Sekolah yang senada dan biaya pendidikannya di sana relatif sangat mahal dalam ukuran saya adalah Bali Green School. Menurut saya, itu adalah sekolah yang benar-benar menarik dan menyenangkan. Desain sekolahnya bagus dan artistik, terbuat dari bahan-bahan lokal, terutama bambu. Siswa-siswi di sana, misalnya, memelihara ayam, kambing, kelinci, babi, dan entah apa lagi itu. Sejak di tingkat SD saja, siswa sudah berlatih menghasilkan uang dari ternak yang mereka pelihara sebagai bagian dari mata pelajaran ekonomi. Itu salah satu contoh saja.
Yang saya perhatikan dan yang membuat saya tercengang luar biasa adalah: kenapa pula, mayoritas lulusan sekolah dari sekolah-sekolah konvensional, baik negeri maupun swasta, bahkan yang sudah lulus sarjana sekalipun, sepanjang mereka sekolah itu, bisa jadi, tidak bisa menghasilkan bahkan sebutir telur pun?
Kan yang ditekankan selama ini bagi siswa sejak SD sampai perguruan tinggi adalah: belajar, belajar, belajar! Waktunya habis untuk belajar saja. Kalau lulus sarjana, artinya, seseorang itu sudah menghabiskan waktu sekitar 15 sampai 17 tahun di sekolah. Setelah 15 sampai 17 tahun itu, bisa jadi, sebutir telur pun ia belum pernah hasilkan dalam bentuk uang/penghasilan. Yang dia lakukan sepanjang waktu itu adalah menghabiskan uang dari orang tuanya. Sementara orang tua berharap, tujuan mereka mengeluarkan banyak uang untuk biaya pendidikan anak mereka adalah agar setelah lulus sarjana, anak-anak mereka mendapatkan pekerjaan, mempunyai sumber penghasilan sendiri, jadi tidak lagi bergantung pada orang tua.
Untuk sebagian orang itu berhasil tapi ternyata tidak untuk semua lulusan universitas. Lapangan pekerjaan semakin berkurang karena berbagai alasan terutama karena kita sudah berada di era digital, Society 4.0, di mana banyak hal dipermudah dengan pemakaian alat-alat digital yang terbuhung dengan internet. Tenaga kerja manusia yang diperlukan semakin berkurang.
Pun, kalau selama 15 sampai 17 tahun, siswa/anak dibiasakan tidak menghasilkan apapun yang bernilai ekonomi, hanya terutama menghasilkan angka-angka sebagai hasil dari ujian/tes di sekolah, bagaimana pula dia bisa tiba-tiba menjadi mandiri menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi? Sulitlah itu. Alam bawah sadarnya pun sudah lama dipaksa untuk percaya bahwa dia tidak bisa bekerja mandiri, menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Makanya, yang umum kita lihat adalah deretan-deretan pelamar kerja, dan banyak di antara mereka itu adalah mereka yang sudah lulus dari perguruan tinggi.
Apa tidak ada yang salah betulan dalam sistem pendidikan kita dengan melihat kenyataan bahwa mereka yang lulus dari perguruan tinggi justru jarang yang bisa menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri tetapi bergantung pada orang lain (perusahaan, pemerintah atau lembaga-lembaga tertentu)? Apa gunanya belajar selama 15 sampai 17 tahun tapi tidak mampu menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri?
Itulah, saya rasa itulah akibat dari sistem pendidikan yang tidak menjadikan anak sebagai maha guru bagi dirinya sendiri, dan sumber belajar bagi teman-temannya.
Tentu saja saya lebih yakin dengan logika Romo Mangun dibanding dengan logika mereka yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan di negara ini. Seorang empu dalam bidang arsitektur, teolog, sastrawan, dekat dengan masyarakat di lapisan paling bawah, kedua orang tuanya pun adalah para pendidik, dan dia sendiripun adalah seorang pendidik, tentu jauh lebih paham manusia daripada mereka yang cenderung hanya berkutik pada satu bidang saja, satu jurusan.
Sementara guru mengajar terutama hanya satu bidang, siswa harus mempelajari lebih dari sepuluh mata pelajaran setiap minggu. Apalah yang ada di benak mereka yang bertanggung jawab dalam pendidikan di Indonesia ini, pikirku. Kenapa ini dibiarkan? Pernahkan benar-benar dievaluasi dan diteliti apakah sistem macam ini berguna?
Kita ini negeri yang kaya dan wilayah kita juga luas. Kalau kita mau menjadi bangsa yang cerdas dan mandiri, kita dirikanlah sekolah-sekolah yang modelnya seperti Bali Green School itu. Apa nggak malu kita ini sebagai penduduk negeri ini, kok justru orang asing yang bisa bikin sekolah sebagus Bali Green School? Kan kita pemilik negeri ini, apa iya kita tidak bisa menyediakan lahan yang luas untuk mendirikan sekolah-sekolah dengan semangat pembebasan manusia sehingga setiap anak yang bersekolah itu benar-benar bisa mengembangkan kreativitasnya, menjadi maha guru bagi dirinya, sumber belajar bagi teman-temanya?
Kalau saja, 20% saja sekolah-sekolah kita di Indonesia ini bermodelkan seperti Salam di Jawa dan Green School di Bali, dalam waktu kurang dari dua dekade, kita akan memiliki banyak anak negeri yang kreatif, brilian dan inovatif tetapi kalau kita masih mempertahankan pola-pola seperti sebelumnya walaupun dengan judul dan nama yang berbeda di setiap pergantian menteri, kita nggak akan jauh-jauh amat dari keadaan kita sekarang ini, bisa jadi malah semakin susah karena sekalipun kita kaya raya dalam hal sumber daya alam, toh kita juga harus bayar utang negara yang jumlahnya semakin bengkak itu. Kalau anak-anak negeri tidak kreatif dan inovatif serta bergotong-royong (team-work), bagaimana pula caranya menghadapi perubahan zaman ini?***