Mohon tunggu...
Paulina Sihaloho
Paulina Sihaloho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Aku pelajar SMA Bintang Timur, Pematang Siantar. Aku menulis untuk mengasah dan mempertajam pikiran, serta menjadikan hidupku lebih baik dari hari ke hari.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Anak adalah Maha Guru bagi Dirinya dan Sumber Belajar bagi Teman-Temannya

6 November 2024   16:20 Diperbarui: 6 November 2024   17:14 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Anak adalah maha guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya", Romo Y.B. Mangunwijaya.

Yang bilang itu seorang Romo Mangun!

Y.B. Mangunwijaya, seorang maestro arsitek, sering disebut sebagai bapak arsitek Indonesia, sangat dihormati di kalangan para arsitek dan awam melalui karya-karyanya yang fenomenal.

Dihormati di kalangan saudara-saudari kita yang Muslim karena Romo Mangun, sekalipun ia seorang Katolik, toh dia mendesain arsitektural bangunan Mesjid Kalimosodo, di Jogjakarta.

Seorang teolog, sastrawan dan pendidik. Romo Mangun mendirikan SD Eksperimental Mangunan, yang terutama dikhususkan untuk anak-anak dari keluarga miskin. Romo ini mengingatkanku pada kepala sekolahnya Totto Chan, Pak Kobayashi, walaupun mungkin, menurutku, keahlian Romo Mangun jauh lebih beragam dibanding dengan Pak Kobayashi yang di Jepang sendiri juga sangat dihormati dalam bidang pendidikan.

Yang sangat mengherankan bagiku adalah mengapa sistem pendidikan di Indonesia sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Romo Mangun itu? Anak adalah maha guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya?

Baru-baru ini menemukan satu kesimpulan yang mengejutkan dari bahan-bahan yang saya baca berkaitan dengan topik yang saya sedang teliti yaitu: bagaimana hubungan kebiasaan membaca dan berpikir kritis. Ternyata, kecenderungan yang ada adalah, menurut para ahli pendidikan itu, murid itu dianggap sebagai orang yang tidak tahu, karena itu mereka harus sekolah agar mereka menjadi tahu.

Itulah nampaknya yang menjadi landasan konsep pendidikan yang ada selama ini kan?

Terasa kok! Saya sekarang mengalaminya. Saya sungguh terkejut. Saya keberatan tapi saya memilih untuk lebih "bijaksana".

Saya orang yang sudah berusaha membiasakan diri untuk membaca sejak SD. Saya membaca majalah Bobo ketika masih kecil. Dalam perjalanan waktu, saya juga berusaha membaca buku-buku di luar buku-buku teks pelajaran sekolah. Tentu saja, bukan rahasia lagi, saya lebih suka membaca buku-buku yang bukan buku pelajaran di sekolah. Ya, sampai sekarang juga masih begitu.

Saya sekarang kelas III SMA. Di sekolahku, siswa kelas III wajib menulis karya tulis ilmiah. Topik saya adalah tentang membaca dan berpikir kritis.

Jadi, saya memasukkan pengalaman saya berkaitan dengan membaca dan berpikir kritis dalam apa yang disebut karya tulis ilmiah tersebut. Saya juga mengikuti aturan sesuai dengan buku panduan, termasuk membuat catatan kaki.

Kaget! Iya betul! Saya malah disuruh untuk tidak perlu memasukkan bagian-bagian yang merupakan pengalaman saya sendiri di dalam karya tulis itu. "Cukup para ahli saja", begitu kata guru yang membimbing. "Catatan kaki nggak usah panjang-panjang. Kalaupun perlu, singkat saja!" lanjutnya.

Setahu saya, dalam buku panduan pun, tidak ada larangan membuat catatan kaki yang panjang. Saya juga melihat beberapa buku yang ada di rumah, ada kok catatan-catatan kaki yang panjang-panjang, bisa lebih dari setengah halaman buku. Jadi, kenapa saya dilarang membuat catatan kaki?

Maksud saya membuat catatan kaki yang agak panjang, tidak sampai sepertiga halaman adalah karena informasi yang saya sampaikan di catatan kaki boleh dibaca boleh tidak, nilai-penting dari catatan itu tidak sepenting dari kalimat-kalimat yang ada di badan utama halaman. Itu juga salah satu pengertian catatan kali yang saya pahami.

Kebayang nggak sih bagaimana perasaan saya? Sudah 12 tahun lebih saya berada di sekolah, dari PAUD sampai sekarang saya kelas III SMA. Lho, kok saya "tidak diperbolehkan" menuliskan pengalaman dan pendapat saya tentang topik yang saya teliti? Apalagi, topik saya adalah tentang membaca dan berpikir kritis. Saya sendiri sudah melakukannya sejak SD sampai sekarang, membaca buku-buku teks pelajaran sekolah dan juga buku-buku non-teks pelajaran sekolah. Sudah pastilah saya mempunyai pengalaman dan pendapat saya sendiri tentang hal itu.

Tadinya, saya sempat berpikir, apa yang saya lakukan akan dihargai oleh guru yang membimbing. Saya betulan kaget, yang terjadi justru sebaliknya. Malah saya mendengar, "Nggak capek kau bikin kayak gini?" Saya bilang, "Nggak kok Bu, saya kan kuat orangnya!" Palingan itulah yang bisa saya sampaikan, mau bilang apa lagi?

Saya justru merenung-reenungkan lebih dalam: Mengapa bisa begitu ya? Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah hanya saya yang mengalami hal seperti itu dan sejenisnya?

Saya rasa, nggak juga. Bisa jadi, itu juga merupakan pengalaman banyak orang, banyak siswa.

Bagaimana perasaan saya terhadap guru yang seperti itu? Biasa sajalah. Apakah itu salah guru? Nggak juga. Menurutku, itulah yang diketahui oleh guru itu. Itulah yang paling baik menurut sang guru. Kalau nggak, mana mungkin pula saya disuruh (dilarang) menuangkan pengalaman dan pendapat saya dalam karya tulis ilmiah yang saya kerjakan sendiri kan? Menurut guru pada umumnya, murid itu belajar di sekolah karena mereka belum atau tidak tahu. Jadi, kalau menulis karya tulis, rujuklah apa kata para ahli, bukan apa katamu sebagai siswa karena kau bukan seorang ahli. Itu kan maksudnya?

Di mana pula kita harus mencari pendidik seperti Romo Mangun? Apakah perguruan-perguruan tinggi kita mencetak guru-guru sebagai pendidik yang semangat dan metodenya sejalan dengan Romo Mangun? Anak adalah maha guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya?

Sebagai seorang siswa yang sudah kelas III SMA, saya bertanya-tanya: "Kalau sistem pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai orang yang tidak tahu dan perlu diajari agar menjadi tahu, masih terus dipertahankan, akan seperti apalah nanti Indonesia ini?

Kalau lebih dari 99% sekolah-sekolah yang ada di negeri ini masih menjalankan pola seperti selama ini, walaupun dengan kurikulum yang gonta-ganti, kalau modelnya masih seperti pabrikan (penyeragaman dalam hampir semua hal mulai dari pakaian sampai bahan pelajaran), persis seperti pertanian mono kultur yang ternyata buruk dan berbahaya bagi alam itu sendiri, akan seperti apalah nanti Indonesia ini?

Sistem pendidikan kita melawan kodrat alam dan itu potensial menimbulkan bencana. Alam dengan jelas memperlihatkan pada kita bahwa Ia menjunjung tinggi keberagaman. Iya kan? Kita lihat ada ribuan jenis tumbuhan dan berbagai macam mahluk hidup di Alam ini. Kebayang nggak kalau yang ada adalah keseragaman?

Jadi, kenapa sistem pendidikan kita memaksakan penyeragaman yang justru melibas dan menghancurkan kreativitas yang sudah ada dalam diri setiap manusia begitu ia nongol ke bumi ini? Itu kan yang terjadi? Anak-anak itu, jarang bahkan hampir tidak ada yang tidak cerdas. Terbukti kok dari cara mereka bertanya. Kalau kita perhatikan, semakin lama anak-anak itu berada di bangku sekolah, mereka semakin tidak bisa bertanya. Apa sebabnya? Apakah karena mereka bodoh? Nggak juga kan? Sistem pendidikannya tidak cocok atau tidak kondusif bagi anak-anak itu untuk mengembangkan diri mereka.

Sebagai seorang siswa, dan dengan merenungkan pengalaman saya sejak kecil, saya mengerti apa yang dikatakan oleh Romo Mangun itu: Anak adalah maha guru bagi dirinya, dan sumber belajar bagi teman-temannya.

Sebagai anak kampung saja, yang tinggal di desa, saya bisa mengerti apa yang dikatakan oleh Romo Mangun itu. Di luar sekolah, ada begitu banyak jenis keagiatan dan pekerjaan yang harus saya kerjakan dan saya harus mempergunakan seluruh kemampuan saya untuk mengatasi berbagai macam tantangan yang riil atau nyata yang sedang saya hadapi. Misal, bagaimana saya dan adek saya harus menyelamatkan diri sepulang sekolah dari penculikan; bagaimana saya dan adek saya harus melarikan diri karena ada segerombolan monyet berada persis di atas pohon di jalan yang harus kami lalui menuju ladang kami yang terletak di dekat hutan.

Di sekolah, kalau hanya duduk saja dari pagi sampai siang, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun, apa yang terjadi? Tantangan macam apa yang saya alami diperlakukan seperti itu? Paling-paling tantangan melawan rasa kantuk dan bosan!

Aneh juga, belajar kok seperti itu? Apa tidak membuat orang malah menjadi lebih bodoh ya? Belajar kok dipaksa duduk selama berjam-jam setiap hari? Apa itu tidak aneh? Kita kan punya kaki, tentu saja fungsinya juga untuk berjalan. Belajar itu harusnya juga banyak melibatkan kaki, berjalan. Kalau nggak, ngapain pula Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan kaki yang porsinya cukup besar pada tubuh manusia?

Aku juga semakin penasaran, bagaimana pula perasaan dan pengalaman teman-teman sebaya atau yang lebih muda dari saya berkaitan dengan sekolah. Apakah mereka bahagia?

Pendidikan itu tentu saja perlu! Tentu saja. Saya ngerti tetapi pendidikan yang seperti apa? Harusnya pendidikan yang ada di Indonesia ini bisa menerjemahkan dan mendesain pola pendidikan yang menjadikan anak itu maha guru bagi dirinya, sumber belajar bagi teman-temannya, seperti kata Romo Mangun itu.

Tetsuko Kuroyanagi, penulis buku Totto Chan, yang adalah pengalaman pribadinya, dikeluarkan berkali-kali dari sekolah-sekolah konvensional. Dia masuk sekolahnya Pak Kobayashi. Di sekolah itu, mereka menerapkan prinsip seperti apa yang dikatakan oleh Romo Mangun, anak adalah maha guru bagi dirinya, dan sumber belajar bagi teman-temannya. Setiap siswa memilih sendiri apa yang mau dia pelajari dan dalami.

Kita meniru model pendidikan Barat yang awalnya didesain untuk memenuhi kebutuhan di era revolusi industri. Artinya, di abad 18 dan 19, bahkan 20, perkembangan dalam dunia industri memerlukan banyak pekerja, buruh. Perusahaan-perusahaan memerlukan tenaga kerja.

Kita mengikuti pola itu di Indonesia. Tujuan utama orang sekolah adalah untuk mendapatkan pekerjaan, berharap memperoleh atau diberi pekerjaan. Mental itu masih begitu juga sampai sekarang padahal eranya sudah banyak berubah. Kita akan semakin memasuki era di mana ijazah tidak lagi merupakan jaminan seseorang bisa memperoleh pekerjaan.

Padahal tadinya, sejak awal abad 20, kaum terdidik Indonesia sudah melakukan hal yang cukup penting dengan menyebarluaskan semangat membebaskan diri dari penjajahan dengan segala macam cara yang mereka dapat lakukan pada zaman itu. Pemerintah kolonial pun harus mengubah kebijakan mereka dengan memperbolehkan penduduk di wilayah jajahan untuk masuk sekolah termasuk mereka yang bukan bagian dari keluarga ningrat atau elit. Orang-orang biasa pun sudah boleh masuk sekolah.

Kenapa kok sistem pendidikan kita justru tidak mendesain pendidikan dengan semangat yang sama: pembebasan? Pembebasan dari berbagai macam hal yang membuat sebuah bangsa miskin padahal negerinya kaya raya, misalnya. Pembebasan dari mental-mental inlander yang membuat penduduk bekas jajahan merasa rendah diri, misalnya. Pembebasan dari mitos-mitos yang merendahkankan penduduk bekas jajahan sebagai pemalas dan bodoh, misalnya. Ratusan tahun penduduk negeri jajahan dicekoki pernyataan-pernyataan yang merendahkan mereka justru membuat mereka semakin terpuruk secara mental dan spiritual. Pendidikan harusnya membebaskan murid dari warisan-warisan kolonial macam itu.

Kenapa kita justru membekukan daya nalar  dan kreativitas manusia di lingkungan sekolah melalui program penyeragaman itu? Belum lagi, orientasi utama ternyata adalah memperoleh nilai, kalau bisa, angka-angka itu tinggi. Kalau sudah kelas 6, 9, dan 12, itulah tahun-tahun di mana siswa diharuskan bahkan dipaksa untuk berlatih bagaimana mengerjakan soal-soal agar bisa lulus dan masuk di sekolah/universitas yang konon bagus.

Jadi, bagaimanalah ya? Setelah mengetahui sebagian dari apa yang ternyata berlangsung selama ini, saya menjadi lebih sadar, pendidikan itu terutama adalah tanggung jawab saya sebagai individu. Kalau sistemnya masih seperti sekarang ini, yang nampaknya juga akan sulit berubah karena berbagai macam alasan yang nyata dan dicari-cari, lebih baik berusaha sedapat mungkin belajar mandiri. Paling tidak dengan cara lebih banyak membaca dan menulis.

Sudah terlanjur masuk dalam sistem ini selama lebih dari 12 tahun. Saya sendiri pun belum bisa memastikan bidang apa yang sebaiknya saya pilih ke depan kalau saya mau meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi daripada SMA. Kalaupun saya bisa pastikan, belum tentu saya bisa masuk di universitas yang saya inginkan, tidak ada jaminan. Di samping, kalau bidang yang saya pilih adalah bidang yang biasanya memerlukan biaya tinggi, saya juga memikirkan bagaimana perekonomian orang tua saya.

Dalam waktu yang sama, saya juga sadar, ini zaman sudah semakin aneh, lucu dan membingungkan, semuanya campur aduk. Tak ada jaminan juga kalaupun saya sudah sarjana, saya bisa bekerja di bidang yang saya mau dan sukai.

Sekolah selama ini, mulai dari SD sampai SMA, hanya terutama mengajarkan mata pelajaran -- mata pelajaran yang saya sendiri pun geli dan bingung karena tidak tahu bagaimana mempergunakannya dalam kehidupan nyata, kecuali, hanya terutama perlu agar siswa bisa masuk dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi karena sudah SMA. Makanya, bagi siswa kelas III SMA, latihan-latihan pengerjaan soal, simulasi pengerjaan soal masuk perguruan tinggi dilakukan secara intensif dengan mendatangkan pelatih/mentor dari luar sekolah.

Sekolah mengasumsikan bahwa semua siswa akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Apakah selalu begitu? Bagaimana kalau ada siswa yang memutuskan tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena berbagai alasan termasuk misalnya, terbatasnya kemampuan perekonomian keluarga? Apa iya, siswa tersebut harus menghabiskan sebagian waktunya untuk berlatih mengerjakan soal-soal masuk perguruan tinggi itu?

Ada sekolah-sekolah di mana siswa atau anak akan senang dan bisa menjadi hebat? Adakah sekolah, paling tidak di Indonesia ini yang melaksanakan semangat pendidikan a la Romo Mangun?

Ada. Di Jawa ada Salam, Sanggar Anak Alam. Beruntunglah anak-anak yang menjadi bagian dari Salam. Yang saya tangkap dari sistem yang ada di sekolah ini: setiap anak itu menjalankan kurikulum yang tepat bagi dirinya. Apakah siswa di Salam mempelajari mata pelajaran yang ada di sekolah-sekolah pemerintah? Iya. Ternyata, anak yang menjalankan kurikulum yang spesifik bagi dirinya, justru akan lebih mudah mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah konvensional. Itu masuk akal karena sekalipun seorang anak memilih bentuk kurikukulum untuk dirinya sendiri dengan melibatkan guru dan orang tua, anak itu pastilah akan berinteraksi dengan banyak bidang dalam kehidupan. Dalam interaksi itulah seorang siswa/anak dengan lebih mudah dan gembira mempelajari berbagai macam hal seperti sejarah, matematika, biologi dan bidang lainnya. Justru menarik bagi siswa karena dia bisa melihat dan mempergunakan berbagai macam bidang ilmu itu dalam bidang khusus yang dia minati.

Sekolah yang senada dan biaya pendidikannya di sana relatif sangat mahal dalam ukuran saya adalah Bali Green School. Menurut saya, itu adalah sekolah yang benar-benar menarik dan menyenangkan. Desain sekolahnya bagus dan artistik, terbuat dari bahan-bahan lokal, terutama bambu. Siswa-siswi di sana, misalnya, memelihara ayam, kambing, kelinci, babi, dan entah apa lagi itu. Sejak di tingkat SD saja, siswa sudah berlatih menghasilkan uang dari ternak yang mereka pelihara sebagai bagian dari mata pelajaran ekonomi. Itu salah satu contoh saja.

Yang saya perhatikan dan yang membuat saya tercengang luar biasa adalah: kenapa pula, mayoritas lulusan sekolah dari sekolah-sekolah konvensional, baik negeri maupun swasta, bahkan yang sudah lulus sarjana sekalipun, sepanjang mereka sekolah itu, bisa jadi, tidak bisa menghasilkan bahkan sebutir telur pun?

Kan yang ditekankan selama ini bagi siswa sejak SD sampai perguruan tinggi adalah: belajar, belajar, belajar! Waktunya habis untuk belajar saja. Kalau lulus sarjana, artinya, seseorang itu sudah menghabiskan waktu sekitar 15 sampai 17 tahun di sekolah. Setelah 15 sampai 17 tahun itu, bisa jadi, sebutir telur pun ia belum pernah hasilkan dalam bentuk uang/penghasilan. Yang dia lakukan sepanjang waktu itu adalah menghabiskan uang dari orang tuanya. Sementara orang tua berharap, tujuan mereka mengeluarkan banyak uang untuk biaya pendidikan anak mereka adalah agar setelah lulus sarjana, anak-anak mereka mendapatkan pekerjaan, mempunyai sumber penghasilan sendiri, jadi tidak lagi bergantung pada orang tua.

Untuk sebagian orang itu berhasil tapi ternyata tidak untuk semua lulusan universitas. Lapangan pekerjaan semakin berkurang karena berbagai alasan terutama karena kita sudah berada di era digital, Society 4.0, di mana banyak hal dipermudah dengan pemakaian alat-alat digital yang terbuhung dengan internet. Tenaga kerja manusia yang diperlukan semakin berkurang.

Pun, kalau selama 15 sampai 17 tahun, siswa/anak dibiasakan tidak menghasilkan apapun yang bernilai ekonomi, hanya terutama menghasilkan angka-angka sebagai hasil dari ujian/tes di sekolah, bagaimana pula dia bisa tiba-tiba menjadi mandiri menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi? Sulitlah itu. Alam bawah sadarnya pun sudah lama dipaksa untuk percaya bahwa dia tidak bisa bekerja mandiri, menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Makanya, yang umum kita lihat adalah deretan-deretan pelamar kerja, dan banyak di antara mereka itu adalah mereka yang sudah lulus dari perguruan tinggi.

Apa tidak ada yang salah betulan dalam sistem pendidikan kita dengan melihat kenyataan bahwa mereka yang lulus dari perguruan tinggi justru jarang yang bisa menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri tetapi bergantung pada orang lain (perusahaan, pemerintah atau lembaga-lembaga tertentu)? Apa gunanya belajar selama 15 sampai 17 tahun tapi tidak mampu menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri?

Itulah, saya rasa itulah akibat dari sistem pendidikan yang tidak menjadikan anak sebagai maha guru bagi dirinya sendiri, dan sumber belajar bagi teman-temannya.

Tentu saja saya lebih yakin dengan logika Romo Mangun dibanding dengan logika mereka yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan di negara ini. Seorang empu dalam bidang arsitektur, teolog, sastrawan, dekat dengan masyarakat di lapisan paling bawah, kedua orang tuanya pun adalah para pendidik, dan dia sendiripun adalah seorang pendidik, tentu jauh lebih paham manusia daripada mereka yang cenderung hanya berkutik pada satu bidang saja, satu jurusan.

Sementara guru mengajar terutama hanya satu bidang, siswa harus mempelajari lebih dari sepuluh mata pelajaran setiap minggu. Apalah yang ada di benak mereka yang bertanggung jawab dalam pendidikan di Indonesia ini, pikirku. Kenapa ini dibiarkan? Pernahkan benar-benar dievaluasi dan diteliti apakah sistem macam ini berguna?

Kita ini negeri yang kaya dan wilayah kita juga luas. Kalau kita mau menjadi bangsa yang cerdas dan mandiri, kita dirikanlah sekolah-sekolah yang modelnya seperti Bali Green School itu. Apa nggak malu kita ini sebagai penduduk negeri ini, kok justru orang asing yang bisa bikin sekolah sebagus Bali Green School? Kan kita pemilik negeri ini, apa iya kita tidak bisa menyediakan lahan yang luas untuk mendirikan sekolah-sekolah dengan semangat pembebasan manusia sehingga setiap anak yang bersekolah itu benar-benar bisa mengembangkan kreativitasnya, menjadi maha guru bagi dirinya, sumber belajar bagi teman-temanya?

Kalau saja, 20% saja sekolah-sekolah kita di Indonesia ini bermodelkan seperti Salam di Jawa dan Green School di Bali, dalam waktu kurang dari dua dekade, kita akan memiliki banyak anak negeri yang kreatif, brilian dan inovatif tetapi kalau kita masih mempertahankan pola-pola seperti sebelumnya walaupun dengan judul dan nama yang berbeda di setiap pergantian menteri, kita nggak akan jauh-jauh amat dari keadaan kita sekarang ini, bisa jadi malah semakin susah karena sekalipun kita kaya raya dalam hal sumber daya alam, toh kita juga harus bayar utang negara yang jumlahnya semakin bengkak itu. Kalau anak-anak negeri tidak kreatif dan inovatif serta bergotong-royong (team-work), bagaimana pula caranya menghadapi perubahan zaman ini?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun