Yogyakarta, masih di kamarku, 2 Januari
Dear Diary...
Seminggu kemarin hatiku seperti ikan menggelepar di kolam tanpa air. Benar-benar gelisah menunggu surat Al, menanti apa reaksinya atas suratku kemarin.
Hiruk pikuk dan kemeriahan terompet tahun baru tak bisa membuatku melupakan keputusanku. Warna warni kembang api di langit Alun-alun Utara, gemuruh konvoi kendaraan di sepanjang Malioboro justru membuatku kian terpuruk dalam kesedihan. Canda tawa teman-teman malah terlihat seperti seringai serigala yang siap menerkamku. Alhasil, malam tahun baru hanya membuatku lelah lahir dan batin.
Aku baru selesai mandi ketika surat Al terselip di bawah pintu kamar. Degup jantung mengencang dan tanganku gemetar ketika membukanya.
Oh, Dear....
Surat Al menyiratkan kepedihan yang dalam. Ia marah dan tersakiti membaca keputusanku. Ia tidak siap untuk berpisah.
Dengan sedikit mengungkap hubungan kami, ia katakan bahwa ia sudah begitu lama bersikap sabar kepadaku. Mencintaiku dengan sabar.
Aku yang seorang aktifis kampus, tidak bisa bersamanya jika ada kegiatan kampus, padahal ia menyempatkan waktunya yang sempit untuk terbang ke Yogya, bersabar menunggu dan menemuiku yang sudah dalam keadaan lelah. Ia yang bersabar, menahan diri, menghormati dan menghargai keteguhan hatiku untuk tidak pernah sekalipun berciuman bibir, kecuali pelukan-pelukan dan ciuman di pipi dan kening saja. Ia bersabar untuk memahami prinsip pacaranku yang berbeda dari anak gadis lainnya. Ia menghargai aku yang taat pada agamaku. Ia mencintai aku apa adanya.
Dear Diary...
Kali ini Al benar-benar marah. Ia mengatakan kalau aku anak gadis yang egois. Ia merasa dirinya tidak diberi kesempatan untuk berembug tentang keputusan itu.