi sungguh, ini sudah kupikirkan baik-baik, dan sudah kumohonkan kerelaan Tuhanku, Allah Subhanallahu Wataallah.

Mudah-mudahanlah, Dear, Al bisa memahami dan mengkaji keputusanku ini dengan pandangan yang obyektif, rasional, tidak sekadar terlandasi perasaan atau luapan emosi belaka. Sebagai seorang perwira ABRI aku yakin, Al pasti bisa mengkajinya dengan ketenangan sepenuh jiwa.

Selanjutnya, Dear, biarlah Al menjadi kakak saja bagiku. Ini akan lebih membahagiakan daripada menjadi sepasang suami istri yang tidak mendapat ridha dari Tuhan masing-masing.

Biarlah menjadi anak-anak dari seorang bapak yang bijak, yang selama ini sungguh sangat bijaksana dalam memberikan nasihat, pandangan-pandangan dan bimbingan kehidupan.

Benar, Dear, sikap bapak dalam masalah ini membuatku menjadi orang yang berani mengambil keputusan dengan menyadari risiko-risikonya. Mudah-mudahan nanti, setelah membaca surat jawabanku, Al juga menjadi berani menerima keputusanku dan mengukuhkannya menjadi keputusannya juga. Semoga tidak ada keraguan lagi, sebab keraguan, kata orang-orang, akan menjadi penghalang utama bagi orang yang berusaha menyempurnakan hidup di dunia dan akhirat nanti.

Dear, lega aku. Biar kutulis surat untuk Al nanti malam saja.

Eh, aku harus ke kampus lagi. Tak ada bekas sembab di mataku, kan, Dear? Ya...ya...kubasuh dulu mukaku dan mengompres mataku dengan handuk dingin.

Terima kasih, jangan kaget kalau besok dan hari selanjutnya tiba-tiba aku masih menangis di hadapanmu karena sakit yang meninggalkan parut ini, meski sakit itu karena kubuat sendiri. Itu manusiawi, kan, Dear?

**

Yogyakarta, masih di kamarku, 2 Januari

Dear Diary...

Seminggu kemarin hatiku seperti ikan menggelepar di kolam tanpa air. Benar-benar gelisah menunggu surat Al, menanti apa reaksinya atas suratku kemarin.

Hiruk pikuk dan kemeriahan terompet tahun baru tak bisa membuatku melupakan keputusanku. Warna warni kembang api di langit Alun-alun Utara, gemuruh konvoi kendaraan di sepanjang Malioboro justru membuatku kian terpuruk dalam kesedihan. Canda tawa teman-teman malah terlihat seperti seringai serigala yang siap menerkamku. Alhasil, malam tahun baru hanya membuatku lelah lahir dan batin.

Aku baru selesai mandi ketika surat Al terselip di bawah pintu kamar. Degup jantung mengencang dan tanganku gemetar ketika membukanya.

Oh, Dear....

Surat Al menyiratkan kepedihan yang dalam. Ia marah dan tersakiti membaca keputusanku. Ia tidak siap untuk berpisah.

Dengan sedikit mengungkap hubungan kami, ia katakan bahwa ia sudah begitu lama bersikap sabar kepadaku. Mencintaiku dengan sabar.

Aku yang seorang aktifis kampus, tidak bisa bersamanya jika ada kegiatan kampus, padahal ia menyempatkan waktunya yang sempit untuk terbang ke Yogya, bersabar menunggu dan menemuiku yang sudah dalam keadaan lelah. Ia yang bersabar, menahan diri, menghormati dan menghargai keteguhan hatiku untuk tidak pernah sekalipun berciuman bibir, kecuali pelukan-pelukan dan ciuman di pipi dan kening saja. Ia bersabar untuk memahami prinsip pacaranku yang berbeda dari anak gadis lainnya. Ia menghargai aku yang taat pada agamaku. Ia mencintai aku apa adanya.

Dear Diary...

Kali ini Al benar-benar marah. Ia mengatakan kalau aku anak gadis yang egois. Ia merasa dirinya tidak diberi kesempatan untuk berembug tentang keputusan itu.

Tahukah kau, Dear?

Al tetap teguh pada lamarannya. Alasannya, demi untuk kepentingan orang banyak. Maksudnya, ia tak ingin mengecewakan harapan ibu dan kakak-kakakku yang menurut penilaiannya sangatlah berharap agar aku bisa menjadi istrinya.

Al mengakui kalau dirinya tidaklah mungkin beralih keyakinan. Profesinya menghendaki demikian. Justru akulah yang diharapkan mau mengerti.

Tapi sungguh, Dear, aku sudah mantap untuk berpisah darinya. Biarlah ini menjadi pelajaran berharga untukku. Tidak bermain-main lagi dalam urusan cinta dan prinsip kehidupan.

Menyinggung masalah jadi saudara, jawabannya sungguh menghunjam hati.

Al menuliskannya dengan tebal, selama masih ada getar cinta dalam hatinya untukku, tak mungkin ia bisa menganggapku sebagai saudara. Itu akan terasa sangat menyakitkan.

Haahh..., piye iki?

**

 

Yogyakarta, 5 Januari

Dear Diary,

Lembar-lembarmu hanya penuh tulisan tentang Al. Jangan marah, ya?

Sudah tetap hatiku, Dear, dalam suratku yang terakhir ini, aku tetap memilih untuk berpisah. Biar sajalah kutelan semua kemarahan Al. Biar saja cintaku kepadanya kusimpan di altar hati terdalam sebagai kenangan yang begitu indah. Aku menyalakan lilin cinta dalam hatiku, dan aku pula yang meniupnya. Barangkali kejam untuk Al. Tapi aku yakin, kelak jika ia sembuh dari rasa sakitnya, ia akan berterima kasih kepadaku karena telah menyelamatkan keyakinan dan ketaatannya kepada Tuhannya.

Aku juga sudah menulis surat khusus untuk ibuku, menjelaskan alasanku mengapa aku tak bisa menjadi istri Al. Ibu memang mualaf, tapi aku yakin, beliau dapat memahami dan tak akan menentangku. Kakak-kakakku pun akan mengerti walau mungkin juga agak kecewa karena tak jadi punya adik ipar perwira ABRI.

Dan jika Al tak mau menganggapku sebagai saudara, barangkali lebih baik jika kami berteman saja. Bersahabat saja.

Dan aku ingat kata mutiara yang pernah kubaca, persahabatan jauh dari saling menyakiti dibanding sepasang kekasih yang rentan untuk saling menyakiti.

Seperti kau, Dear, sahabat sejatiku.

 

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun