Angka penderita diabetes di Indonesia kian meningkat. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyerukan kegentingan karena kasus anak penderita diabetes melonjak hingga 70% dalam 15 tahun terakhir.
Sementara itu, gerai minuman dan makanan manis terus beranak pinak. Etalase pertokoan dipenuhi produk pangan berpemanis. Slogan “berbukalah dengan yang manis” terlanjur menempel di benak meski bukan Ramadhan. Bahkan air mineral pun berpropaganda “yang ada manis-manisnya!”.
Pemerintah berencana menerapkan label kandungan gula pada produk pangan. Langkah baik, namun terlalu lambat dan tak memadai. Sementara cukai minuman berpemanis masih juga sekadar wacana.
Si tertuduh gula mungkin hanya nyengir mendengar rencana pemerintah itu. Bekendaraan raksasa industri pangan dunia, saat ini gula telah menghegemoni kuat di alam bawah sadar umat manusia. Candu gula terlalu perkasa untuk sekadar ditaklukkan dengan peraturan pemerintah yang serba tanggung alias minimalis.
Tulisan ini mencoba untuk sedikit beropini tentang kebijakan pelabelan pangan berpemanis yang jauh dari memadai untuk membendung gempuran industri pangan sarat gula yang sudah sedemikian besar menggurita dan lihai berkamuflase.
Diabetes Meningkat Secara Global
Peningkatan diabetes bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi pula secara global. International Diabetes Federation (IDF) merilis data bahwa per tahun 2021 setidaknya 537 juta orang di dunia hidup dengan diabetes, 1 dari 10. Kabar buruknya, angka tersebut diprediksi akan terus meningkat hingga 46% pada tahun 2045.
Kemudahan akses terhadap pangan dan kemajuan teknologi ditengarai sebagai faktor yang mendongkrak kenaikan angka penderita diabetes. Di zaman kini, manusia memiliki akses terhadap pangan yang paling mudah dibandingkan sepanjang sejarah evolusinya.
Saat ini pangan relatif dapat diakses oleh manusia setiap saat tanpa perlu melakukan kegiatan fisik yang berat (seperti berburu, bercocok tanam). Sedangkan kemajuan teknologi memungkinkan manusia merekayasa ketersediaan pangan sepanjang waktu dan mengurangi aktivitas fisik manusia yang akhirnya membawa gaya hidup sedenter (tidak aktif). Pangan yang melimpah dan gaya hidup sedenter, duet maut yang mendorong diabetes.
Kepentingan Ekonomi di Balik Industri Pangan Sarat Gula
Sebenarnya, tubuh manusia tidak terlalu membutuhkan gula tambahan. Selama berabad-abad sebelum gula diproduksi massal, tubuh manusia berfungsi dengan baik dan cukup puas dengan gula alami dari pangan utuh seperti buah-buahan, nasi, ubi, madu, dll. Jadi, gula tambahan sebenarnya bukanlah kebutuhan yang penting penting amat bagi tubuh manusia.
Anggapan bahwa gula adalah “kebutuhan” tidak dapat dilepaskan dari sejarah imperialisme di abad ke-15. Ketika para pedagang barat memperkenalkan butir-butir kristal gula yang dibawa dari India, segera saja gula menjadi populer di kalangan kaum ningrat dan borjuis. Pada masa itu gula disebut sebagai “emas putih” untuk menggambarkannya sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Melalui imperialisme, gula rafinasi mulai diproduksi secara masal di daerah-daerah jajahan dan menjadi sumber kalori murah untuk para pekerja. Harga gula menjadi murah namun volume konsumsinya meningkat drastis. Gula yang semula menjadi simbol kemewahan kini dianggap menjadi kebutuhan bagi semua manusia.
Hingga kini, industri pangan sarat gula tetap bertahan sebagai industri bernilai ekonomi tinggi. Sebut saja perusahaan raksasa food & beverages seperti Coca cola, Pepsi, Nestle, Cadburry yang telah lebih dari seabad sukses menguasai pasar pangan sarat gula.
Ketika kesadaran masyarakat akan bahayanya mengkonsumsi gula secara berlebih menguat, perusahan-perusahan tersebut mendukung riset-riset untuk mengukuhkan bahwa ancaman kesehatan yang sebenarnya datang dari makanan berlemak. Lemaklah yang menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah dan penyakit jantung.
Di sisi lain mereka gencar sekali mencitrakan produknya sebagai bagian dari gaya hidup sehat, misalnya dengan beriklan dan menjadi sponsor acara-acara olah raga. Industri pangan sudah sangat lihai menepis dan mengaburkan fakta akan efek negatif konsumsi gula berlebih demi melanggengkan kepentingan ekonominya.
Kamuflase Gula
Kebanyakan orang menjadi penderita diabetes melalui proses yang tidak disadari dalam jangka waktu lama. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari asupan gula dikonsumsi sebagai gula tambahan dalam produk makanan dan minuman. Industri pangan memiliki banyak strategi untuk menyamarkan kandungan gula dalam produknya. Berikut ini beberapa jurus kamuflase gula dalam produk pangan.
1. Menyebut gula dengan istilah yang tidak umum
Gula memiliki berbagai bentuk dan nama yang berbeda. Sugar science mendata setidaknya ada 61 nama berbeda untuk gula, dari nama yang cukup umum seperti fruktosa dan laktosa hingga nama yang asing di telinga awam seperti dextrin, ethyl maltol, inversol, dll. Produsen pangan sering mencantumkan gula dengan nama spesifik dalam label produknya sehingga sulit dikenali oleh konsumen awam.
2. Menyebutkan beberapa jenis gula yang berbeda
Pada label produk makanan, bahan-bahan dicantumkan berurutan sesuai kuantitasnya. Produsen pangan sering kali mencantumkan 2 atau 3 jenis gula yang mengesankan produk tersebut mengandung gula dalam jumlah rendah. Misalnya dalam sebuah produk minuman rasa susu yang banyak beredar mencantumkan gula sebanyak 0 dan laktosa sebanyak 4 gram.
Bila konsumen tidak cermat ia akan terkecoh dan menganggap produk tersebut tidak mengandung gula. Namun, produk tersebut sebenarnya memiliki kandungan gula dalam bentuk laktosa.
3. Menambahkan gula pada produk pangan yang “tidak manis”
Kandungan gula yang tinggi identik dengan makanan manis seperti coklat atau kue. Namun, siapa sangka jika gula tambahan pun terdapat pula pada produk yang memiliki asosiasi sebagai pangan yang tidak manis, seperti yoghurt, granola, saus spaghetti, sereal, saos, bahkan dalam kaldu bubuk penyedap rasa.
Hal ini dilakukan oleh produsen karena selain menambah rasa, keberadaan gula pada produk pangan juga meningkatkan daya tahan penyimpanannya. Oleh karena itu, konsumen perlu mencermati adanya kandungan gula pada label meskipun produk tersebut dianggap umumnya tidak manis.
4. Penggunaan istilah “gula sehat” pada kemasan
Sering kali konsumen merasa sudah merasa aman ketika membeli produk dengan “pemanis alami” seperti: madu, gula aren, agave, dll. Padahal, gula alami pun bila ditambahkan pada suatu produk makanan tetaplah bersifat sebagai gula tambahan. Namanya mungkin tak semenyeramkan dextrose, namun apapun istilahnya gula adalah gula yang memiliki efek negatif bila dikonsumsi berlebih.
Produsen juga sering memanfaatkan kerancuan pemahaman ini dengan mencantumkan istilah “tidak mengandung gula rafinasi” sehingga produknya terkesan lebih sehat. Padahal, konsumen perlu kritis karena mungkin produk tersebut memang tidak mengandung gula rafinasi (gula putih) namun masih mengandung gula lain dalam bentuk yang berbeda.
5. Label “low sugar” atau “less sugar”
Label “less sugar” terbukti efektif membujuk konsumen untuk membeli sebuah produk pangan karena merasa sudah membeli produk yang rendah gula (low sugar). Padahal, keduanya tidak sama.
Merujuk pada Peraturan BPOM No. 1 tahun 2022, label “less sugar” artinya produk tersebut mengandung 25% lebih sedikit gula dari pada produk sebelumhya. Sedangkan “low sugar” artinya kandungan gula dalam produk tersebut kurang dari 5 gram per 100 gram sajian untuk produk padat dan 2,5 gram per 100 ml untuk produk cair.
Sebagai contoh, sebuah minuman teh kemasan yang banyak dijual di minimarket kandungan gulanya sebesar 17 gram per 200 ml. Produk yang sama dengan label “less sugar” kandungan gulanya 15 gram per 300 ml. Ini artinya, produk “less sugar” teh kemasan tersebut masih memiliki kandungan gula dalam jumlah yang cukup tinggi dan tidak masuk dalam kategori "low sugar'.
6. Mengurangi porsi
Pelaku industri pangan sering membuat versi porsi lebih kecil dari produk yang sudah ada sebelumnya, misalnya piza dalam ukuran mini, minuman soda dalam kemasan kecil, biscuit coklat mini, dll.
Dengan membeli produk dalam porsi kecil tersebut konsumen seolah-olah merasa telah mengurangi asupan gula. Namun sering kali konsumen justru menjadi terlena untuk kemudian mengkonsumsi produk itu dalam jumlah lebih banyak.
Merujuk pada aneka kamuflase gula tersebut, dapat disimpulkan bahwa kandungan gula pada sebuah produk pangan sering kali tidak mudah untuk diidentifikasi secara langsung. Cara paling mudah untuk menghindarinya adalah dengan menghindari pangan ultra proses (highly processed food) dan lebih memilih mengkonsumsi pangan utuh (whole food).
Peran Negara
Upaya mengendalikan konsumsi gula melalui kebijakan publik bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Selera dan pola makan masyarakat telah terlanjur terkondisikan oleh kekuatan industri pangan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Masyarakat sudah terlalu lama dibanjiri dengan pangan sarat gula beserta semua propaganda periklanannya sehingga cenderung tak memiliki kesadaran kritis terhadap gula. Kondisi tersebut juga membuat masyarakat menjadi miskin dengan pilihan terhadap pangan utuh dengan gula alami.
Sebagai contoh, dalam kehidupan modern yang serba sibuk, mengakses mie instan yang sarat karbohidrat sederhana sering kali menjadi pilihan yang lebih praktis dari pada sarapan dengan ubi.
Meski jauh dari memadai, kebijakan pelabelan kandungan gula tetaplah diperlukan. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat membantu mengurangi konsumsi pangan berpemanis.
Rendahnya literasi di Indonesia menyajikan tantangan yang lebih besar sehingga sekedar pelabelan gula saja tidak cukup. Jangankan memahami isi label produk pangan, membacanya saja barangkali tidak banyak orang akan melakukannya.
Pemerintah perlu memberi tekanan yang lebih kepada produsen pangan, misalnya dengan segera merealisasikan pemberlakuan cukai gula maupun pembatasan jumlah kandungan gula dalam produk pangan yang disertai dengan penegakan hukum yang konsekwen.
Di Indonesia persoalan ini menjadi lebih rumit mengingat pengawasan terhadap produk pangan masih belum bisa menjangkau hingga level usaha kecil. Padahal tak sedikit juga pelaku usaha kecil yang memproduksi pangan dengan kandungan gula yang tinggi dan digemari masyarakat seperti es kepal, boba, martabak manis, piscok, dll.
Pemerintah juga perlu antisipatif terhadap dampak penerapan kebijakan pengendalian konsumsi gula tersebut terhadap pelaku usaha kecil. Ketentuan pencantuman label kandungan gula pada produk makanan tentunya akan menjadi tambahan biaya produksi tersendiri. Demikian juga dengan rencana penerapan cukai gula.
Di sisi lain, membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya makanan sehat, khususnya membatasi konsumsi gula adalah langkah strategis yang harus ditempuh. Literasi gizi seimbang menjadi sangat relevan untuk dilakukan, khususnya kepada ibu rumah tangga dan pelajar di semua tingkat. Ibu rumah tangga memiliki peran yang menentukan atas akses keluarga terhadap pangan bergizi sekaligus membentuk preferensi makan pada anak sejak dini.
Berbagai upaya preventif untuk menekan prevalensi diabetes tersebut adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh sesegera mungkin. Sebab, prevalensi diabetes yang semakin tinggi tentunya akan membutuhkan penanganan yang jauh lebih mahal biayanya dan berimplikasi negatif terhadap upaya membangun kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang.
Bersikap Kritis Terhadap Gula
Memahami sejarah kehadiran gula dapat membantu kita untuk memahami bahwa selera dan hasrat manusia terhadap gula tidak sepenuhnya merupakan hal yang alami. Kebutuhan manusia masa kini akan gula cenderung diciptakan dan dibesar-besarkan oleh pelaku industri pangan (gula). “Budaya gula” dibentuk oleh silang sengkarut kekuatan politik, sosial, ekonomi di sepanjang perjalanan peradaban manusia.
Konsumsi gula berlebih yang mendorong tingginya prevalensi diabetes bukan sekedar merupakan hasil ketidakpahaman atau kesalahan masyarakat akan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Lebih dari itu, kondisi itu tercipta karena pola pangan masyarakat sudah terlalu lama dikondisikan oleh industri pangan.
Di sinilah pentingnya peran negara dan sikap kritis rakyat. Kita perlu untuk mendesak negara agar tidak hanya melindungi kepentingan industri namun secara nyata mewujudkan keberpihakannya untuk melindungi kesehatan rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H