Si lelaki pertama lalu membelai lembut rambut si perempuan. Lehernya yang jenjang juga di elus.
"Kau perempuan yang baik. Aku berharap suatu waktu bisa bertemu denganmu. Aku salut dengan pemahamanmu mengenai HIV**), STD***). Apakah kau membawa sarung?" tanyaku.
Si perempuan lalu mendongakkan kepalanya dan mengendorkan tekanan ke pahaku. "Bawa.  Are  we  make  it  again?",  katanya tersenyum lepas.
"Ia nanti," kata si lelaki sambil tetap mengelus rambut si perempuan.
Si perempuan lalu berdiri dan menuju ke meja telepon. Tanpa diperintah, si perempuan menekan nomor restoran hotel dan memesan makanan, minuman dan salad buah serta kue. Tak berapa lama pintu kamar diketuk, si perempuan meraih handuk dan kemudian membukakan pintu lalu menandatangani  billing pesanan.
Si perempuan menata makanan dan menyiapkannya untuk si lelaki. Si perempuan bahkan hendak menyuapi si lelaki.
"Suatu hari aku akan mengabdi padamu. Aku akan bekerja hanya untukmu. Aku punya  asset yang bisa bekerja sendiri untuk menghasilkan uang," ujarnya sambil melahap salad buah yang dipesannya hingga tiga porsi.
Si perempuan tidak bercerita mengenai kesedihannya. Si perempuan bercerita mengenai mimpi-mimpinya dan langkah untuk meraih mimpinya. Si perempuan menceritakan semuanya dengan nada pasti dan bahagia.
Menjelang matahari jingga di jendela kamar hotel, beberapa wisatawan terlihat di bawah menikmati pantai dengan hembusan angin sore. Kapal-kapal terlihat kecil di kejauhan.
Lelaki pertama dan si perempuan kembali bergumul dalam cerita sore. Entah itu apa namanya, hanya mereka berdua yang tahu.
Ketika turun di lobby, si perempuan dengan mesra menggamit lengan si lelaki dengan mesra. Si perempuan seperti tak akan melepaskannya dan  show  off.