Mohon tunggu...
Peni Kharisma
Peni Kharisma Mohon Tunggu... -

Rajin membaca (media sosial) dan berlatih menerjemahkan artikel atau fiksi, sesekali, itu pun kalau sedang rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Perempuan Bermata Hitam

28 Mei 2018   06:28 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:59 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.kompasiana.com

Ketenaran datang lewat cara yang tidak diharapkan orang-orang waras, seperti karena diculik dan ditahan bertahun-tahun, dipermalukan dalam skandal seks, atau karena bertahan dari sesuatu yang mematikan. 

Para penyintas ini memerlukan bantuan seseorang untuk menuliskan buku memoar mereka, dan agen-agen mereka akhirnya minta tolong padaku. "Setidaknya namamu tidak tercantum di manapun," ibuku pernah berkata. Saat kubilang padanya kalau aku tidak keberatan muncul di, setidaknya, kolom terima kasih, ia berujar, "Sini, kuberitahu sesuatu." 

Ini akan jadi pertama kalinya aku mendengar cerita tersebut, tapi jelas bukan terakhir kali. "Di kampung kita," ia melanjutkan, "ada wartawan yang menyebutkan bahwa pemerintah menyiksa orang-orang di penjara. Jadi, pemerintah lalu melakukan apa yang ia bilang. Padanya. Mereka membawanya pergi dan tidak seorang pun pernah melihatnya lagi. Itulah yang terjadi pada penulis yang mencantumkan namanya."

Ketika Victor Devoto menunjukku, aku telah mengundurkan diri dari profesi penulis-yang-tak-tercantum-di-manapun itu. Agennya telah memberi Victor buku yang kutulis atas nama seorang ayah, yang anaknya menembaki dan menewaskan beberapa orang di sekolahnya. "Aku dapat mengerti rasa bersalah sang Ayah," ujar Victor padaku. 

Victor sendiri satu-satunya penyintas, yang bertahan hidup dari kecelakaan pesawat yang menewaskan 173 penumpang lainnya, termasuk istri dan anak-anaknya. Apa yang tersisa dalam diri Victor terlihat di acara-acara talkshows: hanya fisiknya yang ada di sana, tak ada yang lain. 

Suaranya monoton pelan, dan matanya, ketika mengawang ke atas, seperti mengandung siluet gelap orang-orang yang berkabung. Para penerbitnya menekankan pentingnya Victor menyelesaikan memoarnya sesegera mungkin, selagi orang-orang masih mengingat tragedi tersebut, dan itulah yang sedang kulakukan ketika aku ditemui oleh kakakku, yang telah mati.

Ibu membangunkanku ketika di luar masih gelap dan berkata, "Jangan takut, ya."

Cahaya dari lorong menyengat melalui pintu yang terbuka. "Takut kenapa?"

Saat dia menyebutkan nama kakak, aku tidak berpikir bahwa yang dimaksud ibu adalah kakakku. Kakak telah meninggal beberapa waktu silam. Aku menutup mata dan menjawab bahwa aku tidak kenal siapapun dengan nama itu, tetapi Ibu bersikukuh. "Ia di sini untuk menemui kita," tegasnya, menyibak selimut dan menarikku hingga bangun dengan mata setengah terpejam. Ibu sudah 63 tahun, lumayan pikun, dan ketika ia menyeretku ke ruang tamu dan terpekik, aku tidak terkejut. "Ia ada di sini," kata ibu sambil berlutut ke dudukan kursi bermotif bunganya ketika ia sampai ke karpet. 

"Basah." Ibu, yang mengenakan piyama katun, merangkak ke pintu depan, mengikuti jejak basah tersebut. Karpet tersebut memang lembab ketika kusentuh. Untuk sesaat aku percaya, dan keheningan rumah di subuh itu terasa tak bersahabat. Namun kemudian aku menyadari suara air hujan di selokan, dan rasa takut tak lagi erat mencengkeram leherku. Ibu pasti telah membuka pintu depan, terkena tempias hujan, kemudian masuk lagi tanpa menutup pintu. Aku berlutut di samping sosoknya yang membungkuk di samping pintu, tangannya di gagang pintu, dan mengatakan, "Itu hanya bayanganmu saja, Bu."

"Aku tahu apa yang kulihat." Ia menepis tanganku dari pundaknya, berdiri, kemarahan tersulut di mata gelapnya. "Ia berjalan. Ia bicara. Ia ingin menemuimu."

"Lalu di mana dia, Bu? Aku tak melihat siapapun."

"Tentu saja kau tidak melihatnya." Ibu menghela napas iba, seakan akulah yang tak mampu menyadari hal yang sangat jelas itu. "Dia kan hantu?"

Sejak ayahku meninggal beberapa tahun lalu, ibu dan aku hidup bersama dengan penuh sopan santun kaku. Kami sama-sama berminat dengan dunia kata-kata, tapi aku lebih menyukai keheningan menulis sementara ia senang bicara. 

Dia terus menerus memberiku gosip dan cerita-cerita; hanya yang berhubungan dengan masa lalu ayah lah yang kusuka, tentang sosoknya yang tidak kutahu: muda dan bahagia. Ada kisah-kisah teror tentang kehidupan, yang seperti polisi, suka mempermainkan makhluk-makhluk bermoral, seperti wartawan tadi. Kemudian ada cerita favoritnya, yaitu cerita hantu. Ia tahu banyak soal cerita ini, sebagian berdasarkan pengalamannya sendiri.

"Bibi Nomor Enam meninggal kena serangan jantung saat berumur 76," Ibu bercerita sekali, dua kali, atau mungkin tiga kali, sudah jadi kebiasaannya mengulang-ulang cerita, yang tak pernah kutanggapi dengan serius. "Ia tinggal di Vung Tau sementara kami di Nha Trang. 

Aku sedang membawa makan malam ke meja ketika kulihat Bibi Nomor Enam duduk di sana dalam gaun malamnya. Rambut abunya, yang biasanya digelung, terurai dan menutupi bahu dan wajahnya. 

Aku hampir menjatuhkan makanan. Saat kutanya apa yang ia lakukan di situ, ia hanya tersenyum. Ia berdiri, mengecupku, dan menunjuk ke arah dapur. Ketika aku menengok ke arahnya lagi, ia tak ada. Ternyata itu hanya hantunya. Aku menghubungi paman, dan dia mengkonfirmasi bahwa bibi telah meninggal pagi itu, di tempat tidurnya sendiri."

Menurut ibu, Bibi Nomor Enam meninggal dengan baik, dikelilingi keluarga di rumah, hantunya hanya datang untuk berpamitan. Ibu mengulang cerita tentang bibi saat kami duduk di dapur pagi itu, setelah malam sebelumnya ibu mengaku melihat kakakku, anaknya. 

Aku menjerang sepoci teh hijau dan memeriksa suhu tubuhnya meskipun ia memprotes. Hasilnya, seperti yang ia perkirakan, normal. Sambil melambai-lambaikan termometer, ia menjelaskan bahwa hantu kakak pasti menghilang karena lelah, setelah menempuh perjalanan ribuan kilo melintasi Samudera Pasifik.

"Jadi bagaimana ia bisa sampai di sini?"

"Ya berenang, lah." Ibu menatapku iba. "Makanya dia basah."

"Kakak memang perenang hebat." Kataku bercanda. "Seperti apa dia kelihatannya?"

"Persis sama."

"Sudah 25 tahun. Ia tak berubah sama sekali?"

"Hantu-hantu selalu tampak sama dengan saat terakhir kau melihat mereka."

Aku ingat rupa kakakku di saat-saat terakhirnya, dan humor yang hilang bersamanya. Ekspresi terpana pada wajahnya, mata yang terbuka dan tak tergeming bahkan ketika pecahan papan geladak kapal itu menampar pipinya---kalaupun ada penampakan orang atau apapun itu, aku tak ingin melihatnya lagi. 

Setelah ibu pergi bekerja ke salon, aku mencoba tidur kembali tapi tak bisa. Mata kakakku terbayang menatapku setiap aku menutup mata. Barulah sekarang aku sadar, aku sudah tidak mengingatnya beberapa bulan belakangan ini. 

Aku lama berusaha melupakannya, tapi hanya dengan berbelok ke suatu tempat atau ke sudut ingatan, aku mengingatnya lagi, teman terbaikku. 

Di dalam ingatanku, aku bisa mendengar suaranya di luar rumah, memanggil-manggil. Itu adalah sinyal bagiku untuk mengikutinya menyusuri setapak dan jalanan desa kami, melalui belukar nangka dan mangga ke pematang dan lapangan, menghindari serpihan pohon kelapa dan lubang bekas bom. Pada masanya, itu adalah masa kecil yang normal.

Namun jika dilihat lagi, aku menyadari bahwa kami melalui masa muda di negara berhantu. Ayah kami terkena wajib militer, dan kami takut ia tak akan pernah kembali. Sebelum ia pergi, ia telah menggali bunker di sebelah rumah, bunker karung pasir beratap kayu. Meskipun bunker itu panas tanpa udara, lembab dengan bau tanah dan hidup dengan geliat cacing-cacing, kami sering bermain di situ waktu kecil. 

Beranjak remaja, kami ke sekolah dan saling bercerita. Aku adalah murid terbaik di sekolah, cukup baik sehingga guruku mengajari Bahasa Inggris di luar jam pelajaran, ilmu yang kubagi dengan kakakku. Ia, sebagai gantinya, memberitahuku semua cerita, dongeng, dan rumor. 

Saat pesawat berderu di atas dan kami berimpitan dengan ibu di dalam bunker, ia membisikkan cerita hantu untuk mengalihkan pikiranku. Hanya, ia berkeras, itu bukan cerita hantu. Namun kejadian nyata dari orang-orang terpercaya, wanita-wanita tua pengunyah pinang yang meludahkan sari merahnya sambil berjongkong di pasar, menunggui anglo atau keranjang jualan. 

Penduduk sah tanah kami, kata mereka, termasuk separuh atas badan seorang letnan Korea, terlontar oleh ranjau ke ranting pohon karet; orang Amerika hitam yang kulitnya mengelupas dan mengapung di sungai kecil tidak jauh dari helikopternya yang jatuh, matanya dan otaknya yang terlihat dari luka sabit di kepala, berkilau di atas air; dan prajurit Jepang dengan tangan meraba-raba semak singkong mencari kepalanya yang terpenggal. 

Para penjajah ini datang untuk menguasai tanah kami dan sekarang mereka tak akan pernah pulang, kicau para wanita tua itu seraya memamerkan gigi berpernis mereka, atau begitulah kata kakakku. Aku gemetar senang dalam kegelapan, mendengar tentang para wanita bermata hitam itu dengan telingaku sendiri, meski sepertinya aku tak akan pernah bercerita tentang kisah macam itu.

Apakah ironis, ketika kemudian, aku mendapat penghidupan sebagai penulis bayangan? Aku bertanya pada diriku sendiri sambil rebahan di kasur tengah hari itu, tetapi para perempuan bermata (dan bergigi) hitam itu mendengarku. Kau bilang itu penghidupan? Gigi-gigi mereka berderik ketika menertawakanku. 

Aku menarik selimut sampai menutup hidung, seperti yang biasa kulakukan awal-awal tahunku di Amerika, ketika makhluk-makhluk tak hanya mengintip di lorong tetapi juga bergentayangan di luar. 

Ayah dan ibu selalu mengintip melalui tirai ruang tamu sebelum menjawab ketukan pintu apapun, takut terhadap pemuda-pemuda negara kami, anak-anak lelaki yang telah belajar kekerasan karena tumbuh di masa perang. "Jangan membuka pintu untuk orang yang tak kau kenal," Ibu memperingatkanku sekali, dua kali, tiga kali. "Kita tidak ingin berakhir seperti keluarga itu, yang ditali di bawah todongan pistol. 

Mereka menyundut si bayi dengan rokok sampai si ibu menunjukkan persembunyian uangnya." Masa remajaku di Amerika dipenuhi cerita-cerita sedih seperti ini, membuktikan perkataan ibuku, bahwa kami tidak berpulang di sini. Di negara di mana harta benda adalah segalanya, kami tak punya apapun kecuali cerita.

Saat suara ketukan itu membangunkanku, di luar masih gelap. Jamku menunjukkan pukul 6.35 malam. Suara ketukan terdengar lagi, lembut, berulang. Aku tahu itu siapa. Aku telah mengunci pintu untuk berjaga-jaga, dan kini aku menarik selimut menutupi kepalaku. Jantungku berdetak kencang. Aku mempersilakannya pergi, tapi saat ia mulai menggoyang-goyangkan gagang pintu, aku tahu tak ada pilihan selain bangun. Bulu kudukku meremang ketika aku melihat gagang pintu berderak karena genggamannya. Aku mengingatkan diriku bahwa ia mati untukku. Paling tidak aku bisa membukakan pintu untuknya.

Ia bengkak dan pucat, rambutnya ringan, kulitnya gelap, terbungkus celana pendek hitam dan kaos abu compang-camping, tangan dan kakinya kerempeng. Terakhir kali aku melihatnya, ia sekepala lebih tinggi; tapi sekarang berbalik. Saat dia menyebutkan namaku, suaranya serak dan kasar, tidak seperti suara alto remajanya dulu. Tetapi matanya memancarkan rasa penasaran yang sama, begitu juga bibirnya yang sedikit terbuka, selalu siap bicara. 

Memar ungu gelap berkilat di pelipisnya, tetapi darah yang kuingat sudah tidak ada. Terhapus air laut dan badai, kukira. Meskipun saat itu tidak hujan, ia basah kuyup. Aku dapat mencium bau laut darinya, dan yang lebih buruk, bau kapal, tengik dengan keringat dan kotoran manusia. 

Saat dia menyebut namaku, aku gemetar, tapi ia adalah hantu seseorang yang dulu kusayang dan tak akan menyakitiku, jenis hantu yang, kata Ibu, tidak akan melukai. "Masuklah," kataku, rasanya seperti hal paling berani yang bisa kuucapkan. 

Tak bergerak, ia menatap karpet yang ia tetesi air. Saat kubawakan kaos dan celana bersih, bersama dengan handuk, ia menatapku dengan harap sampai aku berbalik dan membiarkannya berganti baju. Baju-baju itu adalah ukuran terkecilku tapi masih satu ukuran terlalu besar baginya, celana pendekku melebihi lututnya, kaosnya sangat longgar. 

Aku mengisyaratkannya untuk masuk, kali ini ia menurut, dan duduk di kasurku yang berantakan. Ia menolak bertatapan mata denganku, tampak lebih takut padaku daripada aku takut padanya. 

Saat ia masih 15 tahun, aku sudah 38 tahun dan bukan lagi anak tomboi yang riang, enggan bicara kecuali ada perlu, seperti ketika mewawancarai Victor. Menjadi seorang penulis, meski hanya penulis kelas tiga atau empat, melibatkan etiket yang harus dilakukan. Namun apa yang harus dikatakan kepada seorang hantu, selain bertanya alasannya datang ke sini? Namun aku takut atas jawaban pertanyaan itu, jadi aku justru bertanya, "Kenapa lama baru ke sini?"

Ia melihat kakiku dan jari-jarinya. Mungkin ia merasa bahwa aku tidak ahli menghadapi anak kecil. Buatku, sikap keibuan itu terlalu intim, begitu juga dengan hubungan yang berlangsung lebih dari semalam.

"Kau harus berenang. Butuh waktu lama untuk sampai jauh ke sini, kan?"

"Ya." Mulutnya tetap terbuka, seperti hendak berkata lagi tapi tak yakin apa atau bagaimana mengatakannya. Mungkin hantu yang satu ini adalah efek pertama dari kenormalanku yang menurut ibu tak normal: tak punya anak dan single. Mungkin ia bukan bagian dari pikiranku tapi gejala sesuatu yang salah, seperti kanker yang membunuh ayahku. Kematiannya merupakan kematian yang baik, menurut ibuku, dikelilingi keluarga di rumah, tak seperti yang terjadi pada kakakku, dan juga nyaris terjadi padaku. Kepanikan muncul dari sumur tak berdasar yang sudah kusemen dalam diriku itu, dan aku lega ketika mendengar pintu depan terbuka. "Ibu ingin bertemu denganmu," kataku. "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali."

Saat kami kembali, kami hanya menemukan bajunya dan handuk basah. Ibu mengambil kaos abu itu, kaos yang sama yang ia pakai di kapal biru dengan mata merah itu.

"Sekarang kau tahu," kata Ibu. "Jangan pernah berpaling dari hantu."

Celana pendek hitam dan kaos abu itu berbau air laut dan berat, lebih dari berat kain basah. Saat kubawa ke dapur, berat pakaian di tanganku adalah beratnya bukti atas kenangan. Aku sudah pernah beberapa kali melihatnya mengenakan baju ini. Aku ingat celananya bukan hitam kotor tapi masih biru bersih, kaosnya bukan abu compang-camping tapi putih dan rapi.

"Kamu percaya sekarang?" kata ibuku sambil mengangkat tutup mesin cuci. Aku ragu-ragu. Beberapa orang bilang bahwa keyakinan itu membara di dalam diri mereka, tapi keyakinanku yang baru ini malah membuatku merinding. "Ya," ujarku. "aku percaya."

Dengung mesin cuci terdengar sayup ketika kami duduk untuk makan malam di dapur, udara berbaur aroma bunga lawang dan jahe. "Itulah kenapa ia perlu bertahun-tahun," kata ibuku, meniup sup panasnya. Tidak ada yang bisa menakuti selera makannya atau mengganggu perut berdinding bajanya, bahkan tidak kejadian di kapal atau penampakan hantu anaknya. "Ia menempuh jarak itu dengan berenang."

"Tapi Bibi Nomor Enam tinggal ribuan kilo dari kita dan kau melihat penampakannya di hari kematiannya."

"Aturan kita tidak berlaku bagi hantu. Setiap hantu itu berbeda. Hantu baik, hantu jahat, hantu yang bahagia, hantu yang sedih. Hantu orang-orang yang mati saat tua, saat muda, saat kecil. Apa menurutmu kelakuan hantu bayi bakal sama dengan hantu kakek-kakek?"

Aku tak tahu apa-apa soal hantu. Aku tidak percaya hantu dan begitu pula orang-orang yang kukenal, kecuali ibuku dan Victor, meski ia sendiri mirip penampakan: kesedihan membuatnya pucat dan nyaris transparan, semburat warna hanya ada di rambut merahnya yang tak tersisir. 

Bahkan dengan Victor, perkara dunia lain itu hanya dibicarakan olehnya dua kali, satu lewat telepon, satu di ruang tamunya---yang dibiarkan tak tersentuh sejak hari keluarganya berangkat ke bandara, debu-debunya yang menyedihkan pun tidak. Aku merasa jendelanya bahkan tak pernah dibuka sejak hari itu, Victor seperti ingin menyimpan udara yang dihirup anak istrinya sebelum mereka mengalami kematian yang naas itu, jauh dari rumah.

"Orang-orang mati akan pergi," ia pernah berkata, bergelung di kursinya, tangannya di antara paha. "Tapi orang-orang hidup, kita hanya tetap di sini."

Kata-kata itu menjadi pembuka bab terakhir memoarnya, yang kukerjakan setelah ibu tidur dan aku turun ke ruang bawah tanah yang diterangi lampu neon. Aku menulis satu kalimat, kemudian berhenti untuk mendengarkan kalau-kalau ada suara ketukan atau langkah di tangga. Ritmeku sepanjang malam jadi seperti itu: menulis beberapa baris lalu menunggu sesuatu yang tidak datang, begitu pula hari-hari berikutnya. 

Bagian simpulan memoar Victor sudah di pelupuk mata, ketika ibu pulang dari salon kuku membawa kantong-kantong belanja dari Chinatown; satu kantong belanja harian, lainnya berisi baju dalam, sepasang piyama, celana jeans, jaket denim, sebungkus kaos kaki, sarung tangan rajut, satu topi baseball. Setelah menumpuknya di sebelah kaos dan celana yang telah kering dan disetrika, ibu berkata, "Kakakmu tak bisa berkeliaran dalam cuaca dingin begini hanya dengan baju yang kauberi, macam tunawisma atau imigran ilegal."

 Saat kubilang bahwa hal itu tak terpikirkan olehku, ia mendengus, jengkel dengan ketidakacuhanku atas kebutuhan hantu. Moodnya membaik setelah makan malam, karena aku tidak turun ke ruang bawah seperti biasa, tapi justru menonton sinetron yang banyak ia sewa, serial tentang orang-orang cantik Korea terjerat masalah percintaan. "Kalau tidak ada perang," ibu berkata pada suatu malam, "kita akan seperti Korea sekarang. Saigon akan jadi Seoul, ayahmu masih tetap hidup, kau menikah dan punya anak, dan aku jadi ibu rumah tangga, bukan tukang manikur." 

Ia mengenakan rol rambut dan memangku semangkuk kuaci. "Aku akan menghabiskan hari berkunjung dan dikunjungi teman, dan ketika aku mati, seratus orang akan hadir di pemakamanku. Di sini, aku beruntung jika dua puluh orang datang, itupun jika kau mengurusi. Hal itulah yang paling menakutkan bagiku. Kau bahkan tak ingat untuk membuang sampah atau membayar tagihan. Kau bahkan tak mau keluar untuk berbelanja."

"Akan kuingat untuk mengurus arwahmu."

"Kapan kau bakal mengadakan upacara kebangkitan? Perayaan tanggal kematian? Apa yang bakal kau ucapkan di acara-acara itu?"

" Ya tuliskan, lah," jawabku. "Apa saja yang harus kukatakan."

"Kalau kakakmu, dia akan tahu apa yang harus dilakukan," ujar ibuku. "Itu gunanya anak lelaki."

Aku terdiam tak bisa membalas.

Ketika kakak belum muncul juga sampai pukul sebelas malam, ibu beranjak tidur. Aku turun ke ruang bawah sekali lagi dan mencoba menulis. Menulis, adalah semacam masuk ke dalam kabut, meraba-raba jalan dari dunia ini ke dunia kata-kata, jalan yang kadang lebih mudah ditemukan di hari-hari tertentu dibanding waktu lainnya. 

Si Burung Beo, pikiran gentayangan yang berulang dan bersembunyi di bahuku selagi aku tertatih dalam kelabu, adalah sebuah pertanyaan, bagaimana aku hidup dan kakakku mati. Aku lebih muda, lebih lemah, tapi kakakku lah yang kami kuburkan, jasadnya kami luncurkan ke lautan tanpa kafan atau kata dariku. Ratapan ibuku dan isak ayahku muncul di ingatan, tapi keduanya tidak menenggelamkan keheninganku sendiri. 

Sekarang waktu yang tepat untuk mengucapkan beberapa patah kata, untuk memanggilnya kembali seperti yang pasti ia inginkan, tapi aku tetap tak tahu mesti berkata apa. Ketika aku yakin malam ini akan jadi seperti malam lain di mana ia tak datang, kudengar suara ketukan di atas tangga. Aku percaya, kuingatkan diriku sendiri. Aku percaya bahwa ia tak akan pernah menyakitiku.

"Tak perlu mengetuk," ujarku saat membuka pintu. "Ini rumahmu juga."

Ia hanya menatapku, diikuti keheningan yang canggung. Kemudian ia menyahut, "Terima kasih." Suaranya lebih kuat sekarang, hampir setinggi suaranya yang kuingat, dan kali ini ia tidak memalingkan muka. Ia masih memakai celana pendek dan kaosku, tapi ketika kutunjukkan baju-baju yang telah dibelikan ibu untuknya, "Tidak perlu," dia bilang.

"Kau memakai baju pemberianku."

Ia diam begitu lama sampai kukira ia tidak mendengarku.

"Kami memakainya demi orang-orang hidup," akhirnya dia bersuara. "Bukan untuk kami."

Aku mengajaknya duduk di sofa. "Kami, maksudmu, para hantu?"

Ia duduk di sebelahku, memikirkan pertanyaanku sebelum menjawab.

"Kita selalu tahu hantu itu ada," balasnya.

"Aku ragu." Kupegang tangannya. "Kenapa kau kembali?"

Pandangannya membuatku tak nyaman. Ia tak berkedip sekalipun.

"Aku bukan kembali," katanya. "Aku datang ke sini."

"Kau belum meninggalkan dunia ini?"

Ia mengangguk.

"Kenapa belum?"

Ia diam lagi. Akhirnya ia menjawab, "Menurutmu, kenapa?"

Aku memalingkan muka. "Aku mencoba melupakannya."

"Tapi kau belum lupa."

"Aku tak bisa."

Aku belum lupa kapal biru tanpa nama itu dan ia belum melupakanku, mata merahnya yang dicat di sisi haluan tak pernah berhenti menatapku. Setelah empat hari yang tak menentu di laut tenang di bawah langit biru dan malam-malam yang cerah, daratan akhirnya tampak, sebaris titik di horizon. 

Saat itulah kapal lain tampak di kejauhan, mengarah ke kami. Kapal itu cepat sedang kapal kami pelan, terbebani lebih dari seratus orang di kapal nelayan yang kapasitas normalnya hanya seorang nelayan dan ikan makarel beku tangkapannya. 

Kakakku menarikku ke ruang mesin yang sesak dengan mesinnya yang berdecit dan menggunakan pisau sakunya untuk memangkas rambut panjangku menjadi pendek, potongan bergerigi yang sampai kini masih jadi model rambutku. "Diam," ia bilang. Ia lima belas tahun dan aku tiga belas. Kau masih terdengar seperti anak perempuan. Sekarang lepas kemejamu."

Aku selalu menuruti perkataannya, meski kali ini dengan malu-malu, meskipun dia hampir tak memperhatikanku ketika ia merobek kemejaku. Ia mengikat dadaku dengan kain, kemudian melepas kemejanya sendiri dan mengenakannya padaku, sehingga ia hanya mengenakan kaos compang-campingnya. Kemudian ia mengoleskan oli ke mukaku dan kami meringkuk di kegelapan sampai para perompak itu menuju ke arah kami.

Para perompak itu menyerupai ayah dan kakak kami, keras dan berkulit coklat, tapi membawa golok dan senapan mesin. Kami menyerahkan perhiasan emas, jam, anting-anting, cincin kawin, dan batu giok. 

Mereka merebut perempuan-perempuan muda, menembaki seorang ayah dan seorang suami yang melawan. Semua orang terdiam kecuali mereka yang diseret pergi, menjerit dan menangis. Aku tidak mengenali mereka, perempuan-perempuan dari desa lain, dan hal itu membuatku berdoa supaya tak bernasib seperti mereka, sembari menggenggam lengan kakakku,. Baru setelah perempuan terakhir dilempar ke haluan kapal perompak itu, diikuti para perompak, aku bisa bernapas lagi.

Perompak yang terakhir melirikku sekilas sebelum pergi. Ia seusia ayahku, hidungnya terbakar matahari, baunya campuran keringat dan jeroan ikan. Lelaki kecil ini, yang bisa sedikit berbicara dalam bahasa kami, mendekat dan mengangkat daguku. "Kau anak yang tampan," ia berkata. Setelah kakakku menusuknya dengan pisau saku, kami bertiga diam terpaku, menatap pisau yang berdarah, keheningan pecah ketika lelaki itu melolong kesakitan, menurunkan senapan mesinnya dan menghantamkannya dengan keras ke kepala kakakku. Suara benturannya masih bisa kuingat. Ia jatuh seperti orang mati, darah mengalir dari alisnya, dagu dan pelipisnya membentur lantai kayu dengan suara gedebuk yang mengerikan, yang sampai kini masih bergaung di ingatanku.

Aku menyentuh bekas luka kakakku, "Sakit?"

"Sudah tidak. Kau?"

Sekali lagi aku berpura-pura memikirkan jawaban yang sudah kutahu. "Masih," akhirnya aku berkata. Waktu lelaki itu melemparku ke haluan, benturannya melukai belakang kepalaku. 

Saat ia merobek kemejaku, kuku tajamnya menggores kulitku hingga berdarah. Saat aku memalingkan muka dan melihat ibu dan ayahku menjerit, gendang telingaku sepertinya sudah pecah, karena aku tidak bisa mendengar apapun. Bahkan ketika aku berteriak, aku tak bisa mendengar suaraku sendiri, meski aku merasakan mulutku bergerak. 

Dunia serasa diberangus, dan selalu terasa seperti itu setelahnya dengan ayahku dan ibuku dan aku, meski kami tidak pernah mengungkit kejadian itu. Diamnya mereka, dan diamku, melukaiku lagi dan lagi. Namun yang paling menyakitkan bukanlah hal-hal itu, bukan juga berat para perompak yang menindihku, melainkan sinar terang yang menyilaukan ke dalam mata gelapku ketika aku menatap langit dan melihat ujung rokok tuhan yang membara, siap di angkasa sebelum menyengat kulitku.

Sejak itu aku menghindari siang dan matahari. Bahkan kakakku menyadarinya, mengulurkan lengannya di dekat lenganku untuk menunjukkan bahwa kulitku lebih putih darinya. 

Kami melakukan hal yang sama di dalam bunker, merenggangkan tangan di depan muka untuk mengetahui apakah tangan kami bisa terlihat dalam gelap. Kami ingin tahu apakah kami masih di sana, terbungkus debu yang berhembus menyelimuti setiap ada dentuman bom, kenangan tentang jet-jet Amerika meraung di langit membuatku gemetar. Pertama kali kami mendengarnya, kakak berbisik menenangkanku. Mereka hanya hantu.

"Kau tahu apa yang paling kusukai dari masa itu?" Ia menggeleng. Kami duduk di sofa ruang bawah yang di Bulan November menjadi lebih hangat dari ruang tamu. "Kita bisa keluar setelah pemboman, kau menggenggam tanganku ketika kita berdiri berkedip di bawah matahari. Aku suka setelah gelap di persembunyian, ada cahaya. Dan setelah semua gemuruh itu, ada kesunyian."

Ia mengangguk, tak berkedip, meringkuk di sofa sepertiku, lutut kami bersentuhan. Si Burung Beo yang mendekam di bahuku, sudah bertengger di sana sejak pemakaman kakakku di lautan, dan aku menyadari bahwa satu-satunya cara mengusirnya adalah dengan membiarkannya bicara.

"Beritahu aku," Burung Beo itu bicara. "Mengapa aku hidup dan kau mati?"

Ia membalasku dengan tatapan mata yang tak akan kering seberapa lamapun mata itu terbuka. Ibu salah. Kakak berubah, mata itu adalah buktinya, yang diawetkan air laut sedemikian lama sehingga terus terbuka selamanya.

"Kau juga mati," katanya. "Kau hanya tidak menyadarinya."

Aku teringat percakapanku dulu dengan Victor. Sebuah pertanyaan pernah timbul di otakku pada pukul sebelas malam, pertanyaan yang begitu penting sampai aku meneleponnya saat itu juga, tahu bahwa Victor masih bangun. "Ya, aku percaya pada hantu," jawabnya, tidak terkejut dengan teleponku. Aku bisa membayangkannya meringkuk di kursinya, kepalanya merah menyala di atas badan yang seperti lilin, seakan ia memang dinyalakan oleh kenangan kecelakaan pesawat yang merenggut keluarganya. 

Saat kutanya apakah ia pernah melihat hantu, ia menjawab, "Setiap saat. Ketika aku menutup mata, istri dan anak-anakku muncul seperti masih hidup. Dengan mata terbuka, mereka terlihat buram. 

Mereka bergerak cepat dan menghilang sebelum aku bisa memfokuskan mataku. Tetapi aku mencium aroma mereka juga, parfum istriku ketika ia lewat, wangi sampo di rambut anak perempuanku, keringat di kaos anak laki-lakiku. Dan aku bisa merasakan mereka, anak laki-lakiku mengelus tanganku, istriku meniup leherku seperti yang biasa dilakukannya di tempat tidur, anak perempuanku yang bergelayut di lutut. 

Terakhir, kau mendengar mereka. Istriku memberitahuku untuk memeriksa kunci sebelum pergi. Anak perempuanku mengingatkan agar tidak menggosongkan roti panggangnya. Anak laki-lakiku memintaku menumpuk daun-daun kering agar ia bisa meloncat ke atasnya. Mereka semua menyanyikan selamat ulang tahun untukku."

Victor berulang tahun dua minggu lalu, dan itulah yang kubayangkan---ia duduk di kegelapan, matanya tertutup, mendengarkan gaung nyanyian ulang tahun dari masa lalu--- menjadi pembuka buku memoarnya.

"Tidakkah kau takut pada hantu?" tanyaku.

Di seberang telepon, dalam diam, terdengar suara desis.

"Kau tidak takut pada hal yang kau percaya," katanya.

Jawabannya ini juga kutulis di memoarnya, meski waktu itu aku tidak mengerti maksud perkataannya.

Sekarang aku paham. Badanku menegang sebagaimana aku menangis, tanpa malu atau takut. Kakakku penasaran melihatku menangis untuknya dan diriku sendiri, untuk tahun-tahun yang seharusnya bisa kami lalui bersama, untuk semua kata-kata yang yang tak pernah terucap di antara ibu, ayah, dan aku. Terutama, aku menangis untuk perempuan-perempuan yang hilang dan tak pernah kembali, termasuk aku.

Saat diterbitkan beberapa bulan kemudian, buku memoar Victor terjual baik. Para kritikus mengatakan hal-hal ramah. Namaku tidak tercetak di manapun, tetapi reputasi kecilku sedikit tumbuh di antara kalangan yang bekerja dalam bayangan dunia penerbitan ini. Agenku memberikan penawaran penulisan memoar lainnya dengan bayaran lebih, cerita tentang seorang tentara yang kehilangan kaki dan tangannya ketika berusaha menjinakkan bom. Aku menolak. Aku sedang menulis bukuku sendiri.

"Cerita hantu?" ia terdengar menyetujui. "Aku bisa menjualnya. Orang-orang suka ditakut-takuti."

Aku tidak memberitahunya bahwa aku tak berniat menakut-nakuti orang hidup. Tidak semua hantu menginginkan balas dendam atau kekacauan. Hantu-hantu dalam ceritaku pendiam dan pemalu seperti kakakku, atau arwah-arwah sedih dalam cerita ibuku. Adalah ibuku, sang ahli hantu, yang juga memberitahuku bahwa kakak tak akan kembali lagi. Ia menghilang ketika aku berpaling untuk mengambil tisu. Hanya ada kemurungan di sofa bekasnya duduk, dingin ketika kusentuh. Aku naik ke lantai atas untuk membangunkan ibu, dan setelah menaruh teko di atas kompor, ia duduk denganku di dapur untuk mendengar cerita tentang kunjungan kakakku. Ibu telah meratapinya selama bertahun-tahun, jadi kali ini ia tidak menangis.

"Kau tahu ia pergi dengan baik, bukan? Ia sudah datang dan mengatakan semua yang ingin ia katakan."

Teko mulai berdesing dan menguarkan uap.

"Bu," kataku. "Aku belum mengatakan semua yang kuinginkan."

Dan ibu, yang tidak memalingkan muka dariku saat peristiwa kapal itu terjadi, kini menoleh. Dari semua kisah hantu yang ia punya, ada satu kisah yang tidak ingin ia ceritakan, satu teman yang tidak ingin ia jaga. Mereka ada di dapur bersama kami, hantu para pengungsi dan perompak, hantu kapal yang mengawasi kami dengan mata yang tak pernah tertutup, bahkan hantu seorang gadis---aku yang dulu, satu-satunya hantu yang ditakuti ibuku.

"Berceritalah, Bu," kataku. "Akan kudengar."

Ia dengan mudah menemukan suatu cerita, seperti dugaanku. "Pada suatu ketika, ada seorang wanita," ia memulai, "yang sangat mencintai suaminya, tentara yang menghilang dalam misi di kawasan musuh. Suaminya dilaporkan tewas; ia tak percaya. 

Perang berakhir dan ia kabur ke negara lain, akhirnya menikah lagi setelah puluhan tahun kemudian. Ia bahagia sampai suatu hari, suami pertamanya kembali, bebas dari penjara setelah menjadi tahanan rahasia selama hampir tiga puluh tahun." Sebagai bukti, ibu menunjukkan potongan koran dengan foto wanita itu dan suami pertamanya, ketika bertemu kembali di bandara beberapa tahun lalu. Pandangan mata mereka tidak bertemu. Mereka terlihat malu, tak nyaman, sedih, dikelilingi para teman dan wartawan yang tak bisa melihat dua hantu yang juga hadir di pertemuan melankolis ini: bayangan mereka berdua di masa lalu.

"Cerita seperti ini terjadi berulang kali," kata ibu sambil menuangkan teh hijau. Pemanggilan arwah begini bisa jadi ritual malam kami yang baru; ibuku yang wanita tua dan aku sendiri yang memang sedang menua.

"Kenapa menulis kata-kataku?"

"Yah, seseorang harus melakukannya," jawabku, memangku catatan, siap dengan pulpen.

"Dasar penulis." Ia menggeleng, tapi kurasa sebetulnya ia senang. "Setidaknya kau tidak mengarang-ngarang cerita, seperti biasanya."

Kadang beginilah aku mendapatkan bahan cerita: melalui ibu. "Sini, aku ceritakan sesuatu," ia akan berkata, sekali, dua kali, atau mungkin tiga kali. Meski aku lebih sering berburu hantu, yang bisa kulakukan tanpa harus keluar rumah. Sebagaimana mereka menghantui dunia kita, kita juga menghantui mereka. Mereka makhluk-makhluk kusam, lebih takut pada kita daripada kita takut pada mereka. Itulah mengapa kita jarang melihat penampakan mereka, dan karena itu kita harus mencari mereka. 

Jimat di mejaku, celana pendek dan kaos compang-camping, terpampang bersih dan kering, disetrika rapi, sebagai pengingat bahwa ibuku benar. Bahwa cerita adalah buatan kita sendiri, tidak lebih. Kita mencari mereka di dunia lain, kemudian menaruhnya di sini agar ditemukan: seperti pakaian bekas lungsuran para hantu.

---

Diterjemahkan dari cerpen berjudul Black Eyed Women karya Viet Thanh Nguyen. Viet Thanh Nguyen, pada tahun 2016 memenangkan Pulitzer Prize for Fiction untuk buku debutnya yang berjudul "The Sympathizer". Latar belakang budayanya, lahir di Vietnam, tetapi tumbuh besar di Amerika, menjadi tema dalam tulisan-tulisannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun