“ Mangga calik, “ katanya pada Kayan, mempersilahkan prajurit tersebut untuk duduk.
Kayan tampak terkejut sejenak, lalu senyum lebarnya terkembang. Disapa dengan bahasa daerahnya dalam situasi seperti yang sedang dihadapinya merupakan suatu kejutan yang menyenangkan.
“ Hatur nuhun, “ jawab Kayan, seraya mengangguk saat menyampaikan ucapan terimakasihnya itu. Kalimat itu dilanjutkannya dengan, “ Geuningan tiasa nyarios basa Sunda? “
Tak seorangpun dari semua pendekar yang ada di ruangan tersebut mengerti apa yang dikatakan Kayan. Begitu pula Pendekar Misterius yang lalu tertawa mengatakan pada Kayan bahwa dia tak memahami apa yang dikatakan prajurit tersebut sebab sebenarnya dia tak bisa berbahasa Sunda kecuali beberapa kata- kata pendek saja serupa “mangga calik” yang tadi diucapkannya.
Kayan mengangguk maklum. Pendekar lain di ruangan itu mulai tersenyum. Suasana tegang yang tadi terasa mulai mencair…
***
Kiran terkejut.
Ada air yang datang tiba- tiba entah darimana. Air berwarna kecoklatan itu terus meninggi dan kini mencapai mata kakinya.
Banjir !
Dia berada di sebuah terowongan. Tak jauh di depannya, tampak mulut terowongan. Kiran melangkah menuju mulut terowongan tersebut untuk menghindari banjir yang datang. Dan dia tercekat. Entah bagaimana, tampak dari arah mulut terowongan itu, air kecoklatan datang menghampiri. Arusnya lebih deras dan tampak lebih tinggi dari banjir di tempat yang sedang dipijaknya saat ini.
Jalannya tertutup. Dia tak bisa keluar melalui mulut terowongan itu.