Malik bekerja setiap hari. Ia ingin tahu apa yang terjadi di masyarakatnya. Ia masih suka ke pasar dengan baju kumal untuk sekadar membeli keperluan dapur rumahnya. Ia berjalan kaki menuju pasar. Ia menaiki kendaraan umum, ia berangkat ke kantornya dengan berjalan kaki.Â
Hal yang bahkan anak buahnya sekalipun tak pernah lakukan. Tak ada seorang pun pegawai di kantornya yang berjalan kaki. Justru ia yang penguasa kantor yang malah berjalan kaki menuju kantor.Â
Semua masih ia lakukan karena ingin tahu apa yang sebenarnya menyebabkan buruknya lalu lintas di kotanya. Ia ingin tahu masalah yang dihadapi para pedagang. Pekerjaan itu ia lakukan terus menerus hingga pelan-pelan negerinya mulai bagus. Â Â Â Â
Ia lebih banyak di luar dari pada di kantornya. Ia lebih suka bekerja di tengah-tengah masyarakatnya. Hingga suatu kali tuduhan datang. Tudingan menohok itu seperti menamparnya. Orang-orang di masyarakatnya menduga selama menjabat ia malas ke kantor, tidak bekerja. Sampai ia pun coba diadili di balai negeri yang dihadiri sesak masyarakat.
Orang-orang sudah berkumpul mau mendengar keterangannya. Pak pembesar pun datang. Ia berdiri di hadapan rakyatnya yang seperti ingin menikamnya. Sang pembesar memulai tanyanya kepada Malik.
"Apa benar yang dituduhkan itu kalau selama ini engkau tidak bekerja dengan baik. Engkau selalu tidak ada di kantor. Apa yang engkau kerjakan selama ini?"
Malik terdiam sesaat. Napasnya tertahan. Dadanya seperti pecah. Pelan-pelan lalu ia berkata. "Demi Tuhan aku telah berusaha bekerja dengan sebaiknya. Aku tahu ini adalah pekerjaan berat dan aku juga tahu hal semacam ini pasti akan terjadi," kini ia menangis sambil berusaha melanjutkan perkataannya.
"Maafkan aku rakyatku. Ini adalah kesalahanku. Seharusnya aku tidak saja sibuk membenahi tata ruang dan juga penunjang di negeri ini. Tapi aku juga harusnya memperbaiki kalian. Memajukan akal pikiran kalian. Sekarang ini biarkan saja aku mundur." Malik tertunduk diam. Sambil membersihkan matanya. Â Â Â
Seluruh hadirin pun terdiam lama hingga seorang yang tua renta berdiri. Ia memukul-mukul bangku. Tiba-tiba ia berteriak-teriak. "Apa kalian semua yang ada di sini tak tahu. Lelaki yang sedang coba kalian adili ini adalah lelaki yang mulia. Kalian tidak tahu itu. Kalian kira dia malas bekerja, tak pernah ada di kantornya. Dia sibuk bekerja di tengah-tengah kalian.Â
Apa kalian kenali lelaki yang saban hari berjalan kaki menuju kantor negeri dengan penutup kepala? Lelaki itu adalah pemimpin kalian. Kepala negeri. Apa kalian juga tahu lelaki yang kerap menaiki kendaraan umum dengan belanjaan sayur-sayuran dari pasar di pagi hari yang gelap? Lelaki itu adalah Malik. Ia lebih banyak bekerja di dekat kita. Tapi kita tak menyadarinya. Maka sekarang saatnya ia mundur. Apa kalian ikhlas?" Â Â Â
"Apa kalian ikhlas jika Malik mengundurkan dirinya," tanya lelaki tua itu sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Orang-orang pun menangis. Mereka menyadari kesalahan mereka malam itu. Dan mereka akan kehilangan Malik. Â Â Â