Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mudik Lebaran: Merajut Persaudaraan Usai Pilpres yang Menegangkan

29 Mei 2019   08:12 Diperbarui: 29 Mei 2019   12:10 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : KalderaNews

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik memiliki makna (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman); juga bermakna pulang ke kampung halaman. Menurut definisi kamus ini, mudik memiliki makna yang sangat umum. 

Namun di Indonesia, istilah mudik sudah menjadi hal yang melekat dengan Ramadhan dan Iedul Fitri, sering disebut sebagai mudik lebaran, yaitu pulang ke kampung halaman asal, untuk merayakan kebahagiaan Iedul Fitri bersama orangtua, saudara, kerabat dan

Aktivitas yang terjadi dalam mudik lebaran ---yang paling utama--- ada tiga, yaitu silaturahim dengan saling mengunjungi, saling maaf memaafkan, dan saling memberi hadiah. Pertanyaannya adalah, adakah tuntunan dalam agama Islam yang menyuruh atau menganjurkan kita melakukan mudik lebaran? 

Adakah tuntunan dalam agama Islam yang menyuruh atau menganjurkan kita untuk saling maaf memaafkan pada saat Iedul Fitri? Adakah tuntunan yang menganjurkan kita utuk memberi hadiah saat lebaran? Ketiga pertanyaan itu, jawabannya adalah : Tidak ada.

Dengan demikian, aktivitas mudik yang dikaitkan dengan Iedul Fithri, murni peristiwa budaya yang berkembang di masyarakat ---khususnya Indonesia, bahkan telah berurat berakar menjadi tradisi turun temurun, dari generasi ke generasi. 

Artinya, mudik lebaran tidak setara dengan ---misalnya--- puasa Ramadhan, shalat Iedul Fithri dan membayar zakat fitrah. Tiga aktivitas yang saya contohkan ini, adalah ibadah mahdhah, yang bersumber dari tuntunan agama. Sedangkan mudik lebaran, adalah budaya masyarakat Islam di Indonesia, sama seperti kegiatan Syawalan dan Halal Bihalal.

Hanya saja, apabila dibingkai dalam ajaran Islam, mudik lebaran kurang lebih dikaitkan terutama dengan tiga tuntunan berikut:

Pertama, menyambung silaturahim

Salah satu ajaran agung dalam Islam adalah menyambung silaturahim. Abdurrahman ibnu 'Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

"Allah 'azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya." (HR. Ahmad 1/194).

Demikian pula hadits dari Abu Hurairah, bawa Nabi Saw bersabda,

"Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahim." (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)

Ibnu 'Umar Ra pernah berkata:

"Siapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 58)

Sangat banyak keutamaan menjalin silaturahim, dan hendaknya dilakukan benar-benar ikhlas karena Allah. Jika silaturahim dilakukan dengan landasan ikhlas karena Allah, maka Allah pun akan mencinta dirinya. Dalam hadits disebutkan:

"Sesungguhnya ada seseorang yang ingin mengunjungi saudaranya di kota lain. Allah mengutus malaikat untuknya di jalan yang akan ia lalui. Malaikat itu pun berjumpa dengannya seraya bertanya, 'Kemana engkau akan pergi? Ia menjawab, 'Aku ingin mengunjungi saudaraku di kota ini?' Malaikat itu bertanya kembali, 'Apakah ada suatu nikmat yang terkumpul untukmu karena sebab dia?' Ia menjawab, 'Tidak. Aku hanya mencintai dia karena Allah 'azza wa jalla.' Malaikat itu berkata, 'Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untukmu. Allah sungguh mencintaimu karena kecintaan engkau padanya." (HR. Muslim no. 2567).

Hanya saja, tidak ada satupun keterangan yang menghubungkan secara khusus antara silaturahim dengan Iedul Fithri. Silaturahim bisa dilakukan kapan saja, sepanjang waktu, tanpa ada ketentuan pelaksanaan di bulan-bulan tertentu. Maka, silaturahim di bulan Syawal dibolehkan, sebagaimana dilakukan di bulan yang lainnya. Saya memahami hal ini dalam dua bingkai yang sederhana saja. Pertama bingkai budaya, kedua bingkai kesempatan.

Dalam bingkai budaya, mudik lebaran adalah peristiwa budaya yang positif di tengah masyarakat, dimana silaturahim kembali terjalin setelah sempat "terputus" karena kesibukan setahun. Ada anak yang merantau ke kota meninggalkan orangtua di desa, dan hanya sempat pulang setahun sekali menjenguk orangtuanya. Inilah sebabnya maka mudik seperti menjadi keharusan budaya, karena kesempatan dan suasana yang memang sangat istimewa.

Jika kita jauh-jauh pulang kampung di luar momentum lebaran, sering ditanyakan "Ada keperluan apa kok pulang?" Namun saat Syawal, justru akan menjadi pertanyaan ketika tidak mudik. "Mengapa tidak pulang? Ada kesibukan apa?" Nah, ini yang saya maksud bingkai budaya. Tidak mudik, seakan-akan tidak berbudaya.

Dalam bingkai kesempatan, sangat mudah dipahami. Libur Hari Raya Iedul Fitri terjadi secara serempak, sehingga sebagian besar orang memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kunjungan dan pertemuan. Kesempatan seperti ini sangat sulit didapatkan di bulan-bulan lainnya. Jangankan di kalangan banyak keluarga, sedangkan dalam satu keluarga pun, mengatur jadwal antara suami, istri dan anak-anak sudah sulit. Jadwal libur sekolah, libur kuliah, libur kerja, sering kali tidak sama. Namun saat Iedul Fitri, semua memiliki kesempatan yang sama. Inilah alasan paling praktis dari mudik lebaran.

Kedua, saling memberi maaf

Ajaran mulia dalam Islam berikutnya saling memberi maaf. Nabi Saw telah bersabda:

"Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya." (HR. Abu Daud, no. 4800. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, setelah Imam Nawawi menyebutkan bab "husnul khuluq" yaitu akhlaq yang baik, kemudian beliau menyebutkan bab "Al Hilm wal Aanah war Rifq" yaitu santun dan lemah lembut. Al Qur'an menyatakan orang-orang bertaqwa adalah mereka yang memiliki sifat santun dan lemah lembut, sebagaimana firman Allah:

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran: 134)

Kemampuan menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah ciri orang bertaqwa. Allah juga memerintahkan orang-orang yang beriman agar memberikan maaf dan menjadi pemaaf:

"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A'raf: 199)

Memaafkan juga disebut sebagai 'azmil umur, yaitu perkara yang diutamakan, sebagaimana firman Allah:

"Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." (QS. Asy-Syura: 43)

Dan apabila kita mudah memaafkan orang lain, maka Allah akan berikan pahala:

"Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." (QS. Asy-Syura: 40)

Sangat banyak keutamaan dari saling memberi maaf, karena kemampuan memaafkan adalah ciri orang bertaqwa. Akan tetapi, tidak satupun keterangan yang menghubungkan aktivitas saling memberi maaf ini dengan Iedul Fitri. 

Aktivitas saling memaafkan bisa dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu momentum lebaran. Seutama-utama manusia adalah yang bersegera saling memaafkan di setiap kesempatan, tanpa menunggu momentum tertentu.

Saya memahami aktivitas saling bermaafan pada saat lebaran ini juga dalam dua bingkai. Pertama bingkai budaya, kedua bingkai kesempatan. Dalam bingkai budaya, masyarakat Indonesia menjadi lebih lapang dan mudah memaafkan dalam suasana lebaran. Setelah menempa diri di bulan Ramadhan, maka meningkat ketaqwaannya, sehingga lebih mudah memaafkan orang lain.

Dalam bingkai kesempatan, lebaran adalah momentum yang sangat tepat karena bisa bertemu secara langsung. Satu dengan yang lainnya bisa langsung berjabat tangan dan mengikrarkan saling memaafkan. Hal ini lebih sempurna dibanding hanya melalui telpon atau chatting, atau sekedar mengirim meme ucapan lebaran.

Ketiga, saling memberi hadiah

Saling memberi hadiah juga merupakan ajaran yang agung dalam Islam. Istri Nabi Saw, A'isyah berkata:

-- --

"Rasulullah Saw biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya." (HR. Bukhari, no. 2585).

Dalam hadits ini ada anjuran untuk menerima hadiah, dan sekaligus membalas memberi hadiah. Tindakan saling memberi hadiah seperti ini akan menumbuhkan suasana saling mencintai di antara orang-orang beriman. Nabi Saw bersabda:

"Saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594)

Nabi Saw menyatakan, bahwa saling memberi hadiah juga akan menghilangkan kebencian di antara orang-orang beriman, sebagaimana sabdanya:

"Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian." (HR. Malik dalam Al-Muwatha')

Sangat banyak keutamaan dari saling memberi hadiah, dimana akan menumbuhkan kecintaan dan menghilangkan kebencian. Akan tetapi, tidak satupun keterangan yang menghubungkan aktivitas saling memberi hadiah ini dengan Iedul Fitri. Aktivitas saling memberi hadiah bisa dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu momentum lebaran. Hendaknya saling memberi hadiah bisa dilakukan di setiap kesempatan, tanpa harus menunggu momentum tertentu.

Saya memahami aktivitas saling memberi hadiah pada saat lebaran ini juga dalam dua bingkai. Pertama bingkai budaya, kedua bingkai kesempatan. Kita menyaksikan, parcel lebaran sudah menjadi budaya yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Hendaknya ini dilakukan dalam bingkai yang positif, bukan untuk kepentingan risywah (menyuap) atau kepentingan negatif lainnya.

Tumbuhkan Kembali Cinta, Matikan Semua Benci

Dari tiga semangat mudik di atas, maka prosesi mudik lebaran 1440 H ini memiliki makna yang sangat urgen dan besar. Baru saja kita melewati Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yang sangat gaduh dan hiruk pikuk. Sampai Aa Gym menulis di akun instagram beliau:

"Teman lama ditemukan oleh FB.

Dipererat oleh WhatsApp.

Dipisahkan oleh Pilpres."

Nyatanya hal itu tidak hanya berlaku untuk teman lama, bahkan juga dengan sesama saudara kandung. Mereka bercanda di graup WhatsApp keluarga, begitu ketemu Pilpres, postingannya sungguh berbeda. Suasana persaudaraan sempat rusak dan berantakan oleh suasana Pilpres. Maka mudik lebaran kali ini adalah kesempatan untuk menumbuhkan kembali cinta dalam keluarga yang sempat rusak di masa Pilpres. Demikia pula antar kelompok masyarakat.

Semoga mudik lebaran 1440 H ini, bisa menguatkan cinta, dan menghilangkan benci, terutama pasca Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 yang begitu mengharu biru.

Sumber Rujukan :

Istifadah ilmu fadhilatul ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dalam web beliau rumaysho.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun