Bulatan bakso terakhir tertelan, kami kepedasan dan tidak ada air. Apa boleh buat, lidah yang terbakar ini mesti didinginkan dengan segelas es tebu. Letaknya di dekat gerbang sekolah, sekalian aku ingin pulang.
Esok hari, aku bergelintar kelas menyebar pengumuman ketulusan. Kalau-kalau hari Minggu nanti ada yang membawa rumput gajah mini. Satu petak kecil seukuran keramik, cukuplah. Dapat sepuluh murid tulus, cukuplah.
"Bagaimana Pak, ada orang yang bertulus hati mau menyumbang rumput gajah mini?"
Tiba-tiba saja aku bertemu Reyhan saat dia merapikan sepatu murid-murid yang sedang salat Duha di masjid.
"Entahlah, barangkali ada hari Minggu nanti Han. Doakan saja!"
Aku bermodal keyakinan saja. Janji murid kadang banyaklah selipan lupa daripada tepatnya. Tak tersanggahkan, mereka sibuk dengan tugas. Belum lagi dengan perintah orangtua yang sesekali otoriter. Aku cukup terima.
***
Hari-hari berlari, dan singgahlah di Minggu pagi. Sesuai janji, aku datang tepat waktu. Reyhan juga demikian. Kami berpapasan di dekat gerbang sekolah, kemudian berjalan beriringan menuju masjid.
Di masjid tiada siapapun yang terlihat. Hanya ada butiran pasir kecil yang duduk berkilauan di dekat keramik. Mungkin efek hujan semalam, yang pagi ini terhangatkan oleh mentari. Agaknya pasir itu memanggil untuk segera kami singkirkan.
Saban menit berlalu, lagi-lagi kami harus menunggu. Kulihat wajah Reyhan, agaknya dia sudah tidak sabar menuangkan ketulusannya. Pasir sudah diusir dari singgahsana keramik, dan kami mulai bosan. Hampir setengah jam duduk bersepi.
"Pak, itu mereka datang..."