"Ah, sudahlah! Engkau pengkhianat, duhai Malin! Ayo kawan-kawan, kita seret saja dia ke pihak berwajib!" tegas warga semakin emosi.
Malin pun dibawa paksa oleh warga. Bahkan, sebagian warga secara bergantian memukulnya. Setidaknya, pelipis dan mulut Malin berdarah. Ia tak berdaya. Ia juga sukar untuk berkilah. Dana desa memang menggiurkan.
***
Kantor polisi letaknya tidak jauh dari bibir pantai. Bahkan, hampir setiap hari para petugas kepolisian juga membeli nasi uduk yang dijual oleh Bi Tinah.
Dua puluh meter dari kantor, tampaklah oleh petugas polisi ada warga beramai-ramai mendatanginya. Para warga yang tadi menyeret Malin dari kantor desa sudah hampir sampai ke hadapan Polisi.
"Ada apa ini, para warga. Siapa dia. Mengapa kalian pukuli?" ujar salah seorang Polisi sembari melepaskan Malin dari jeratan warga.
"Ini, Pak. Ini namanya pengkhianat! Kepala desa ini adalah Wakil pengkhianat rakyat! Tangkap dia, Pak! Penjarakan dia, kalau bisa seumur hidup!" ucap warga sekeras-kerasnya.
"Baiklah. Tenang, tenang, tenang dulu. Semua perkara bisa kita selesaikan dengan hukum yang berlaku di negeri ini," jawab Polisi seraya menenangkan warga.
"Tidak bisa, Pak. Apa gunanya kami memilih dia sebagai kepala desa. Toh, aspirasi kami tak didengar olehnya. Malah dia yang sewenang-wenang. Ah, dasar wakil rakyat pengkhianat!" ujar salah satu warga yang tersulut emosi.
"Cukup! Saya bilang cukup. Semua akan kita proses dengan jalan dan pasal yang berlaku. Kalian tak perlu terlalu berlebihan seperti ini. Kalian yang memilih. Kalian juga harus tahu bahwa pemimpin yang zalim, pemimpin yang khianat, itu juga berasal dari warga yang zalim dan berkhianat!"
Jawaban menohok Sang Polisi akhirnya berhasil membuat ratusan warga terdiam. Sedangkan Malin, ia hanya tertunduk lesu. Tangannya belum diborgol, tapi tubuhnya terlalu takut untuk kabur.