"Oh, begitu ternyata kisahnya."
"Eh, Nak. Kamu bukan orang asal sini, ya? Kamu mau ke mana?"
"Iya, Pak. Saya dari desa seberang, mau cari peruntungan hidup di sini. Siapa tahu hidup saya bisa lebih baik."
"Kalau begitu, kamu ikut Bapak saja, ya. Perkenalkan, nama saya Maulana. Kebetulan saya adalah Kepala Desa di sini, dan kebetulan pula ada jabatan perangkat desa yang kosong."
"Wah, syukurlah kalau begitu. Iya, Pak. Nama saya Malin."
Buah dari pertolongan itu, akhirnya Malin diajak oleh Pak Kades ke sekretariat desa. Karena belum punya tempat tinggal, Malin pun dipersilakan untuk menginap di sana. Bahkan, hanya berselang beberapa hari dari peristiwa aniaya Pak Kades, Malin pun diangkat jadi Sekretaris Desa.
Mulai dari situlah kemudian hidup Malin berubah. Malin disenangi banyak warga karena ia mampu bekerja rajin dan tuntas. Tak berhenti sampai di situ, Malin juga dipandang sebagai sosok pemuda yang baik hati sehingga Pak Kades pun menjodohkan Malin dengan putrinya, Siti.
Tak ada tuntutan mahar yang besari. Malahan, Pak Kades mengajak warga agar memilih Malin untuk menjadi Kades berikutnya pada pesta pemilihan dua minggu mendatang.
Kalau dihitung-hitung, hanya dalam kurun waktu 3 tahun di tanah rantau, akhirnya Malin resmi menikah dengan Siti. Pernikahan itu digelar dengan mewah. Ada organ tunggal 3 hari 3 malam digelar tanpa henti dan dihadiri hingga ribuan warga desa.
Tapi, sayang! Malin lupa mengundang Bundanya. Sudah 3 tahun Malin tak pernah pulang lagi ke desanya yang ada di seberang sana. Jangankan pulang, berkirim surat pun Malin tidak sempat. Padahal, sebagai Sekdes, Malin rajin membuat dan menyebarkan surat maupun pengumuman.
Gigil terlanjur basah, kenyang terlanjur makan, pernikahan Malin sudah digelar dan mereka sudah hidup bahagia di tanah rantau. Malin jadi malas untuk pulang kampung. Kariernya sudah cerah di sana. Alhasil, bukanlah hal yang susah untuk melupakan Bunda serta kisah pahit di kampung.