Dalam satu bedeng tanaman ketulusan, ia berleha duduk di bawah pohon jambu sembari menantiku datang menghampiri. Tepat di samping panggung sekolah, tanpa sekat, namun meneduhkan. Barangkali aku kelamaan.
"Udah lama, Han?"Â
Tegurku buru-buru sambil menenteng 4 tusuk bakso bakar yang dibalut dengan cabe hijau kehitaman. Kulihat wajahnya tampak sendu karena menantiku seorang diri.
Tidak tersanggahkan, Reyhan memang muridku yang paling tepat waktu soal pertemuan. Agaknya belum pernah ia datang telat sekali saja saat bertemu denganku. Apalagi jika aku membahas masjid dan program gotong-royong, tahan ia tidak pulang.
"Han, Bapak ada rencana. Bagaimana jika hari Minggu besok kita kumpulkan teman-teman untuk bertanam rumput gajah mini di samping masjid. Jam 09.00, lah!"
"Wah, auto setuju aku Pak. Mantap ide itu, tapi rumputnya dari mana Pak?"
Hari ini masih Selasa, aku masih punya peluang sosialisasi ke seluruh kelas. Toh, hampir seluruh kelas IX aku yang ajar. Harapku, ada beberapa murid yang rela menyumbangkan beberapa petak rumput gajah mini. Pastilah, aku yakin itu karena banyak siswa dekat denganku.
***
Bakso bakar mungkin sudah dingin dan tambah pedas, hingganya gegas aku tawarkan kepada Reyhan. Ia tak menolak, karena sekali saja menolak hal baik bisa-bisa aku marahi. Kami langsung duduk di keteduhan sambil menepis daun-daun jambu yang sudah dicuilnya.
Aku betah punya murid seperti dia, dan mungkin dia juga betah punya guru sepertiku. Terang saja, di SMP lebih banyak guru garang daripada yang lemah lembut. Perihal ini menjadikan sekat komunikasi guru dan murid tertutup oleh hijab tebal yang menggelapkan.