Demikian pula hadits dari Abu Hurairah, bawa Nabi Saw bersabda,
"Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahim." (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ibnu 'Umar Ra pernah berkata:
"Siapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 58)
Sangat banyak keutamaan menjalin silaturahim, dan hendaknya dilakukan benar-benar ikhlas karena Allah. Jika silaturahim dilakukan dengan landasan ikhlas karena Allah, maka Allah pun akan mencinta dirinya. Dalam hadits disebutkan:
"Sesungguhnya ada seseorang yang ingin mengunjungi saudaranya di kota lain. Allah mengutus malaikat untuknya di jalan yang akan ia lalui. Malaikat itu pun berjumpa dengannya seraya bertanya, 'Kemana engkau akan pergi? Ia menjawab, 'Aku ingin mengunjungi saudaraku di kota ini?' Malaikat itu bertanya kembali, 'Apakah ada suatu nikmat yang terkumpul untukmu karena sebab dia?' Ia menjawab, 'Tidak. Aku hanya mencintai dia karena Allah 'azza wa jalla.' Malaikat itu berkata, 'Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untukmu. Allah sungguh mencintaimu karena kecintaan engkau padanya." (HR. Muslim no. 2567).
Hanya saja, tidak ada satupun keterangan yang menghubungkan secara khusus antara silaturahim dengan Iedul Fithri. Silaturahim bisa dilakukan kapan saja, sepanjang waktu, tanpa ada ketentuan pelaksanaan di bulan-bulan tertentu. Maka, silaturahim di bulan Syawal dibolehkan, sebagaimana dilakukan di bulan yang lainnya. Saya memahami hal ini dalam dua bingkai yang sederhana saja. Pertama bingkai budaya, kedua bingkai kesempatan.
Dalam bingkai budaya, mudik lebaran adalah peristiwa budaya yang positif di tengah masyarakat, dimana silaturahim kembali terjalin setelah sempat "terputus" karena kesibukan setahun. Ada anak yang merantau ke kota meninggalkan orangtua di desa, dan hanya sempat pulang setahun sekali menjenguk orangtuanya. Inilah sebabnya maka mudik seperti menjadi keharusan budaya, karena kesempatan dan suasana yang memang sangat istimewa.
Jika kita jauh-jauh pulang kampung di luar momentum lebaran, sering ditanyakan "Ada keperluan apa kok pulang?" Namun saat Syawal, justru akan menjadi pertanyaan ketika tidak mudik. "Mengapa tidak pulang? Ada kesibukan apa?" Nah, ini yang saya maksud bingkai budaya. Tidak mudik, seakan-akan tidak berbudaya.
Dalam bingkai kesempatan, sangat mudah dipahami. Libur Hari Raya Iedul Fitri terjadi secara serempak, sehingga sebagian besar orang memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kunjungan dan pertemuan. Kesempatan seperti ini sangat sulit didapatkan di bulan-bulan lainnya. Jangankan di kalangan banyak keluarga, sedangkan dalam satu keluarga pun, mengatur jadwal antara suami, istri dan anak-anak sudah sulit. Jadwal libur sekolah, libur kuliah, libur kerja, sering kali tidak sama. Namun saat Iedul Fitri, semua memiliki kesempatan yang sama. Inilah alasan paling praktis dari mudik lebaran.
Kedua, saling memberi maaf