"Tolong...tolong...tolong!"
Kira-kira pukul 9 malam, tiba-tiba terdengar teriakan di pinggir jalan raya. Seorang pria paruh baya berkemeja tampak tak berdaya di tengah kerumunan 3 orang preman kampung.
"Sudahlah, Pak. Serahkan saja sekaveling tanah pinggir desa itu untuk kami. Kalau tidak, pisau ini akan membelah lehermu, Pak," tutur salah seorang preman rambut panjang sembari menyodorkan pisau ke arah pria tadi.
Beberapa ratus meter dari peristiwa kejadian, lewatlah Malin bersama perasaan gusar. Pandangan Malin sangat sempit. Ia hanya melihat kedua kakinya di tengah kegelapan.
Namun, sesaat setelah Malin melebarkan pandangnya, tampaknya olehnya peristiwa penganiayaan oleh 3 orang preman kampung. Sontak saja, Malin langsung bergegas untuk memberikan pertolongan.
"Hei, berhenti. Apa yang kalian lakukan!"
Hanya sepersekian detik dari teriakan Malin, tanpa sadar tendangan dan tinjunya sudah menyasar ke kepala serta perut para preman kampung tadi. Malin cukup hebat kalau sudah berurusan dengan perkelahian. Malin dulunya pernah jadi pelatih silat. Syahdan, tersungkurlah 3 preman tadi.
"Bapak tidak apa-apa, kan Pak? Ada yang terluka, kah?"
"Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih banyak ya sudah menolong Bapak."
"Kalau saya boleh tahu, mengapa kok Bapak sampai dicegat oleh mereka?"
"Begini, Nak. Para preman tadi itu mau minta saya agar tidak menghibahkan tanah kaveling untuk desa. Mereka mau mengambil hak tanah tersebut dan menjualnya. Ya, jelas saya tidak terima. Paling-paling, uangnya bakal dipakai untuk mabuk-mabukan!"