Satu per satu pelamar keluar dari ruangan interview dan sampailah saya pada giliran terakhir, saat itu sudah pukul delapan malam.
Saya masuk ke dalam ruangan yang dingin dan duduk berhadapan dengan bapak-bapak yang penuh kharisma. Saya disambut dengan ramah dan dipersilakan menceritakan sekilas tentang diri.
Saya lihat bapak-bapak tersebut membaca dan membolak-balik CV saya. Tidak bermaksud menyombongkan diri, CV saya memang penuh dengan pengalaman organisasi dan beberapa prestasi akademik dan non-akademik.
Dugaan saya meleset, ternyata tidak ada satu pun yang membahas soal pengalaman organisasi dan prestasi itu. Mereka justru excited dengan pengalaman bisnis yang saya sematkan di situ. Tidak banyak, hanya tiga macam bisnis kecil. Selama 1,5 jam wawancara, saya hanya ditanya mengenai bisnis pecel madiun yang sedang saya jalankan.
Berbagai macam pertanyaan terlontar tentang bagaimana saya menangani bisnis sambil kuliah, apa yang membuat saya berani berbisnis, bagaimana cara mengelola karyawan, keuangan, dan lain sebagainya.
Wawancaradiakhiri dengan pertanyaan oleh salah satu bapak Manager Area Tuban, “Terus kalau kamu keterima Sampoerna, pecelmu gimana?” Pertanyaan yang sungguh membuat saya over expectedakan diterima (cieeeee…).
“Sebisa mungkin tetap saya jalankan, Pak. Mungkin saya harus mencari orang kepercayaan yang mampu menggantikan saya untuk mengawasi sehari-hari,” jawab saya dengan tegas.
“Ok, good! Jangan sampai tutup ya gara-gara sudah jadi karyawan,” imbuh beliau. Wah, komentar itu membuat saya makin di atas awan.
Satu minggu menjadi penantian menegangkan tentang keputusan diterima atau ditolak. Menegangkan lebih dari apa pun. Penantian berakhir ketika pihak HR menghubungi saya via telepon.
“Pandu, kami ucapkan selamat, kamu lolos semua tes dan diterima menjadi Supervisor Area Marketing Tuban. Bulan depan sudah siap ya untuk penempatan di Tuban? Halo, halo? Pandu?”
“Siap, Bu! Mohon maaf saya agak blank karena tidak percaya saya diterima. Saya siap kapan pun, di mana pun,” jawab saya.