Saat ia merobek kemejaku, kuku tajamnya menggores kulitku hingga berdarah. Saat aku memalingkan muka dan melihat ibu dan ayahku menjerit, gendang telingaku sepertinya sudah pecah, karena aku tidak bisa mendengar apapun. Bahkan ketika aku berteriak, aku tak bisa mendengar suaraku sendiri, meski aku merasakan mulutku bergerak.Â
Dunia serasa diberangus, dan selalu terasa seperti itu setelahnya dengan ayahku dan ibuku dan aku, meski kami tidak pernah mengungkit kejadian itu. Diamnya mereka, dan diamku, melukaiku lagi dan lagi. Namun yang paling menyakitkan bukanlah hal-hal itu, bukan juga berat para perompak yang menindihku, melainkan sinar terang yang menyilaukan ke dalam mata gelapku ketika aku menatap langit dan melihat ujung rokok tuhan yang membara, siap di angkasa sebelum menyengat kulitku.
Sejak itu aku menghindari siang dan matahari. Bahkan kakakku menyadarinya, mengulurkan lengannya di dekat lenganku untuk menunjukkan bahwa kulitku lebih putih darinya.Â
Kami melakukan hal yang sama di dalam bunker, merenggangkan tangan di depan muka untuk mengetahui apakah tangan kami bisa terlihat dalam gelap. Kami ingin tahu apakah kami masih di sana, terbungkus debu yang berhembus menyelimuti setiap ada dentuman bom, kenangan tentang jet-jet Amerika meraung di langit membuatku gemetar. Pertama kali kami mendengarnya, kakak berbisik menenangkanku. Mereka hanya hantu.
"Kau tahu apa yang paling kusukai dari masa itu?" Ia menggeleng. Kami duduk di sofa ruang bawah yang di Bulan November menjadi lebih hangat dari ruang tamu. "Kita bisa keluar setelah pemboman, kau menggenggam tanganku ketika kita berdiri berkedip di bawah matahari. Aku suka setelah gelap di persembunyian, ada cahaya. Dan setelah semua gemuruh itu, ada kesunyian."
Ia mengangguk, tak berkedip, meringkuk di sofa sepertiku, lutut kami bersentuhan. Si Burung Beo yang mendekam di bahuku, sudah bertengger di sana sejak pemakaman kakakku di lautan, dan aku menyadari bahwa satu-satunya cara mengusirnya adalah dengan membiarkannya bicara.
"Beritahu aku," Burung Beo itu bicara. "Mengapa aku hidup dan kau mati?"
Ia membalasku dengan tatapan mata yang tak akan kering seberapa lamapun mata itu terbuka. Ibu salah. Kakak berubah, mata itu adalah buktinya, yang diawetkan air laut sedemikian lama sehingga terus terbuka selamanya.
"Kau juga mati," katanya. "Kau hanya tidak menyadarinya."
Aku teringat percakapanku dulu dengan Victor. Sebuah pertanyaan pernah timbul di otakku pada pukul sebelas malam, pertanyaan yang begitu penting sampai aku meneleponnya saat itu juga, tahu bahwa Victor masih bangun. "Ya, aku percaya pada hantu," jawabnya, tidak terkejut dengan teleponku. Aku bisa membayangkannya meringkuk di kursinya, kepalanya merah menyala di atas badan yang seperti lilin, seakan ia memang dinyalakan oleh kenangan kecelakaan pesawat yang merenggut keluarganya.Â
Saat kutanya apakah ia pernah melihat hantu, ia menjawab, "Setiap saat. Ketika aku menutup mata, istri dan anak-anakku muncul seperti masih hidup. Dengan mata terbuka, mereka terlihat buram.Â