Mohon tunggu...
Pandu Aditama
Pandu Aditama Mohon Tunggu... Konsultan - Business Development | B2B | Sales Marketing Enthusiast | People Development

IG: coachpandudewi Linkedin: Pandu Aditama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tukang Pecel Naik Kelas, Kisah Manis Bersama Sampoerna

16 Desember 2016   17:27 Diperbarui: 19 Desember 2016   10:01 2307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mencoba membuka usaha sablon kaos. Kecil-kecilan memang, tetapi lumayan buat menyalurkan hobi saya di bidang desain grafis. Usaha ini cukup menambah income saya selama kurang lebih satu tahun.

Tak puas dengan usaha ini, saya menjajal peruntungan dengan mengajukan proposal pada sebuah program pelatihan kewirausahaan di kampus. Kali ini saya buktikan lagi bahwa usaha dan doa itu mujarab.

Bersama tiga orang rekan, saya berhasil mendapatkan dana hibah sebesar Rp 15 juta. Wow, amazing!Dana ini kami gunakan untuk membuka usaha budidaya ikan nila merah pada salah satu daerah sentra ikan air tawar di Bogor.

Setelah usaha ini jalan setahun, alhamdulillah, kami rugi. Meski bangkrut, kami tetap harus bersyukur. Banyak sekali pelajaran yang kami dapatkan dari bisnis ini. Rupa-rupanya tengkulak memang tidak bisa dihindari. Inilah yang membuat kami dan para pembudidaya lokal lainnya susah mengambil untung. Harga belinya sangat rendah dan tengkulak sering mengintimidasi atas dasar kekayaannya di wilayah setempat. Saya jadi tahu susah dan sedihnya jadi petani.

Setelah bisnis kedua gagal, saya masih melanjutkan bisnis desain yang sebelumnya saya rintis. Di saat bersamaan, saya juga menjalankan usaha kecil-kecilan lainnya, seperti jualan molen arab atau molen berukuran jumbo dan minuman cepat saji. Tidak besar sihuntungnya, tapi dari bisnis yang saya jalani ini membuat saya mandiri.

Nyatanya saya bisa survive tanpa harus merepotkan keluarga. Ini persis seperti judul buku yang pernah saya baca, “The Power of Kepepet”. Manusia terkadang harus dihadapkan pada posisi yang tertekan alias kepepet untuk mampu mengembangkan kemampuannya dan survive.

Akhirnya sampailah pada tahun ke-4 saya kuliah. Saat sedang sibuk-sibuknya proses skripsi dan berorganisasi, ada good newsdari kakak tingkat saya. Infonya ada salah satu swalayan baru yang membuka kerja sama untuk mengisi tenant di foodcourt-nya.

Tanpa banyak pertimbangan, saya langsung gerak cepat. Urusan skripsi, bisa sambil jalanlah. Ini peluang besar bagi saya yang mulai menikmati bisnis.

Konsep foodcourt swalayan ini cukup unik dan otentik karena menghidangkan kuliner dari Sabang sampai Merauke. Saya berpikir keras untuk memutuskan menu apa yang dapat saya jual di sini dengan keterbatasan waktu saya menggarap skripsi.

Cukup lama saya berdiskusi dengan teman. Akhirnya saya putuskan untuk menjual menu pecel madiun. Menurut saya, hidangan ini mudah disajikan, cocok untuk saya yang tidak punya basic masak-memasak, dan tentunya punya cita rasa khas Indonesia.

Tiga bulan pertama adalah waktu terberat menjalani bisnis goyang lidah ini. Ini tidak semudah seperti yang dibayangkan. Belanja bahan-bahan harus pada dini hari atau subuh supaya mendapatkan sayuran yang murah dan segar di pasar becek. Belum lagi sambal pecel yang jadi senjata utama harus didatangkan dari luar kota untuk mendapatkan orisinalitas rasa pecel madiun itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun