Mohon tunggu...
Paramesthi Iswari
Paramesthi Iswari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga. Sedang belajar untuk kembali menulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kamuflase Gula dan Kehadiran Negara

18 Juli 2024   08:33 Diperbarui: 18 Juli 2024   10:18 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gula pada label kaldu bubuk penyedap rasa.  Dok. pribadi

Hingga kini, industri pangan sarat gula tetap bertahan sebagai industri bernilai ekonomi tinggi.  Sebut saja perusahaan raksasa food & beverages seperti Coca cola, Pepsi, Nestle, Cadburry yang telah lebih dari seabad sukses menguasai pasar pangan sarat gula.  

Ketika kesadaran masyarakat akan bahayanya mengkonsumsi gula secara berlebih menguat, perusahan-perusahan tersebut mendukung riset-riset untuk mengukuhkan bahwa ancaman kesehatan yang sebenarnya datang dari makanan berlemak.  Lemaklah yang menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah dan penyakit jantung.  

Di sisi lain mereka gencar sekali mencitrakan produknya sebagai bagian dari gaya hidup sehat, misalnya dengan beriklan dan menjadi sponsor acara-acara olah raga.  Industri pangan sudah sangat lihai menepis dan mengaburkan fakta akan efek negatif konsumsi gula berlebih demi melanggengkan kepentingan ekonominya.

Kamuflase Gula

Kebanyakan orang menjadi penderita diabetes melalui proses yang tidak disadari dalam jangka waktu lama.  Hal ini terjadi karena sebagian besar dari asupan gula dikonsumsi sebagai gula tambahan dalam produk makanan dan minuman.  Industri pangan memiliki banyak strategi untuk menyamarkan kandungan gula dalam produknya.  Berikut ini beberapa jurus kamuflase gula dalam produk pangan.

1.  Menyebut gula dengan istilah yang tidak umum

Gula memiliki berbagai bentuk dan nama yang berbeda.  Sugar science mendata setidaknya ada 61 nama berbeda untuk gula, dari nama yang cukup umum seperti fruktosa dan laktosa hingga nama yang asing di telinga awam seperti dextrin, ethyl maltol, inversol, dll. Produsen pangan sering mencantumkan gula dengan nama spesifik dalam label produknya sehingga sulit dikenali oleh konsumen awam. 

2.  Menyebutkan beberapa jenis gula yang berbeda 

Pada label produk makanan, bahan-bahan dicantumkan berurutan sesuai kuantitasnya.  Produsen pangan sering kali mencantumkan 2 atau 3 jenis gula yang mengesankan produk tersebut mengandung gula dalam jumlah rendah.  Misalnya dalam sebuah produk minuman rasa susu yang banyak beredar mencantumkan gula sebanyak 0 dan laktosa sebanyak 4 gram.  Bila konsumen tidak cermat ia akan terkecoh dan menganggap produk tersebut tidak mengandung gula.  Namun, produk tersebut sebenarnya memiliki kandungan gula dalam bentuk laktosa. 

3.  Menambahkan gula pada produk pangan yang “tidak manis”

Kandungan gula yang tinggi identik dengan makanan manis seperti coklat atau kue.  Namun, siapa sangka jika gula tambahan pun terdapat pula pada produk yang memiliki asosiasi sebagai pangan yang tidak manis, seperti yoghurt, granola, saus spaghetti, sereal, saos, bahkan dalam kaldu bubuk penyedap rasa.  Hal ini dilakukan oleh produsen karena selain menambah rasa, keberadaan gula pada produk pangan juga meningkatkan daya tahan penyimpanannya.  Oleh karena itu, konsumen perlu mencermati adanya kandungan gula pada label meskipun produk tersebut dianggap umumnya tidak manis. 

Gula pada label kaldu bubuk penyedap rasa.  Dok. pribadi
Gula pada label kaldu bubuk penyedap rasa.  Dok. pribadi

4.  Penggunaan istilah “gula sehat” pada kemasan

Sering kali konsumen merasa sudah merasa aman ketika membeli produk dengan “pemanis alami” seperti: madu, gula aren, agave, dll.  Padahal, gula alami pun bila ditambahkan pada suatu produk makanan tetaplah bersifat sebagai gula tambahan. Namanya mungkin tak semenyeramkan dextrose, namun apapun istilahnya gula adalah gula yang memiliki efek negatif bila dikonsumsi berlebih. 

Produsen juga sering memanfaatkan kerancuan pemahaman ini dengan mencantumkan istilah “tidak mengandung gula rafinasi” sehingga produknya terkesan lebih sehat.  Padahal, konsumen perlu kritis karena mungkin produk tersebut memang tidak mengandung gula rafinasi (gula putih) namun masih mengandung gula lain dalam bentuk yang berbeda.

5.  Label “low sugar” atau “less sugar”

Label “less sugar” terbukti efektif membujuk konsumen untuk membeli sebuah produk pangan karena merasa sudah membeli produk yang rendah gula (low sugar).  Padahal, keduanya tidak sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun