Mohon tunggu...
Alit Teja Kepakisan
Alit Teja Kepakisan Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis di KOPPI

Menulislah dan tetap berpikir!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Presiden, Cerita Kutukan Hingga Keretakan Politik

5 Mei 2022   04:52 Diperbarui: 5 Mei 2022   05:03 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OPINI 

Pengamat Master League Winning Eleven PS2

KONSEP PRESIDEN

Sejarah sistem presidensial tidak akan lepas dari yang namanya tanah kelahiran sistem presidensial itu sendiri yaitu Amerika Serikat. Bahkan beberapa pakar politik dan pakar lainnya mengatakan bahwa konsep presiden itu adalah konsep raja yang dibatasi oleh konstitusi, pemahaman itu sebenarnya itu bisa ditelusuri dari perdebatan bagaimana konsep presiden itu terbentuk bahwa salah satu perumus konstitusi di Amerika Serikat yang menginginkan seperti konsep eksekutif Inggris yaitu eksekutif yang kuat. Tetapi karena Amerika Serikat merupakan bekas jajahan Inggris dan latar belakang lahirnya pemikiran presiden sendiri adalah kebencian monarki model Inggris saat itu sangat kuat.

Tetapi, meski menolak monarki tetapi desain konstitusi yang dirancang pada tahun 1787 juga memberikan kekuatan yang sangat kuat kepada Presiden. Pendapat yang mengatakan itu adalah Jack Bell, bahwa meski menolak raja tetapi kekuasaan presiden itu harus memadai untuk bisa menyelesaikan masalah bangsa, kekuatan yang besar itu sangat cenderung disalahgunakan sebagaimana yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa "kekuasaan cenderung korup tetapi kekuasaan yang absolut sudah pasti korup" maka kekuasaan yang besar itu dibatas oleh konstitusi dengan menggunakan istilah checks and balances. Konsep saling mengimbangi dan mengawasi itu memperlihatkan adanya pemisahan kekuasan antara eksekutif dan legislatif, tetapi konsep raja itu terlihat bahwa Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan Presiden adalah konsep eksekutif tunggal.

Sistem presidensial secara sederhananya adalah menaruh kuasa secara kuat kepada presiden. Karakteristik sistem presidensial pada umumnya adalah Pertama, Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yaitu sederhananya konsep presiden benar-benar konsep raja dalam pengertian modern. Karena jika melihat konsep yang diperkenalkan oleh Inggris pada tahun 1721 yang memperkenalkan konsep parlementer yaitu memisahkan antara kepala pemerintahan dengan kepala negara dan memberikan kekuasaan kepada parlemen. 

Menurut Margarito Kamis yang mengutip bahwa  terminologi kepala negara itu diberikan oleh Clinton Rossiter seorang pakar politik yang menjadikan konstitusi sebagai objek kajiannya, dalam hal itu kepala negara hanya bersifat simbol maka jika ditarik ke dalam sistem parlementer secara teori berarti menaruh kekuasaan eksekutif kepada parlemen karena parlemen adalah episentrum politik, karena politik berada di parlemen seorang perdana menteri bertanggung jawab sepenuhnya kepada parlemen. Jika dalam konsep sistem presidensial, kepala negara dan kepala pemerintahan diberikan kepada seorang presiden.

Kedua pemisahan tegas antara eksekutif dengan legislatif, pemisahan antara eksekutif, legislatif, yudikatif adalah konsep yang diperkenalkan oleh Montesquieu pada tahun 1748 yang biasanya dikenal sebagai Trias Politica diadopsi oleh para perancang konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1787. 

Jika dibandingkan dengan konsep parlementer, pertanggung jawaban serta jalannya kekuasaan sangat ditentukan oleh parlemen karena perdana menteri serta para menteri nya bertanggung jawab kepada parlemen bahkan eksistensi pemerintahan ditentukan oleh suara parlemen, berbeda dengan konsep sistem presidensial yang tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden (eksekutif) dan parlemen (legislatif) sama- sama dipilih langsung oleh rakyat, jadi pemegang mandat rakyat adalah eksekutif serta legislatif.

Ketiga konsep yang fix-term. Perbandingan sederhana antara sistem presidensial dengan konsep parlementer adalah jika fleksibel ada pada sistem parlementer sedangkan kepastian ada pada sistem presidensial. 

Seorang kepala pemerintahan dalam konsep parlementer sangat ditentukan oleh bagaimana politik dalam parlemen sedangkan kepala pemerintahan dalam konsep presiden dia tidak bergantung kepada parlemen karena presiden memiliki masa jabatan yang sangat tetap (disesuaikan dengan konstitusi) seperti contoh di Indonesia adalah 5 tahun, di Amerika Serikat 4 tahun dan kepastian masa jabatan akan bisa dihentikan jika presiden dimakzulkan yaitu karena melanggar hukum sesuai yang diatur oleh konstitusi. Dan tatkala memilih sistem presidensial adalah memilih suatu kepastian kepemimpinan dan ini sangat berbeda dengan sistem parlementer.

AWAL MULA PEMBATASAN PERIODE MASA JABATAN PRESIDEN 

Menarik, jika ditelaah dari sejarahnya bahwa presiden adalah raja dalam konsep modern yaitu salah satu cirinya dibatasi oleh konstitusi. Tetapi sebenarnya jika dilihat lebih jauh lagi sebenarnya pembatasan itu hanya bersifat wewenang atau lingkup kekuasaan yang dibatasi sebagai contoh misalnya presiden hanya bisa mundur di tengah jalan dengan mekanisme pemakzulan jika seorang presiden terbukti melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi, tetapi jika ada yang mempertanyakan yaitu sistem manakah yang baik apakah sistem parlementer atau sistem presidensial? Itu adalah soal lain. 

Tetapi konsep presiden yang diperkenalkan oleh Amerika Serikat mulai dipraktikkan oleh presiden amerika yang pertama yaitu George Washington pada tahun 1789.

Saat itu George Washington adalah tokoh yang sangat dihormati karena George Washington adalah salah satu tokoh kemerdekaan pada tahun 1776 dan juga merupakan perancang konstitusi di Philadelphia. Setelah masa jabatan pertama berakhir ia mencalonkan diri kembali menjadi Presiden periode kedua namun yang sangat penting adalah tindakan George Washington di akhir masa jabatan periode kedua bahwa dirinya tidak mau mencalonkan diri kembali menjadi presiden periode ketiga. 

Ia mengatakan bahwa masih banyak generasi lain yang akan menjadi seorang Presiden di Amerika Serikat, tetapi yang harus dilihat adalah saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur tentang pembatasan masa jabatan dan yang hanya diatur oleh konstitusi Amerika Serikat hanya mengatur lama masa jabatan sedangkan tidak mengatur pembatasan periode.

Yang unik adalah hingga presiden ke-31 Amerika Serikat dari George Washington hingga Herbert Hoover, semua presiden saat itu hanya menjabat paling lama hanya dua periode sedangkan itu akhirnya diterobos oleh presiden Amerika Serikat ke 32 yaitu Franklin D. Roosevelt yang menjabat dari 1933 hingga meninggalnya F.D Roosevelt pada tahun 1945 dan setelah meninggalnya F.D Roosevelt kursi kepresidenan saat itu digantikan oleh Harry Truman.

Jadi bisa dikatakan bahwa meski konstitusi saat itu walaupun  tidak mengatur pembatasan masa jabatan tetapi tradisi dari George Washington bahkan mungkin menurut saya yang termasuk ikut mempertahankan itu adalah Thomas Jefferson, dan dua periode dipertahankan menjadi hukum tidak tertulis yang ditaati hingga presiden ke -31 Herbert Hoover dan diterobos oleh Franklin D. Roosevelt hingga pada era presiden Truman konstitusi di amandemen ke-22 menjadi membatasi secara konstitusional bahwa presiden hanya dua periode. Serupa terjadi di Indonesia saat diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 menurut beberapa literatur banyak sekali yang mengatakan sesungguhnya UUD 1945 saat itu adalah konstitusi yang bersifat sementara dan banyak sekali buku yang mengutip Bung Karno mengatakan bahwa sederhananya sebagai berikut:

Dikemudian hari jika keadaan negara sudah baik maka akan dilakukan perubahan konstitusi yang lebih baik karena UUD 1945 adalah Undang - Undang Dasar Kilat

Tetapi kembalinya Belanda ke Indonesia pasca kemerdekaan melahirkan banyak peristiwa seperti pertempuran bahkan hal ketatanegaraan juga terjadi saat itu yaitu Maklumat 14 November 1945 yang mengubah praktik sistem presidensial menjadi praktik sistem parlementer tanpa melakukan perubahan UUD 1945 saat itu. 

Dengan kembalinya Belanda menyebabkan keadaan negara belum sepenuhnya benar -- benar baik, karena keadaan seperti itu bahkan pemindahan ibukota ke Yogyakarta hingga berdirinya PDRI ( Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ) pada tahun 1948. Serangkaian peristiwa itu menyebabkan Undang -- Undang Dasar Kilat itu tidak kilat berlakunya, karena UUD 1945 yang diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 berlaku hingga tahun 1949 dan pada tanggal 27 Desember 1949 berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) yang berlaku hanya sampai pada 17 Agustus 1950 menjadi UUDS 1950 atau Undang -- Undang Dasar 1950 diberlakukan saat itu dan berakhir pada Dekrit 5 Juli 1959 oleh Bung Karno yang kembali memberlakukan UUD 1945.

Kembali berlakunya UUD 1945 pasca dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 akhirnya diberlakukan kembali Undang -- Undang Dasar Kilat seperti yang dikatakan 1945. 

Opini pribadi saya mengatakan bahwa sesungguhnya UUD 1945 memang benar-benar kilat, karena jika dilihat atau dibandingkan dengan UUDS 1950 pengakuan HAM seperti pasal 28 UUD 1945 setelah perubahan persis sebagaimana UUDS 1950 sedangkan UUD 1945 saat itu tidak selengkap UUDS 1950 itu menurut saya dan hasil dari beberapa buku yang saya baca dari segi perbandingan. Tetapi catatan pentingnya adalah UUD 1945 memang tidak mengatur secara detail untuk mengantisipasi pembatasan masa jabatan. 

Frasa "sesudahnya dapat dipilih kembali" saat itu melahirkan pemerintahan yang lamanya 32 tahun bertahan dan sangat integralistik selama itu, dan pemilihan presiden baru terjadi saat pemilihan umum 1971 karena saat Bung Karno menjadi presiden dipilih melalui aklamasi bukan melalui pemilihan umum dan bertahannya Bung Karno menjadi presiden dari 1945-1965 juga tidak dilepaskan dari Dekrit 5 Juli 1959.

Hingga reformasi pada tahun 1998 melahirkan tuntutan untuk melakukan reformasi khususnya amandemen konstitusi yang salah satunya adalah pembatasan masa jabatan yang kemudian perubahan konstitusi yang berlaku hari ini adalah hasil dari perubahan 1999 -- 2002. Frasa "dapat dipilih kembali" mungkin telah sirna tetapi isu tiga periode akhir-akhir ini bergulir di ranah politik hingga menimbulkan pro dan kontra antara melakukan amandemen untuk tiga periode dan untuk tetap membatasi masa jabatan dua periode. 

Esensi konstitusionalisme menurut Carl J. Friedrich adalah pembatasan kekuasaan dan prinsip Lord Acton tentang kekuasaan cenderung korup itu memang mengingatkan bahwa kekuasaan hendaknya dibatasi baik secara kualitatif (kewenangan) dan kuantitatif (masa periode) dalam halnya kekuasaan presiden, berbeda sebagaimana konsep parlementer yang hanya ditentukan melalui parlemen tetapi presiden memang sebaiknya dibatasi karena tidak dibatasi masa periode itu melahirkan banyak pemimpin diktator sebagaimana di negara lainnya sekalipun orang baik yang memimpin tetapi ketika kekuasaan itu absolut maka kecenderungan tirani semakin kuat.

 

KUTUKAN DUA PERIODE? BENARKAH?

            

Amerika Serikat dikenal sebagai "The Mother Of Presidential System" dan juga dikenal sebagai sistem presidensial yang ideal. Negara Paman Sam tersebut mempraktikkan pembatasan periode itu memang bertujuan menghalangi presiden yang diktator terlepas dari pro dan kontra saat presiden Franklin D. Roosevelt saat masa kepemimpinannya yang lebih dari dua periode saat menjabat presiden apakah kinerjanya sebagai presiden bagus atau tidak itu soal lain. 

Tetapi perlu diingat bahwa saat Franklin D Roosevelt menjadi presiden ia terkena dampak suatu masalah dengan nama Great Depression atau Depresi Besar menimpa Amerika Serikat yang disebabkan oleh runtuhnya pasar saham di Wall Street tetapi terjadinya ini berawal saat kepemimpinan Herbert Hoover dan Franklin D Roosevelt menjadi terkena dampak sehingga kebijakan F.D Roosevelt saat itu membuat konsep New Deal untuk membantu perekonomian Amerika Serikat tetapi pada akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan New Deal adalah inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat. 

Meski begitu, bertahan dirinya menjadi presiden sebelum menutup usia pada tahun 1945 dirinya termasuk presiden yang cukup lama, entah apakah kebijakan dirinya mampu membantu perekonomian pasca Depresi Besar hingga Perang Dunia II, apakah dan bagaimanakah kebijakan yang diambil saat itu merupakan yang baik atau tidak hanya masyarakat saat itu yang bisa menilai.

Tetapi salah satu kuliah yang pernah saya ikuti  bahwa alasan untuk melakukan amandemen ke-22 di Amerika Serikat saat itu menjadikan F.D Roosevelt sebagai pertimbangan yaitu sederhananya "Apakah kita akan membatasi masa jabatan?", "Masa jabatan itu perlu dibatasi ? Kalau tidak dibatasi mungkin harus dipikirkan yaitu bagaimana jika tidak dibatasi apakah nanti akan muncul seperti Presiden seperti F.D Roosevelt? Tetapi bayangkan jika tidak seperti FD.Roosevelt? Maka pilihan untuk membatasi itu menjadi pilihan yang tepat karena sesuai menutup pemimpin yang tiran bahkan absolutisme.

Kutukan Dua Periode adalah cerita yang biasanya muncul dalam konteks sistem presidensial yang terjadi di Amerika Serikat, suatu artikel bahkan pernah mengatakan bahwa sebenarnya kutukan dua periode ini berasal dari George Washington sendiri yang enggan mencalonkan diri menjadi presiden ketiga periode. 

Tentu banyak sekali sumber yang mengatakan itu bahwa presiden periode kedua cenderung mengalami kegagalan (cenderung) dan bahkan dalam banyak bukti empiris yang memperlihatkan salah satunya yang terjadi di Amerika Serikat adalah Skandal Watergate pada tahun 1972 yang melibatkan presiden Richard Nixon berujung pada impeachment dan akhirnya Nixon mengundurkan diri dari kursi kepresidenan lalu Skandal Bill Clinton dengan Monica Lewinsky  tentang skandal di White House yang berujung pada proses pemakzulan dan Perang Korea yang terjadi saat kepemimpinan Harry Truman hingga Lyndon B Jhonson saat Perang Vietnam. 

Bahkan ada kutukan di Amerika Serikat yaitu kutukan dua puluh tahun yang menimpa presiden Amerika Serikat di antaranya seperti Abraham Lincoln, Franklin D Roosevelt dan lain yang tidak bisa disebutkan lalu apakah benar kutukan itu ada yaitu entah kutukan dua periode atau kutukan dua puluh tahun di Negeri Paman Sam itu? Entah, tetapi jawabannya akan ada di bab kesimpulan tentang kutukan dua periode dalam perspektif dukungan politik.

                        OPINI & KESIMPULAN

Kutukan Dua Periode ini jika dilihat dari perspektif dukungan politik presiden di periode kedua mungkin menarik, bahkan jika dikaitkan dengan istilah "Lame Duck" yang merupakan istilah bagi presiden di penghujung masa jabatan tetapi di ujung masa jabatan telah terpilih presiden baru yang akan menggantikan presiden itu. Menariknya adalah jika dikaji dalam praktik sistem presidensial yang dilakukan hari ini di Indonesia bahkan di Amerika Serikat tentu akan melihat bagaimana relasi antara eksekutif dengan legislatif itu sendiri.

Paradigma separation of power sesungguhnya banyak yang mengatakan bahwa apa yang diidealkan oleh Montesquieu dianggap terlalu teoritis sehingga tidak benar bahwa kekuasaan seperti yang disebutkan itu benar-benar terpisah bahkan penelitian baru pernah menunjukkan teori baru yaitu The New Separation Of Power oleh Bruce Ackerman. 

Seperti di Indonesia pasca perubahan UUD 1945 (1999-2002) maupun sebelum perubahan ada satu prinsip yang tidak berubah yaitu dalam fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan itu selalu mengaitkan antara presiden beserta DPR menjadi hal yang sentral dalam menentukan kebijakan politik (Legal Policy) yang akan diberlakukan oleh presiden maupun DPR keduanya saling berkaitan sehingga separation of power tidak benar-benar terpisah karena harus saling memberikan persetujuan. Sedangkan di Amerika Serikat, fungsi legislasi berbeda dengan di Indonesia yaitu kekuasaan pembentuk Undang - Undang memang di tangan Kongres yaitu gabungan antara Senat & House Of Representative, walaupun presiden di Amerika Serikat menggunakan hak veto terhadap RUU tetapi hak veto akan gagal jika masing-masing kamar setuju terhadap RUU (Rancangan Undang -- Undang) sebanyak 2/3 maka RUU itu sah menjadi hukum. 

Berbeda dengan di Indonesia yang sangat bergantung satu sama lain walaupun DPR bulat mengatakan setuju tetapi jika presiden tidak menyetujui RUU itu maka RUU tidak bisa diajukan kembali dan sebaliknya yang terjadi, jadi pertanyaannya apakah presiden Amerika Serikat mungkin menjalankan Undang - Undang yang dia tidak sepakati bahkan yang dia tidak sukai? Jawabannya mungkin. Sedangkan di Indonesia jika salah satu cabang kekuasaan tidak menyetujui RUU maka UU itu tidak akan berjalan bahkan tidak boleh diajukan kembali, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah visi-misi presiden bisa berjalan? mengingat bahwa negara hukum yang segala sesuatu harus berdasarkan hukum (Rechstaat) bukan kekuasaan belaka. 

Maka mau tidak mau atau suka tidak suka presiden harus memeluk partai yang ada di parlemen untuk bisa menjalankan kebijakannya, suka tidak suka tetapi ini merupakan konsekuensi dari sistem multi-partai dengan menggunakan sistem presidensial.

Ini menarik jika di periode kedua adalah akhir dari masa jabatan serta periode terakhir, timbul beberapa pertanyaan yaitu apakah partai-partai masih bersedia mendukung sebagaimana semangat mendukungnya seperti di penghujung periode pertama jika presiden ingin mencalonkan diri menjadi presiden ke periode kedua yaitu apakah masih se-mesra itu? 

Di periode kedua jika ada yang mengatakan karena kutukan dalam pengertian mistis sebagaimana cerita yang beredar itu mungkin bisa saja tetapi kegagalan itu menurut saya jika dikaji dari perspektif politik yaitu opini pribadi bahwa presiden cenderung akan mengalami kehilangan dukungan politik dan hampir dikatakan sangat pasti dia akan kehilangan dukungan politik di periode kedua. Politik hal ini adalah dalam pengertian dukungan politik di parlemen jika dalam konteks kontestasi dukung partai politik kepada presiden, maka menjadi pertanyaan apakah bisa pelukan itu masih erat di dekat penghujung periode kedua?                                                                                                                                                                                                                                                             

Di Indonesia dalam praktiknya meskipun konstitusi memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk membentuk kabinetnya dalam menjalankan roda pemerintahan tetapi permainan politik partai atau bagi-bagi kursi tidak terhindarkan dalam pembentukan kabinet itu sendiri bahkan dengan konsep ambang batas untuk pencalonan presiden sebenarnya makin menegaskan bahwa dukungan parlemen saat mencalonkan sudah diperlukan yaitu dengan ambang batas atau threshold 20% semakin memperlihatkan hal itu.

Padahal konsep pemisahan kekuasaan idealnya parlemen mengawasi jalannya eksekutif tetapi apa jadinya jika eksekutif dan legislatif malah mesra dan malah tidak pernah setidaknya kritis terhadap pemerintah? Selain mesra bahkan partai masih menuntut untuk dimasukkan ke dalam kabinet? 

Aneh, tapi poin yang mau saya sampaikan bahwa kemesraan itu akan sirna  dalam periode kedua khususnya dalam hal perpolitikan di Indonesia yaitu dengan dimulainya dua tahun sebelum pemilu dimulai kemesraan akan sirna karena masing-masing memanaskan mesin politik akan dimulai. Presiden dalam menuju akhir masa jabatannya sudah sebaiknya dia berpikir bahwa dia adalah mandat langsung dari rakyat  bukan hanya sekedar mandat partai politik yang secara kasarnya hanya sebuah kendaraan.

Penyebab kegagalan di periode kedua menurut opini saya adalah terkait dengan dukungan presiden yang akan melemah di masa penghujung masa jabatannya baik dukungan dari rakyat maupun dari parlemen, seperti contoh konkrit presiden Joko Widodo saat ini. Memasuki tahun 2022 koalisi presiden Joko Widodo mulai terlihat keretakannya sebagaimana banyak artikel yang mengatakan itu  karena masing-masing partai politik akan memanaskan kendaraan menuju ke 2024, bahkan memasuki tahun 2020 salah satu pakar mengingatkan bahwa sebaiknya Jokowi benar-benar lepas dari anasir-anasir lainnya agar dia mendengarkan kehendak rakyat karena dia harus menggunakan mandat langsung sebagaimana konsekuensi dari konsep sistem presidensial yang mana eksekutif mendapatkan mandat langsung dari rakyat bukan dari parlemen saja dan bahwa harus sadar dibalik kursi kepresidenan itu banyak harapan dari rakyat dan sebaiknya fokus untuk memanfaatkan sisa waktu masa jabatan.

Dan mungkin menurut prediksi saya setelah pendaftaran calon presiden & wakil presiden saya yakin presiden Jokowi akan semakin hari akan semakin tidak akan terlihat beritanya karena ditutupi oleh riah-riuh pencalonan dan panasnya politik berbeda saat dia mencalonkan diri kembali untuk kedua periode. 

Meskipun kinerja baik atau buruk kesempatan untuk memperbaiki di periode kedua ada tetapi kini sudah berada di penghujung bahkan beban politik tidak ada di penghujung periode kedua maka sebaiknya manfaatkan waktu yang ada dan memperbaiki apa yang seharusnya dilakukan demi kebaikan bangsa lalu jangan terlalu hiraukan riah-riuh politik yang menyarankan untuk memperpanjang masa jabatan ketiga periode karena saya yakin Jokowi adalah negarawan sudah pasti memahami bahwa taat konstitusi saja tidak cukup melainkan harus paham esensi dari konstitusi itu sendiri yaitu kekuasaan yang dibatasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun