Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemimpin Surga

8 Agustus 2018   06:02 Diperbarui: 8 Agustus 2018   07:17 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alkisah di satu negeri antah-berantah hiduplah seorang lelaki yang miskin. Ia telah berumah tangga dengan seorang istri dan dua anak yang masih kecil-kecil. 

Lelaki itu bernama Malik. Ia hidup dengan penuh kekurangan di mata orang-orang di sekitarnya, dengan rumah yang reyot dan selalu berpakaian kumal dan juga tak memiliki kendara beroda untuk bepergian. 

Tapi baginya kehidupan yang begitu saja telah lebih dari cukup, baginya kehidupan bukan tentang tetek bengek atribut yang mewah, baginya kehidupan hanya sekali dan toh perjalanan dalam hidup adalah perjalanan menuju kematian. 

Maka itu ia tak pernah mau mengusahakan dengan sungguh-sungguh untuk memiliki kemewahan dunia, sebab itu telah keluar dari kebaikan agamanya.

Malik adalah lelaki yang baik. Ia berilmu dan beramal. Orang-orang di negeri itu tahu siapa Malik. Mudah saja mengenalinya sebab di antara semua masyarakat hanya ialah yang masih semenjana kehidupannya. 

Masyarakat menyukai cara Malik bersosial, dari bagaimana ia mengelola dalam rumah tangganya sampai bagaimana ia menempatkan diri di masyarakat sekitar. 

Malik selalu menunjukkan sikap yang patut diacungi puja-puji, sikap yang barangkali hanya dimiliki olehnya seorang di negerinya itu. Tapi Malik tidak selalu disenangi, beberapa orang ada yang kerap merendahkan keadaan hidupnya yang dianggap terlalu papa sehingga dirasa sebagai noda di masyarakat. Malik memilih bergeming terhadap sikap semacam itu. Ia hanya tersenyum.  

* * *

Suatu hari negeri itu pun akan berganti kepala. Kepala negeri yang lama telah memasuki waktu penghujung masa bekerjanya. Masyarakat mulai sibuk mencari sosok-sosok yang tepat untuk menaiki kuasa negeri supaya lebih bisa memajukan negeri serta masyarakatnya. 

Masyarakat menginginkan semua masalah-masalah yang ada harus bisa diselesaikan oleh kepala yang baru. Masalah lalu lintas, masalah pasar-pasar, masalah pendidikan, masalah perpajakan, masalah ekonomi dan banyak lagi sekaitannya. 

Ada isu-isu di masyarakat yang sudah lama merembes bahwa kepala yang lama tidak baik dalam selama bertugas. Kepala yang lama dianggap telah menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh banyak hal yang menguntungkan diri sendiri sembari membiarkan masyarakat terbawah tetap terkekang, terutama masyarakat seperti Malik.

Suatu malam di balai negeri dilakukanlah rapat musyawarah untuk menentukan tokoh-tokoh yang akan dipertimbangkan untuk dijadikan kepala negeri. 

Dari banyaknya orang yang hadir di balai pertemuan, ada beberapa yang menyebut nama Malik untuk masuk sebagai calon kepala negeri. Malik sendiri sejatinya tidak bisa hadir disebabkan seorang tetangganya yang sakit dan mesti dirawat. 

Tetangganya itu hanya hidup sendirian sehingga Malik merasa perlu untuk membantunya. Sementara di balai negeri orang-orang sedang berdebat ribut-ribut.

"Malik hanya orang miskin. Akan menggunakan harta siapa kelak dia memimpin nanti jika menang? Lagi pula pertemuan sepenting ini saja ia sudah tidak hadir, lantas bagaimana ia hendak memimpin?" kata seorang peserta rapat dengan suara menggelegar.

"Maaf Pak. Memimpin tidak harus punya harta banyak. Ia justru boleh miskin dan ia akan mengelola uang rakyat. Soal ketidakhadiran Malik ini, ia sedang mengurusi tetangganya yang sakit. Ia tidak mungkin meninggalkan tetangganya itu seorang diri," balas peserta rapat yang lain.

"Betul Pak. Sebelumnya tadi saya telah bertemu Malik yang hendak membawa tetangganya itu pergi berobat," tambah seorang peserta rapat yang semakin menguatkan nama Malik di dalam balai negeri malam ini.

Pertemuan berakhir. Tak ada keputusan pasti tentang siapa yang akan dicalonkan. Tetapi nama Malik mulai dipertimbangkan oleh masyarakat luas. Beberapa hari berlalu banyak orang yang tertarik mengamati tindak-tanduk Malik di masyarakat untuk menakar kepantasannya menjadi kepala negeri. 

Sementara Malik sendiri tidak pernah berpikir akan semua itu. Ia hanya pernah diberi tahu bahwa namanya masuk penjaringan saat rapat di balai negeri. Di kesempatan lain rapat kedua pun digelar, masih di tempat yang sama. Kali ini lebih banyak peserta dan Malik lagi-lagi tak bisa hadir.

* * *

Malam yang dingin mulai menyelimuti saat orang-orang mulai menyesaki aula balai negeri hingga tumpah ruah ke pendopo. Malam itu harus ada kepastian tentang siapa yang akan dicalonkan menjadi kepala negeri. 

Beberapa nama sudah ditulis termasuk nama Malik yang berada paling bawah. Ketika rapat dimulai orang-orang lalu mencari Malik yang tak tampak. Di depan, pembesar negeri memulai suaranya.

 "Malam ini kami harus menemukan orang yang akan maju di pemilihan kepala negeri nanti. Mereka itu adalah orang-orang yang benar pas dan memiliki kemampuan memimpin. Kami menginginkan kepala negeri yang terbaik serta bisa berbuat memajukan peradaban masyarakat kita. 

Beberapa waktu sebelum rapat ini mulai kami telah dapat berita bahwa orang-orang yang dicalonkan pada rapat pertama telah memundurkan diri. Entah apa alasan mereka. Hanya Malik yang tak terdengar keputusannya. Dan ini pun ia tak hadir," tutup pembesar negeri.

Tiba-tiba seorang anggota rapat menyahut, "Pak, bagaimana kalau Malik saja yang menjadi kepala negeri. Bukankah hanya dirinya yang tak mundur? Kalau soal ketidakhadiran Malik ini, saya bersaksi bahwa ia memang berhalangan disebabkan istrinya yang sedang sakit. Jiwanya adalah jiwa pemimpin. Ia pantas menjadi kepala negeri, Pak."         

"Kalau begitu panggillah Malik ke sini! Saya mengutus beberapa orang untuk ke rumahnya dan ia dibawa ke sini. Saya ingin mendengar kepastiannya langsung," kata sang pembesar.

Malik pun dijemput dan dibawa ke balai negeri malam itu juga. Sesampainya di hadapan sang pembesar Malik pun seperti kebingungan tetapi wajahnya tetap kukuh, ia tegak. Dari wajahnya memang telah menyiratkan isyarat seorang pemimpin.

"Benar apa kau ingin atau bersedia menjadi kepala negeri, Malik?"

"Tuan, aku tidak pernah berpikir untuk sampai ke hadapanmu dan dibebani pertanyaan ini. Aku sesungguhnya tak menyenangi kepentingan ini. Ini urusan besar. Urusan yang boleh jadi bisa menyeretku sampai terjungkal ke lubang neraka. Aku tidak sampai hati naik memikul pekerjaan seberat ini. Lagi pula apa yang aku punya sehingga orang-orang menginginkanku? Aku mungkin tidak akan bisa," jawab Malik dengan suara tenangnya.

Sejenak seisi ruang aula terdiam. Orang-orang sedang mendengarkan bagaimana Malik berbicara serius dengan sang pembesar negeri. Tak lama sang pembesar yang bijak pun melanjutkan pertanyaannya, "jadi, kiranya bagaimana engkau inginkan? Di sini mereka mau engkau menjadi kepala negeri sedang di lain diri engkau justru keberatan. Tidakkah engkau berpikir lagi untuk menerima ini. Bukankah kami semua memerlu kepala yang seperti engkau ini, dan bila mana yang lainnya dari pesaing engkau mundur maka kenapa engkau tidak memilih mengambil ruang kesempatan ini?"

"Tak perlu engkau risau berat pekerjaan ini. Ini hanya pekerjaan membangun dan mengepalai rakyat, kami akan bantu engkau. Ini pekerjaan kita semua," lanjut sang pembesar.

Malik terdiam. Rasa-rasanya ia seperti berat berkata meski itu sekata pun. Ia seperti merasa ditusuk sehingga kesulitan mencabut duri yang menusuk-nusuk itu. Ia sekarang berada pada kebingungan yang besar. 

Ia berpikir, mana bisa lelaki sepertinya menjadi kepala negeri sedang ia sadar itu bukan pekerjaan ringan yang penuh leha-leha. Namun di sisi berlainan ia juga paham kondisi di masyarakatnya yang memang gersang akan kualitas yang diimpi-impikan kebanyakan masyarakat di tempat-tempat lain. Saat itu ia pun mulai memberanikan diri menjawab.

"Oh tuan, demi Tuhan yang sama-sama kita sembah. Aku merasa tidak sanggup memikul urusan sepenting ini. Ini urusan besar, urusan masyarakat banyak. Aku akan kesulitan membenahi apa yang buruk di pandangan semua kalian. Maka itu aku menyadari memerlu bantuan keseriusan kalian semua. Aku mohon. Demi Tuhan, bantu juga aku jika aku memang berhak naik menanggung beban ini. Apa kalian semua bersedia?" Tanya Malik dengan mata yang setengah berkaca-kaca. Ia sampai tak sanggup melanjutkan. Matanya seperti akan menjadi sungai.

Mendengar itu sontak saja hadirin rapat di balai negeri bergemuruh. Mereka menyadari telah menemukan orang yang tepat untuk mengurusi negeri mereka. 

Perkataan Malik disambut tepuk tangan yang sebagian besar berujung air mata haru. Orang-orang menangis memerhatikan wajah Malik yang teduh. Semua orang sepakat Malik adalah kepala negeri yang baru.

Rapat pun berakhir hingga beberapa waktu setelahnya Malik benar-benar duduk menjadi kepala negeri yang baru. Tapi kali ini tak ada yang berubah, hidupnya tetap semenjana dan tampak berkekurangan meski bertindak sebagai orang nomor satu di negerinya. 

Ia tetap tidak mau meninggalkan gaya hidupnya yang lama. Tak ada perbaikan pada rumahnya, tak ada pakaian baru yang ia beli, tak ada kendaraan mewah yang ia tunggangi. "Aku hanya seorang penjabat, aku bekerja," katanya suatu kali kepada anak dan istrinya.   

Di hari pertama menjabat kepala negeri. Malik sudah meminta digelarnya pertemuan dengan seluruh masyarakat yang turut hadir pada saat dirinya diminta menjadi kepala negeri. 

Ketika semua telah hadir Malik pun naik berdiri di atas hadapan semua hadirin. Itu adalah pertama kalinya ia berbicara kepada banyak orang sebagai pemimpin.

"Kali ini aku yang memanggil kalian semua setelah kemarin kalian yang memanggilku untuk datang ke sini. Apa kalian tahu apa yang ingin aku katakan di sini?" Tanya Malik.

Namun karena tak ada jawaban sehingga ia kembali melanjutkan perkataannya. "Aku hadir di sini hendak mengingatkan kalian akan janji kalian. Akan sumpah kalian. Hari ini setelah bertarung melawan kata hatiku sendiri aku pun berani berdiri di hadapan kalian semua. Kalian berjanji untuk membantuku mengurusi negeri ini. Kalian ingat janji itu. Ini adalah pekerjaan kita semua," Malik menutup pembicaraan lalu terdiam lama hingga rapat kesekian kalinya malam itu berakhir.

                                                                                                                                            * * *

Hari-hari telah berjalan lagi dan Malik tetap sederhana. Istrinya tetap berjualan di pasar. Nyaris tak ada yang berubah. Hanya fisik yang sedikit berbeda. Malik agak kurus dikuras pikiran, rambutnya panjang seperti tak terurus, kulitnya semakin legam.

Malik bekerja setiap hari. Ia ingin tahu apa yang terjadi di masyarakatnya. Ia masih suka ke pasar dengan baju kumal untuk sekadar membeli keperluan dapur rumahnya. Ia berjalan kaki menuju pasar. Ia menaiki kendaraan umum, ia berangkat ke kantornya dengan berjalan kaki. 

Hal yang bahkan anak buahnya sekalipun tak pernah lakukan. Tak ada seorang pun pegawai di kantornya yang berjalan kaki. Justru ia yang penguasa kantor yang malah berjalan kaki menuju kantor. 

Semua masih ia lakukan karena ingin tahu apa yang sebenarnya menyebabkan buruknya lalu lintas di kotanya. Ia ingin tahu masalah yang dihadapi para pedagang. Pekerjaan itu ia lakukan terus menerus hingga pelan-pelan negerinya mulai bagus.        

Ia lebih banyak di luar dari pada di kantornya. Ia lebih suka bekerja di tengah-tengah masyarakatnya. Hingga suatu kali tuduhan datang. Tudingan menohok itu seperti menamparnya. Orang-orang di masyarakatnya menduga selama menjabat ia malas ke kantor, tidak bekerja. Sampai ia pun coba diadili di balai negeri yang dihadiri sesak masyarakat.

Orang-orang sudah berkumpul mau mendengar keterangannya. Pak pembesar pun datang. Ia berdiri di hadapan rakyatnya yang seperti ingin menikamnya. Sang pembesar memulai tanyanya kepada Malik.

"Apa benar yang dituduhkan itu kalau selama ini engkau tidak bekerja dengan baik. Engkau selalu tidak ada di kantor. Apa yang engkau kerjakan selama ini?"

Malik terdiam sesaat. Napasnya tertahan. Dadanya seperti pecah. Pelan-pelan lalu ia berkata. "Demi Tuhan aku telah berusaha bekerja dengan sebaiknya. Aku tahu ini adalah pekerjaan berat dan aku juga tahu hal semacam ini pasti akan terjadi," kini ia menangis sambil berusaha melanjutkan perkataannya.

"Maafkan aku rakyatku. Ini adalah kesalahanku. Seharusnya aku tidak saja sibuk membenahi tata ruang dan juga penunjang di negeri ini. Tapi aku juga harusnya memperbaiki kalian. Memajukan akal pikiran kalian. Sekarang ini biarkan saja aku mundur." Malik tertunduk diam. Sambil membersihkan matanya.     

Seluruh hadirin pun terdiam lama hingga seorang yang tua renta berdiri. Ia memukul-mukul bangku. Tiba-tiba ia berteriak-teriak. "Apa kalian semua yang ada di sini tak tahu. Lelaki yang sedang coba kalian adili ini adalah lelaki yang mulia. Kalian tidak tahu itu. Kalian kira dia malas bekerja, tak pernah ada di kantornya. Dia sibuk bekerja di tengah-tengah kalian. 

Apa kalian kenali lelaki yang saban hari berjalan kaki menuju kantor negeri dengan penutup kepala? Lelaki itu adalah pemimpin kalian. Kepala negeri. Apa kalian juga tahu lelaki yang kerap menaiki kendaraan umum dengan belanjaan sayur-sayuran dari pasar di pagi hari yang gelap? Lelaki itu adalah Malik. Ia lebih banyak bekerja di dekat kita. Tapi kita tak menyadarinya. Maka sekarang saatnya ia mundur. Apa kalian ikhlas?"     

"Apa kalian ikhlas jika Malik mengundurkan dirinya," tanya lelaki tua itu sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Orang-orang pun menangis. Mereka menyadari kesalahan mereka malam itu. Dan mereka akan kehilangan Malik.     

Malik berhenti sebagai kepala negeri. Ia hidup seperti biasanya. Hanya ia telah berpenyakit yang lalu mengantarkannya pada takdir kematiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun