Melalui imperialisme, gula rafinasi mulai diproduksi secara masal di daerah-daerah jajahan dan menjadi sumber kalori murah untuk para pekerja. Harga gula menjadi murah namun volume konsumsinya meningkat drastis. Gula yang semula menjadi simbol kemewahan kini dianggap menjadi kebutuhan bagi semua manusia.
Hingga kini, industri pangan sarat gula tetap bertahan sebagai industri bernilai ekonomi tinggi. Sebut saja perusahaan raksasa food & beverages seperti Coca cola, Pepsi, Nestle, Cadburry yang telah lebih dari seabad sukses menguasai pasar pangan sarat gula.
Ketika kesadaran masyarakat akan bahayanya mengkonsumsi gula secara berlebih menguat, perusahan-perusahan tersebut mendukung riset-riset untuk mengukuhkan bahwa ancaman kesehatan yang sebenarnya datang dari makanan berlemak. Lemaklah yang menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah dan penyakit jantung.
Di sisi lain mereka gencar sekali mencitrakan produknya sebagai bagian dari gaya hidup sehat, misalnya dengan beriklan dan menjadi sponsor acara-acara olah raga. Industri pangan sudah sangat lihai menepis dan mengaburkan fakta akan efek negatif konsumsi gula berlebih demi melanggengkan kepentingan ekonominya.
Kamuflase Gula
Kebanyakan orang menjadi penderita diabetes melalui proses yang tidak disadari dalam jangka waktu lama. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari asupan gula dikonsumsi sebagai gula tambahan dalam produk makanan dan minuman. Industri pangan memiliki banyak strategi untuk menyamarkan kandungan gula dalam produknya. Berikut ini beberapa jurus kamuflase gula dalam produk pangan.
1. Menyebut gula dengan istilah yang tidak umum
Gula memiliki berbagai bentuk dan nama yang berbeda. Sugar science mendata setidaknya ada 61 nama berbeda untuk gula, dari nama yang cukup umum seperti fruktosa dan laktosa hingga nama yang asing di telinga awam seperti dextrin, ethyl maltol, inversol, dll. Produsen pangan sering mencantumkan gula dengan nama spesifik dalam label produknya sehingga sulit dikenali oleh konsumen awam.
2. Menyebutkan beberapa jenis gula yang berbeda
Pada label produk makanan, bahan-bahan dicantumkan berurutan sesuai kuantitasnya. Produsen pangan sering kali mencantumkan 2 atau 3 jenis gula yang mengesankan produk tersebut mengandung gula dalam jumlah rendah. Misalnya dalam sebuah produk minuman rasa susu yang banyak beredar mencantumkan gula sebanyak 0 dan laktosa sebanyak 4 gram.
Bila konsumen tidak cermat ia akan terkecoh dan menganggap produk tersebut tidak mengandung gula. Namun, produk tersebut sebenarnya memiliki kandungan gula dalam bentuk laktosa.
3. Menambahkan gula pada produk pangan yang “tidak manis”
Kandungan gula yang tinggi identik dengan makanan manis seperti coklat atau kue. Namun, siapa sangka jika gula tambahan pun terdapat pula pada produk yang memiliki asosiasi sebagai pangan yang tidak manis, seperti yoghurt, granola, saus spaghetti, sereal, saos, bahkan dalam kaldu bubuk penyedap rasa.
Hal ini dilakukan oleh produsen karena selain menambah rasa, keberadaan gula pada produk pangan juga meningkatkan daya tahan penyimpanannya. Oleh karena itu, konsumen perlu mencermati adanya kandungan gula pada label meskipun produk tersebut dianggap umumnya tidak manis.