Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Reyhan dan Tanaman Ketulusan

8 Februari 2020   21:48 Diperbarui: 9 Februari 2020   00:27 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reyhan. (Dokumentasi Pribadi)

Dalam satu bedeng tanaman ketulusan, ia berleha duduk di bawah pohon jambu sembari menantiku datang menghampiri. Tepat di samping panggung sekolah, tanpa sekat, namun meneduhkan. Barangkali aku kelamaan.

"Udah lama, Han?" 

Tegurku buru-buru sambil menenteng 4 tusuk bakso bakar yang dibalut dengan cabe hijau kehitaman. Kulihat wajahnya tampak sendu karena menantiku seorang diri.

Tidak tersanggahkan, Reyhan memang muridku yang paling tepat waktu soal pertemuan. Agaknya belum pernah ia datang telat sekali saja saat bertemu denganku. Apalagi jika aku membahas masjid dan program gotong-royong, tahan ia tidak pulang.

"Han, Bapak ada rencana. Bagaimana jika hari Minggu besok kita kumpulkan teman-teman untuk bertanam rumput gajah mini di samping masjid. Jam 09.00, lah!"

"Wah, auto setuju aku Pak. Mantap ide itu, tapi rumputnya dari mana Pak?"

Hari ini masih Selasa, aku masih punya peluang sosialisasi ke seluruh kelas. Toh, hampir seluruh kelas IX aku yang ajar. Harapku, ada beberapa murid yang rela menyumbangkan beberapa petak rumput gajah mini. Pastilah, aku yakin itu karena banyak siswa dekat denganku.

***

Bakso bakar mungkin sudah dingin dan tambah pedas, hingganya gegas aku tawarkan kepada Reyhan. Ia tak menolak, karena sekali saja menolak hal baik bisa-bisa aku marahi. Kami langsung duduk di keteduhan sambil menepis daun-daun jambu yang sudah dicuilnya.

Aku betah punya murid seperti dia, dan mungkin dia juga betah punya guru sepertiku. Terang saja, di SMP lebih banyak guru garang daripada yang lemah lembut. Perihal ini menjadikan sekat komunikasi guru dan murid tertutup oleh hijab tebal yang menggelapkan.

Bulatan bakso terakhir tertelan, kami kepedasan dan tidak ada air. Apa boleh buat, lidah yang terbakar ini mesti didinginkan dengan segelas es tebu. Letaknya di dekat gerbang sekolah, sekalian aku ingin pulang.

Esok hari, aku bergelintar kelas menyebar pengumuman ketulusan. Kalau-kalau hari Minggu nanti ada yang membawa rumput gajah mini. Satu petak kecil seukuran keramik, cukuplah. Dapat sepuluh murid tulus, cukuplah.

"Bagaimana Pak, ada orang yang bertulus hati mau menyumbang rumput gajah mini?"

Tiba-tiba saja aku bertemu Reyhan saat dia merapikan sepatu murid-murid yang sedang salat Duha di masjid.

"Entahlah, barangkali ada hari Minggu nanti Han. Doakan saja!"

Aku bermodal keyakinan saja. Janji murid kadang banyaklah selipan lupa daripada tepatnya. Tak tersanggahkan, mereka sibuk dengan tugas. Belum lagi dengan perintah orangtua yang sesekali otoriter. Aku cukup terima.

***

Hari-hari berlari, dan singgahlah di Minggu pagi. Sesuai janji, aku datang tepat waktu. Reyhan juga demikian. Kami berpapasan di dekat gerbang sekolah, kemudian berjalan beriringan menuju masjid.

Di masjid tiada siapapun yang terlihat. Hanya ada butiran pasir kecil yang duduk berkilauan di dekat keramik. Mungkin efek hujan semalam, yang pagi ini terhangatkan oleh mentari. Agaknya pasir itu memanggil untuk segera kami singkirkan.

Saban menit berlalu, lagi-lagi kami harus menunggu. Kulihat wajah Reyhan, agaknya dia sudah tidak sabar menuangkan ketulusannya. Pasir sudah diusir dari singgahsana keramik, dan kami mulai bosan. Hampir setengah jam duduk bersepi.

"Pak, itu mereka datang..."

Muka Reyhan segera berbinar sambil mengayunkan telunjuknya ke arah kanan pandanganku. Oh, ternyata sudah ada Rafli dan Restu. Keduanya bawa arit kecil, cocok untuk menggemburkan tanah di samping masjid.

"Lah, Restu tidak bawa rumputnya?"

"Ini, Pak. Kemarin bang Johan yang mau bawakan rumput. Tadi aku WA, bentar lagi dia datang."

Ah, kesal juga rasanya. Lagi-lagi menunggu, menunggu lagi. Apa boleh buat, aku segera mengajak mereka menggemburkan tanah. Makin siang makin terik, nanti makin malas kami bekerja.

***

"Pak, tidak ada rumput gajahnya. Tadi Jo cari ke rumah teman, ternyata dia sedang liburan. Bagaimana kalau kita ambil di dekat kuburan belakang Pak. karena itu punya tante Jo."

Ternyata Johan sudah datang, tidak bawa rumput, hanya bawa saran. Ah, bisa-bisa gagal niat baik ini. Aku berkorban banyak waktu, tugas kuliahku menumpuk. Hari Minggu inilah kesempatanku.

Jika harus menunggu minggu depan, agaknya hanya menunda-nunda niat baik saja. Aku, sebenarnya tak begitu bermasalah dengan pembuangan waktu ini. Tapi, murid-muridku bisa jadi pulang tanpa hasil. Apa yang mau mereka katakan kepada orangtua di rumah.

"Biar Reyhan dan Restu saja mengambilnya sebentar Pak!"

Tiba-tiba saja Reyhan berniat membasahi badannya dengan keringat. Kepalang mandi, mungkin itu buah dari ketulusan yang telah dia tekadkan sejak beberapa hari yang lalu. Aku hanya bisa senyum dan mengiyakan.

Setelah Reyhan dan Restu pergi, akupun mengambil inisiasi untuk membeli sekilo buah salak dan beberapa bungkus ayam geprek. Hanya itu yang kiranya sanggup aku beli hari itu.

Kiranya, cukuplah. Penghargaan sederhana terhadap sebuah ketulusan, yang sejatinya tak ternilai.

Selesai aku membelinya, Reyhan dan Restu tiba dengan sekarung rumput gajah mini. Hatiku begitu bersinar bahagia, menyaingi cerahnya terik jelang siang hari.

"Pak, bagus rumput gajah mininya. Banyak juga, Pak!"

Ya, ucapan Reyhan tak perlu kubalas dengan banyak berkalimat. Langsung saja kuangguk sembari menyerobot karung rumput. Kulihat, memang rumputnya hijau berseri. Hanya perlu dibagi menjadi beberapa petak.

Seakan ingin mendahului tergelincirnya matahari, kami berkebut kerja. Rafli, Restu dan Johan tidak kalah bersemangat. Berlima, kami membaur dan berpegangan dengan tanah gembur. Setiap petak rumput gajah mini, kami tanam dengan tulus supaya nantinya bisa tumbuh indah.

Akan semakin berseri kiranya jika rumput itu bisa membuat masjid sekolah jadi menawan. Itu harapku, harap kami semua.

Entah apa jadinya jika Reyhan tak berniat untuk mengambil rumput gajah mini di dekat kuburan. Mungkin, barangkali, entah kapan tanaman ketulusan ini akan bertumbuh sebagai penghias masjid.

Balasanku, kali ini hanyalah beberapa butir salak yang terbagi rata, juga sebungkus ayam geprek yang syukurnya mereka suka.

Kuyakin malaikat selalu menyaksikan, hingganya kudapat mendoakan kesuksesan Reyhan dan teman-temannya. Sungguh, pelopor ketulusan itu sangatlah hebat.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun