Kita mengikuti pola itu di Indonesia. Tujuan utama orang sekolah adalah untuk mendapatkan pekerjaan, berharap memperoleh atau diberi pekerjaan. Mental itu masih begitu juga sampai sekarang padahal eranya sudah banyak berubah. Kita akan semakin memasuki era di mana ijazah tidak lagi merupakan jaminan seseorang bisa memperoleh pekerjaan.
Padahal tadinya, sejak awal abad 20, kaum terdidik Indonesia sudah melakukan hal yang cukup penting dengan menyebarluaskan semangat membebaskan diri dari penjajahan dengan segala macam cara yang mereka dapat lakukan pada zaman itu. Pemerintah kolonial pun harus mengubah kebijakan mereka dengan memperbolehkan penduduk di wilayah jajahan untuk masuk sekolah termasuk mereka yang bukan bagian dari keluarga ningrat atau elit. Orang-orang biasa pun sudah boleh masuk sekolah.
Kenapa kok sistem pendidikan kita justru tidak mendesain pendidikan dengan semangat yang sama: pembebasan? Pembebasan dari berbagai macam hal yang membuat sebuah bangsa miskin padahal negerinya kaya raya, misalnya. Pembebasan dari mental-mental inlander yang membuat penduduk bekas jajahan merasa rendah diri, misalnya. Pembebasan dari mitos-mitos yang merendahkankan penduduk bekas jajahan sebagai pemalas dan bodoh, misalnya. Ratusan tahun penduduk negeri jajahan dicekoki pernyataan-pernyataan yang merendahkan mereka justru membuat mereka semakin terpuruk secara mental dan spiritual. Pendidikan harusnya membebaskan murid dari warisan-warisan kolonial macam itu.
Kenapa kita justru membekukan daya nalar  dan kreativitas manusia di lingkungan sekolah melalui program penyeragaman itu? Belum lagi, orientasi utama ternyata adalah memperoleh nilai, kalau bisa, angka-angka itu tinggi. Kalau sudah kelas 6, 9, dan 12, itulah tahun-tahun di mana siswa diharuskan bahkan dipaksa untuk berlatih bagaimana mengerjakan soal-soal agar bisa lulus dan masuk di sekolah/universitas yang konon bagus.
Jadi, bagaimanalah ya? Setelah mengetahui sebagian dari apa yang ternyata berlangsung selama ini, saya menjadi lebih sadar, pendidikan itu terutama adalah tanggung jawab saya sebagai individu. Kalau sistemnya masih seperti sekarang ini, yang nampaknya juga akan sulit berubah karena berbagai macam alasan yang nyata dan dicari-cari, lebih baik berusaha sedapat mungkin belajar mandiri. Paling tidak dengan cara lebih banyak membaca dan menulis.
Sudah terlanjur masuk dalam sistem ini selama lebih dari 12 tahun. Saya sendiri pun belum bisa memastikan bidang apa yang sebaiknya saya pilih ke depan kalau saya mau meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi daripada SMA. Kalaupun saya bisa pastikan, belum tentu saya bisa masuk di universitas yang saya inginkan, tidak ada jaminan. Di samping, kalau bidang yang saya pilih adalah bidang yang biasanya memerlukan biaya tinggi, saya juga memikirkan bagaimana perekonomian orang tua saya.
Dalam waktu yang sama, saya juga sadar, ini zaman sudah semakin aneh, lucu dan membingungkan, semuanya campur aduk. Tak ada jaminan juga kalaupun saya sudah sarjana, saya bisa bekerja di bidang yang saya mau dan sukai.
Sekolah selama ini, mulai dari SD sampai SMA, hanya terutama mengajarkan mata pelajaran -- mata pelajaran yang saya sendiri pun geli dan bingung karena tidak tahu bagaimana mempergunakannya dalam kehidupan nyata, kecuali, hanya terutama perlu agar siswa bisa masuk dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi karena sudah SMA. Makanya, bagi siswa kelas III SMA, latihan-latihan pengerjaan soal, simulasi pengerjaan soal masuk perguruan tinggi dilakukan secara intensif dengan mendatangkan pelatih/mentor dari luar sekolah.
Sekolah mengasumsikan bahwa semua siswa akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Apakah selalu begitu? Bagaimana kalau ada siswa yang memutuskan tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena berbagai alasan termasuk misalnya, terbatasnya kemampuan perekonomian keluarga? Apa iya, siswa tersebut harus menghabiskan sebagian waktunya untuk berlatih mengerjakan soal-soal masuk perguruan tinggi itu?
Ada sekolah-sekolah di mana siswa atau anak akan senang dan bisa menjadi hebat? Adakah sekolah, paling tidak di Indonesia ini yang melaksanakan semangat pendidikan a la Romo Mangun?
Ada. Di Jawa ada Salam, Sanggar Anak Alam. Beruntunglah anak-anak yang menjadi bagian dari Salam. Yang saya tangkap dari sistem yang ada di sekolah ini: setiap anak itu menjalankan kurikulum yang tepat bagi dirinya. Apakah siswa di Salam mempelajari mata pelajaran yang ada di sekolah-sekolah pemerintah? Iya. Ternyata, anak yang menjalankan kurikulum yang spesifik bagi dirinya, justru akan lebih mudah mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah konvensional. Itu masuk akal karena sekalipun seorang anak memilih bentuk kurikukulum untuk dirinya sendiri dengan melibatkan guru dan orang tua, anak itu pastilah akan berinteraksi dengan banyak bidang dalam kehidupan. Dalam interaksi itulah seorang siswa/anak dengan lebih mudah dan gembira mempelajari berbagai macam hal seperti sejarah, matematika, biologi dan bidang lainnya. Justru menarik bagi siswa karena dia bisa melihat dan mempergunakan berbagai macam bidang ilmu itu dalam bidang khusus yang dia minati.