Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 46: Mencari Jalan Keluar

1 April 2012   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:10 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HIRUK pikuk suara pedagang dan pembeli dan pertukaran barang serta uang terus terjadi di pasar kota Trowulan.

Begitu pula di kios gerabah milik Mbah Wongso.

Setelah anak kecil yang diantar orang tuanya untuk membeli celengan, datang pembeli lain, seorang ibu yang hendak membeli kendi untuk wadah air minum. Lalu pembeli lain lagi, yang membutuhkan mangkuk.

Di kios sebelah, pedagang batik menggelar beberapa helai kain, menunjukkan motif- motif yang berbeda pada calon pembelinya yang memegang dan meneliti kain- kain itu.

Suara ringkik kuda yang menanti sang pemilik yang sedang berbelanja sesekali terdengar pula dari arah jalan, meningkahi semua hiruk pikuk itu.

Berbeda dengan keriuhan di luar, di dalam sebuah kamar yang terhubung dengan pintu dari kios gerabah milik mbah Wongso, suasana senyap yang terasa.

Kedatangan Pendekar Padi Emas dengan seorang prajurit dari Kerajaan Sunda Galuh yang diluar rencana membuat beberapa pendekar yang ada di dalam ruangan itu harus memikirkan apa tindakan yang harus mereka ambil.

Mereka semua mulanya ada di sana untuk mengatur rencana pencarian Kiran, sang tabib muda yang diculik serta melacak keberadaan Putri Harum Hutan yang tergabung dalam kelompok Para Pelindung yang Tersumpah . Pendekar Gegurit Wungu telah diputuskan untuk berangkat mencari Kiran. Dan kini tiba- tiba Pendekar Padi Emas datang dengan seorang prajurit Kerajaan Sunda Galuh yang saat itu sedang berperang dengan prajurit Kerajaan Majapahit.

Pendekar Padi Emas berdiri di muka pintu, sementara prajurit Sunda Galuh yang bernama Kayan berdiri di belakangnya. Dengan tatapan dingin menusuk Pendekar Padi Emas memperhatikan ketiga pendekar lain yang ada di dalam ruangan itu.

Sang pendekar tampan Gegurit Wungu menimbang- nimbang. Pendekar Wolu Likur tampak berpikir keras. Tindakan Pendekar Padi Emas yang membantu Prajurit Sunda Galuh ini sungguh tindakan berbahaya. Itu tindakan yang bisa membuat mereka semua menjadi musuh kerajaan.

Pendekar Misterius, yang juga ada di dalam ruangan tersebut juga belum bersuara. Wajah ramahnya tampak tetap tenang dan seperti biasa dia berusaha membuat suasana tegang menjadi cair. Alih- alih langsung menjawab Pendekar Padi Emas, dia memilih untuk menoleh pada prajurit dari kerajaan Sunda Galuh itu.

Mangga calik, “ katanya pada Kayan, mempersilahkan prajurit tersebut untuk duduk.

Kayan tampak terkejut sejenak, lalu senyum lebarnya terkembang. Disapa dengan bahasa daerahnya dalam situasi seperti yang sedang dihadapinya merupakan suatu kejutan yang menyenangkan.

Hatur nuhun, “ jawab Kayan, seraya mengangguk saat menyampaikan ucapan terimakasihnya itu. Kalimat itu dilanjutkannya dengan, “ Geuningan tiasa nyarios basa Sunda?

Tak seorangpun dari semua pendekar yang ada di ruangan tersebut mengerti apa yang dikatakan Kayan. Begitu pula Pendekar Misterius yang lalu tertawa mengatakan pada Kayan bahwa dia tak memahami apa yang dikatakan prajurit tersebut sebab sebenarnya dia tak bisa berbahasa Sunda kecuali beberapa kata- kata pendek saja serupa “mangga calik” yang tadi diucapkannya.

Kayan mengangguk maklum. Pendekar lain di ruangan itu mulai tersenyum. Suasana tegang yang tadi terasa mulai mencair…

***

Kiran terkejut.

Ada air yang datang tiba- tiba entah darimana. Air berwarna kecoklatan itu terus meninggi dan kini mencapai mata kakinya.

Banjir !

Dia berada di sebuah terowongan. Tak jauh di depannya, tampak mulut terowongan. Kiran melangkah menuju mulut terowongan tersebut untuk menghindari banjir yang datang. Dan dia tercekat. Entah bagaimana, tampak dari arah mulut terowongan itu, air kecoklatan datang menghampiri. Arusnya lebih deras dan tampak lebih tinggi dari banjir di tempat yang sedang dipijaknya saat ini.

Jalannya tertutup. Dia tak bisa keluar melalui mulut terowongan itu.

Kiran menoleh ke arah kanan. Terowongan alam itu terbuka sedikit di sisi kanannya. Kiran memutuskan untuk keluar dari terowongan melalui celah tersebut. Terang benderang disisi itu. Matahari bersinar dengan cerah.

Kiran melangkah, dan …

Oh.

Bukan daratan rupanya yang ada di situ, tapi juga air yang terbentang.

Kiran mengamati.

Air itu sungguh jernih. Bening dengan pantulan biru kehijauan. Sementara air yang membanjir di dalam terowongan berwarna coklat pekat.

Tak ada pilihan lain.

Kiran terjun ke air bening yang tenang itu.

Dan sesaat setelah dia berada di dalam air, dia merasa sangat gembira.

Tempat itu dangkal, ternyata. Kiran bisa melihat bebatuan dan kerikil di dasarnya. Airnya dingin menyejukkan. Ah, betapa menyenangkannya, pikir Kiran.

Perlahan dia mengarungi air. Bermaksud naik ke daratan di sisi yang berseberangan.

Namun…

Kiran terpekik.

Dadanya berdegup kencang.

Buaya!

Ada tiga ekor buaya, kini berada tepat di depannya.

Dua ekor diam menatapnya. Yang seekor bergerak, datang menghampiri dengan mulut terbuka dan mulai menggigitnya.

Kiran menjerit, berkelit, melawan, berusaha melepaskan diri…

***

Sementara itu tempat lain, Kaleena, sang putri dari seberang lautan, dan Dhanapati melangkah bersisian.

Kaleena tak lagi merasa canggung. Dia tak lagi berusaha menutupi bagian dadanya yang terbuka dari Dhanapati. Sebab itu tak lagi perlu, setelah apa yang terjadi malam sebelumnya.

Hujan turun dengan lebat malam itu. Kilat berkelebat terus menerus, disusul bunyi gemuruh yang memekakkan gendang telinga.

Angin berhembus kencang. Sangat kencang. Pucuk pepohonan dipaksanya menari. Semak belukar berputar seperti pusaran alam. Desau angin dan gerak pepohonan terdengar menakutkan.

Kilat menyambar lagi.

Kaleena sungguh ketakutan. Dia sudah melupakan bagian atas tubuhnya yang terbuka. Tangannya tak lagi memeluk dada tapi meraih lengan Dhanapati, sembari menyurukkan kepalanya ke dada lelaki itu.

Dhanapati dengan refleks memeluknya. Tubuh mereka saling bersentuhan. Dan tak terhindarkan, Dhanapati merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya ketika tangannya menyentuh kulit halus Kaleena.

Hujan terus mengguyur deras. Desau angin masih terdengar. Kilatpun terus menyambar. Tapi Dhanapati nyaris tak menyadari semua itu.

Tangannya menelusuri kehalusan yang mengundang dalam peluknya itu.

“Dhanapati...”

“Iya?”

“Ka... kamu jangan nakal...”

“Nakal apanya?”

“Ja..jarimu.  Ja...ngan...”

.....

“Dhanapati.. ...”

.....

“Geli... Dhanapati....”

.....

“A...aduhhh...”

“Kamu kenapa Kaleena?”

“Ah... ti... tidak,” bisik gadis itu terengah. “Aku digigit nyamuk...”

Dhanapati tersenyum.

Dia tahu, bukan nyamuk penyebab Kaleena mengaduh barusan. Dhanapati tak mengatakan apa- apa lagi. Kini bukan hanya jemarinya, tapi juga bibirnya mulai menelusuri kehalusan dan keharuman kulit sang putri.

Kaleena menggeliat, mendesah. Masih berusaha mencegah tapi tak kuasa melakukannya. Kehangatan laki- laki itu menular padanya. Kaleena meleleh dan menyerah pasrah...

( bersambung ) ** Sumber gambar: igougo.com **

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun