"Penggunaan BOS sekarang lebih fleksibel untuk kebutuhan sekolah. Melalui kolaborasi dengan Kemenkeu dan Kemendagri, kebijakan ini ditujukan sebagai langkah pertama untuk meningkatan kesejahteraan guru-guru honorer dan juga untuk tenaga kependidikan. Porsinya hingga 50%." Ujar Pak Menteri pada 10 Februari 2020 lalu.
Mau dilihat dari sudut manapun, agaknya ini merupakan kabar yang membahagiakan sekaligus membingungkan bagi para tenaga honorer.
Membahagiakan, karena sebentar lagi mereka akan naik gaji, tapi membingungkan karena "Katanya kemarin tenaga honorer akan dihapuskan!"
Ini memang berita yang positif, namun tidak menutup kemungkinan bahwa akan muncul keraguan publik di mata para penduduk bumi Indonesia.
Terang saja, kebijakan yang plintat-plintut akan menyebabkan kepercayaan publik menurun. Ibarat kata, maunya Pak Menteri ini apa! Kejelasan dan program jangka panjang untuk tenaga honorer seperti apa!
Okelah, Pak Menteri alias Mas Nadiem segera menjawab kebingungan ini dengan penegasan bahwa kebijakan tentang Dana BOS tidak bertentangan dengan kebijakan penghapusan tenaga honorer oleh Kemenpan-RB.
"Kalau saya enggak salah, yang penghapusan honorer itu seperti yang Menpan-RB katakan di pemerintah pusat, bukan di sekolah," kata Nadiem dalam acara "Bincang Sore" dengan Kemendikbud hari Rabu, 12 Februari 2020.
Lebih lanjut, menurut Mas Nadiem tidak ada penghapusan guru honorer di Indonesia, khususnya di daerah. Nadiem mengatakan, jumlah guru honorer di Indonesia cukup besar.
"Mereka (guru honorer) banyak yang mengabdi luar biasa. Jadi sebenarnya tidak bertentangan," kata Nadiem.
Apresiasi positif untuk Mas Nadiem yang begitu menghargai guru honorer dengan menyebut bahwa mereka luar biasa. Sejenak, ungkapan Mas Nadiem ini begitu melegakan. Berarti, keberadaan guru dan tenaga honorer di daerah beberapa waktu ke depan tidak akan diusik.
Bahkan, mereka boleh bertenang hati dan terus berpikiran positif sembari menunggu realisasi dari Dana BOS yang menjadi lebih banyak anggarannya.
Namun, di sisi lain keraguan malah kian bergelombang dan bertambah-tambah setelah melihat tingkah pejabat pemerintah yang seakan setengah hati mengurus kelanjutan kisah tenaga honorer.
Ini terlihat dari penundaan acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan Komisi II DPR RI lantaran pihak undangan tidak menunjukan keseriusan dalam menyelesaikan permasalahan tenaga honorer.
"RDP kita tunda karena teman-teman dari pemerintah ada yang tidak siap. Tidak siap dan saya harus mengatakan ini bukti pemerintah ndak serius menyelesaikan persoalan tenaga honorer," keluh Arwani Thomafi selaku Wakil Ketua Komisi II DPR di Gedung Nusantara DPR RI, Jakarta, Rabu 12 Februari 2020.