Meski jauh dari memadai, kebijakan pelabelan kandungan gula tetaplah diperlukan. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat membantu mengurangi konsumsi pangan berpemanis.
Rendahnya literasi di Indonesia menyajikan tantangan yang lebih besar sehingga sekedar pelabelan gula saja tidak cukup. Jangankan memahami isi label produk pangan, membacanya saja barangkali tidak banyak orang akan melakukannya.
Pemerintah perlu memberi tekanan yang lebih kepada produsen pangan, misalnya dengan segera merealisasikan pemberlakuan cukai gula maupun pembatasan jumlah kandungan gula dalam produk pangan yang disertai dengan penegakan hukum yang konsekwen.
Di Indonesia persoalan ini menjadi lebih rumit mengingat pengawasan terhadap produk pangan masih belum bisa menjangkau hingga level usaha kecil. Padahal tak sedikit juga pelaku usaha kecil yang memproduksi pangan dengan kandungan gula yang tinggi dan digemari masyarakat seperti es kepal, boba, martabak manis, piscok, dll.
Pemerintah juga perlu antisipatif terhadap dampak penerapan kebijakan pengendalian konsumsi gula tersebut terhadap pelaku usaha kecil. Ketentuan pencantuman label kandungan gula pada produk makanan tentunya akan menjadi tambahan biaya produksi tersendiri. Demikian juga dengan rencana penerapan cukai gula.
Di sisi lain, membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya makanan sehat, khususnya membatasi konsumsi gula adalah langkah strategis yang harus ditempuh. Literasi gizi seimbang menjadi sangat relevan untuk dilakukan, khususnya kepada ibu rumah tangga dan pelajar di semua tingkat. Ibu rumah tangga memiliki peran yang menentukan atas akses keluarga terhadap pangan bergizi sekaligus membentuk preferensi makan pada anak sejak dini.
Berbagai upaya preventif untuk menekan prevalensi diabetes tersebut adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh sesegera mungkin. Sebab, prevalensi diabetes yang semakin tinggi tentunya akan membutuhkan penanganan yang jauh lebih mahal biayanya dan berimplikasi negatif terhadap upaya membangun kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang.
Bersikap Kritis Terhadap Gula
Memahami sejarah kehadiran gula dapat membantu kita untuk memahami bahwa selera dan hasrat manusia terhadap gula tidak sepenuhnya merupakan hal yang alami. Kebutuhan manusia masa kini akan gula cenderung diciptakan dan dibesar-besarkan oleh pelaku industri pangan (gula). “Budaya gula” dibentuk oleh silang sengkarut kekuatan politik, sosial, ekonomi di sepanjang perjalanan peradaban manusia.
Konsumsi gula berlebih yang mendorong tingginya prevalensi diabetes bukan sekedar merupakan hasil ketidakpahaman atau kesalahan masyarakat akan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Lebih dari itu, kondisi itu tercipta karena pola pangan masyarakat sudah terlalu lama dikondisikan oleh industri pangan.
Di sinilah pentingnya peran negara dan sikap kritis rakyat. Kita perlu untuk mendesak negara agar tidak hanya melindungi kepentingan industri namun secara nyata mewujudkan keberpihakannya untuk melindungi kesehatan rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H