Seperti halnya ombak-ombak di lautan, saat ini saya kebingungan, Pak Menteri. Ini tentang tenaga honorer. Jika diamati dari waktu ke waktu, agaknya kebijakan yang lahir untuk mereka para tenaga honorer begitu bergelombang dan plintat-plintut.
Saya yakin, pada tahun 2019 lalu tenaga honorer begitu bahagia karena diberi impian berupa usulan kebijakan. Kata "secepatnya, segera" akan ditindaklanjuti terdengar begitu indah. Dulu, saya juga ikut senang karena masih berstatus guru honorer.
Tepatnya pada tanggal 29 Agustus 2019 lalu, saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Keuangan sedang membahas anggaran khusus untuk guru honorer yang akan disiapkan untuk tahun 2020.
Saat itu, kursi Mendikbud masih diduduki oleh Pak Muhadjir Effendy dan beliau sedang mengusulkan kepada Menkeu Sri Mulyani agar guru honorer digaji melalui Dana Alokasi Umum.
"Beberapa hari ini kita bahas antara staf Kemenkeu dan Kemendikbud untuk memastikan bahwa tahun 2020 nanti pendapatan guru tidak tetap atau honorer bisa ada sumber yang pasti yaitu dari dana alokasi umum," ujar Muhadjir Effendy.
Jika saja ini berlaku, maka secara otomatis gaji guru honorer tidak lagi diambilkan dari dana BOS atau urunan dari wali siswa. Terang saja, saat kita mengacu pada Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 ternyata sekolah hanya boleh menganggarkan 15% dari total dana BOS untuk gaji tenaga honorer.
Kebijakan ini begitu pelik karena nominal dana BOS sangat bergantung pada jumlah siswa yang ada di sekolah. Bisa dibayangkan jika siswa yang ada di sekolah tidak sampai 50 orang, berapa anggaran gaji untuk tenaga honorer?
Inilah yang menyebabkan para kepala sekolah di daerah terpencil dilema, antara mau semangat atau putus asa. Tidak mungkin mereka tega menggaji para tenaga honorer dengan nominal rupiah yang sangat kecil. Maka dari itulah, gaji sering macet dan tunda sembari mencari dana talangan.
Kiranya hal ini tidak begitu berbeda dengan sekolah yang banyak siswanya. Di satu sisi dana BOS pasti lebih besar, tapi di sisi lain pengeluaran dan kebutuhan juga naik hingganya tenaga honorer tidak begitu heran kalau gaji tetap segitu-segitu saja.
Jadi, meski tenaga honorer bekerja di sekolah negeri favorit, mereka sejatinya hanya menang gengsi. Soal gaji, nilainya hampir sama saja. Pengalaman dan tingkat keikhlasanlah yang menjadikannya berbeda.
Bayangkan saja jika usulan Muhadjir di tahun 2019 bisa terealisasi di awal tahun 2020, agaknya baik guru maupun tenaga honorer akan sedikit terbantu.
Namun, hanya selang berpuluh hari kebijakan baik Muhadjir hanya menjadi hiburan semata saat mendengar arahan beliau tentang penggunaan dana BOS untuk gaji guru honorer.