Biaya yang timbul dari polusi udara terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan sekitar 400 juta dollar setiap tahunnya.
Biaya yang timbul akibat polusi udara di wilayah Jakarta saja diperkirakan sebanyak 700 juta dollar pertahunnya.
Biaya-biaya yang biasanya lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang berpendapatan rendah karena dua sebab. Pertama, merekalah yang memiliki kemungkinan besar terkena dampak dari polusi. Kedua, mereka kurang memiliki kemampuan untuk membiayai pencegahan dan mengatasi dampak polusi itu sendiri.Â
Produksi limbah padat naik secara signifikan selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2000, untuk ibu kota Jakarta saja menghasilkan 24.000 m3 sampah perhari, yang diperkirakan  akan berlipat ganda hingga tahun 2010. Hanya sekitar 50 persen dari limbah padat yang dikumpulkan untuk dibuang ke tempat pembuangan. Daerah-daerah miskin diperkotaan secara umum dilayani secara setenggah-setenggah atau justru tidak dilayani sama sekali.
Di Indonesia setidaknya, sekitar 15-20 persen dari limbah dibuang secara baik dan tepat, sisanya dibuang di sungai dan kali, menciptakan masalah banjir. Diperkirakan 85 persen dari kota-kota kecil dan lebih dari 50 persen kota berukuran menenggah secara resmi membuang limbah mereka di tempat-tempat terbuka.
Sekitar 75 persen dari limbah perkotaan dapat terurai dan dapat digunakan sebagai kompos atau biogas. Namun, kurangnya pengetahuan dan pelatihan menghambat pengembangan lebih jauh dari pengelolaan limbah yang produktif semacam itu. Walaupun adanya pasar yang relatif besar untuk produk-produk daur ulang, hanya sebagian kecil dari limbah tersebut yang didaur ulang (Indonesia Expanding Horizon, 2003).
Persoalan yang dijelaskan di atas masih dalam lingkup persoalan yang berhubungan dengan masalah limbah industri saja. Buruknya pengelolaan lingkungan hidup berdampak buruk terhadap perekonomian dan masyarakat miskin. Belum lagi persoalan penebangan hutan yang merusak lingkungan kita. Laju kerusakan hutan akibat illegal logging (penebangn liar) yang telah berlangsung puluhan tahun membuat situasi kehutanan Indonesia ini sudah mencapai fase yang gawat.Â
Kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai titik kritis. Pada periode 1990 hingga 2001 laju deforestisasi (penebangan hutan) mencapai dua juta hektar pertahun. Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding 1980-an. Akibatnya, dalam 50 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta hektare menjadi 98 juta hektare (Handoko, 2007). Dengan laju deforestasi seperti itu, bukan tidak mungkin hutan tropis di Indonesia yang dianggap sebagai salah satu paru-paru dunia akan lenyap. Hutan basah di Sumatra, di Kalimantan dan di Papua Barat akan punah menyusul pembalakan liar yang sudah terjadi tidak bisa dihentikan, bahkan cenderung meningkat intensitasnya.
Deforestisasi mengancam, salah satunya akibat dari awal pengelolaan hutan di Indonesia telah bermasalah. Pengelolaan hutan di Indonesia diserahkan Pemerintah kepada perusahaan-perusahaan  swasta yang mengajukan ijin pengelolaan. Pengelolaan oleh swasta dengan pemberian ijin pemanfaatan dan pengelolaan seperti HPH inilah yang meluluh lantakan hutan hijau kita.Â
Pemerintah melalui Departemen Kehutanan memberikan hak konsesi untuk jangka waktu tertentu, Hak Pegusaha Hutan atau lebih dikenal HPH melakukan penebangan dan penanaman berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku seperti UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dan segala peraturan di bawahnya ini jugalah yang akhirnya sebagain besar hutan kita dibagi-bagi semau hati penguasa kepada pengusaha, seakan-akan milik nenek moyangnya saja, habis dibagi-bagi kepada perusahaan-perusahaan besar kehutanan. Sejak itu, lalu kerusakan hutan tak terbendung, kuantitas dan intensitas penebangan liar di Indonesia meningkat tajam. Semakin susah kita melihat hutan lestari.Â
Jika dahulu kalau berjalan ke daerah pedalaman, sepanjang jalan masih ditemukan hutan hijau dengan segala keanekaragamannya seperti binatang-binatang yang masih bisa berkeliaran dengan damai, maka sekarang jangan tanya. Melihat lutung saja sudah susah. Para pelaku pembalakan liar itu melakukan aksinya dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Yaitu pertama, permintaan kayu di dalam dan di luar negeri yang melebihi pasokannya secara lestari dan tidak memperhatikan legalitasnya. Kedua, kemiskinan penduduk di sekitar hutan dimanfaatkan. Ketiga, masih belum baiknya sistem pemerintahan dan penegakan hukum di Indonesia. Sehingga hampir semua perusahaan besar dan pengusaha nakal terlibat pembalakan liar ini (Handoko, 2007).