"Kalau kakakmu, dia akan tahu apa yang harus dilakukan," ujar ibuku. "Itu gunanya anak lelaki."
Aku terdiam tak bisa membalas.
Ketika kakak belum muncul juga sampai pukul sebelas malam, ibu beranjak tidur. Aku turun ke ruang bawah sekali lagi dan mencoba menulis. Menulis, adalah semacam masuk ke dalam kabut, meraba-raba jalan dari dunia ini ke dunia kata-kata, jalan yang kadang lebih mudah ditemukan di hari-hari tertentu dibanding waktu lainnya.Â
Si Burung Beo, pikiran gentayangan yang berulang dan bersembunyi di bahuku selagi aku tertatih dalam kelabu, adalah sebuah pertanyaan, bagaimana aku hidup dan kakakku mati. Aku lebih muda, lebih lemah, tapi kakakku lah yang kami kuburkan, jasadnya kami luncurkan ke lautan tanpa kafan atau kata dariku. Ratapan ibuku dan isak ayahku muncul di ingatan, tapi keduanya tidak menenggelamkan keheninganku sendiri.Â
Sekarang waktu yang tepat untuk mengucapkan beberapa patah kata, untuk memanggilnya kembali seperti yang pasti ia inginkan, tapi aku tetap tak tahu mesti berkata apa. Ketika aku yakin malam ini akan jadi seperti malam lain di mana ia tak datang, kudengar suara ketukan di atas tangga. Aku percaya, kuingatkan diriku sendiri. Aku percaya bahwa ia tak akan pernah menyakitiku.
"Tak perlu mengetuk," ujarku saat membuka pintu. "Ini rumahmu juga."
Ia hanya menatapku, diikuti keheningan yang canggung. Kemudian ia menyahut, "Terima kasih." Suaranya lebih kuat sekarang, hampir setinggi suaranya yang kuingat, dan kali ini ia tidak memalingkan muka. Ia masih memakai celana pendek dan kaosku, tapi ketika kutunjukkan baju-baju yang telah dibelikan ibu untuknya, "Tidak perlu," dia bilang.
"Kau memakai baju pemberianku."
Ia diam begitu lama sampai kukira ia tidak mendengarku.
"Kami memakainya demi orang-orang hidup," akhirnya dia bersuara. "Bukan untuk kami."
Aku mengajaknya duduk di sofa. "Kami, maksudmu, para hantu?"