Penduduk sah tanah kami, kata mereka, termasuk separuh atas badan seorang letnan Korea, terlontar oleh ranjau ke ranting pohon karet; orang Amerika hitam yang kulitnya mengelupas dan mengapung di sungai kecil tidak jauh dari helikopternya yang jatuh, matanya dan otaknya yang terlihat dari luka sabit di kepala, berkilau di atas air; dan prajurit Jepang dengan tangan meraba-raba semak singkong mencari kepalanya yang terpenggal.Â
Para penjajah ini datang untuk menguasai tanah kami dan sekarang mereka tak akan pernah pulang, kicau para wanita tua itu seraya memamerkan gigi berpernis mereka, atau begitulah kata kakakku. Aku gemetar senang dalam kegelapan, mendengar tentang para wanita bermata hitam itu dengan telingaku sendiri, meski sepertinya aku tak akan pernah bercerita tentang kisah macam itu.
Apakah ironis, ketika kemudian, aku mendapat penghidupan sebagai penulis bayangan? Aku bertanya pada diriku sendiri sambil rebahan di kasur tengah hari itu, tetapi para perempuan bermata (dan bergigi) hitam itu mendengarku. Kau bilang itu penghidupan? Gigi-gigi mereka berderik ketika menertawakanku.Â
Aku menarik selimut sampai menutup hidung, seperti yang biasa kulakukan awal-awal tahunku di Amerika, ketika makhluk-makhluk tak hanya mengintip di lorong tetapi juga bergentayangan di luar.Â
Ayah dan ibu selalu mengintip melalui tirai ruang tamu sebelum menjawab ketukan pintu apapun, takut terhadap pemuda-pemuda negara kami, anak-anak lelaki yang telah belajar kekerasan karena tumbuh di masa perang. "Jangan membuka pintu untuk orang yang tak kau kenal," Ibu memperingatkanku sekali, dua kali, tiga kali. "Kita tidak ingin berakhir seperti keluarga itu, yang ditali di bawah todongan pistol.Â
Mereka menyundut si bayi dengan rokok sampai si ibu menunjukkan persembunyian uangnya." Masa remajaku di Amerika dipenuhi cerita-cerita sedih seperti ini, membuktikan perkataan ibuku, bahwa kami tidak berpulang di sini. Di negara di mana harta benda adalah segalanya, kami tak punya apapun kecuali cerita.
Saat suara ketukan itu membangunkanku, di luar masih gelap. Jamku menunjukkan pukul 6.35 malam. Suara ketukan terdengar lagi, lembut, berulang. Aku tahu itu siapa. Aku telah mengunci pintu untuk berjaga-jaga, dan kini aku menarik selimut menutupi kepalaku. Jantungku berdetak kencang. Aku mempersilakannya pergi, tapi saat ia mulai menggoyang-goyangkan gagang pintu, aku tahu tak ada pilihan selain bangun. Bulu kudukku meremang ketika aku melihat gagang pintu berderak karena genggamannya. Aku mengingatkan diriku bahwa ia mati untukku. Paling tidak aku bisa membukakan pintu untuknya.
Ia bengkak dan pucat, rambutnya ringan, kulitnya gelap, terbungkus celana pendek hitam dan kaos abu compang-camping, tangan dan kakinya kerempeng. Terakhir kali aku melihatnya, ia sekepala lebih tinggi; tapi sekarang berbalik. Saat dia menyebutkan namaku, suaranya serak dan kasar, tidak seperti suara alto remajanya dulu. Tetapi matanya memancarkan rasa penasaran yang sama, begitu juga bibirnya yang sedikit terbuka, selalu siap bicara.Â
Memar ungu gelap berkilat di pelipisnya, tetapi darah yang kuingat sudah tidak ada. Terhapus air laut dan badai, kukira. Meskipun saat itu tidak hujan, ia basah kuyup. Aku dapat mencium bau laut darinya, dan yang lebih buruk, bau kapal, tengik dengan keringat dan kotoran manusia.Â
Saat dia menyebut namaku, aku gemetar, tapi ia adalah hantu seseorang yang dulu kusayang dan tak akan menyakitiku, jenis hantu yang, kata Ibu, tidak akan melukai. "Masuklah," kataku, rasanya seperti hal paling berani yang bisa kuucapkan.Â
Tak bergerak, ia menatap karpet yang ia tetesi air. Saat kubawakan kaos dan celana bersih, bersama dengan handuk, ia menatapku dengan harap sampai aku berbalik dan membiarkannya berganti baju. Baju-baju itu adalah ukuran terkecilku tapi masih satu ukuran terlalu besar baginya, celana pendekku melebihi lututnya, kaosnya sangat longgar.Â