"Malam ini kami harus menemukan orang yang akan maju di pemilihan kepala negeri nanti. Mereka itu adalah orang-orang yang benar pas dan memiliki kemampuan memimpin. Kami menginginkan kepala negeri yang terbaik serta bisa berbuat memajukan peradaban masyarakat kita.Â
Beberapa waktu sebelum rapat ini mulai kami telah dapat berita bahwa orang-orang yang dicalonkan pada rapat pertama telah memundurkan diri. Entah apa alasan mereka. Hanya Malik yang tak terdengar keputusannya. Dan ini pun ia tak hadir," tutup pembesar negeri.
Tiba-tiba seorang anggota rapat menyahut, "Pak, bagaimana kalau Malik saja yang menjadi kepala negeri. Bukankah hanya dirinya yang tak mundur? Kalau soal ketidakhadiran Malik ini, saya bersaksi bahwa ia memang berhalangan disebabkan istrinya yang sedang sakit. Jiwanya adalah jiwa pemimpin. Ia pantas menjadi kepala negeri, Pak." Â Â Â Â Â
"Kalau begitu panggillah Malik ke sini! Saya mengutus beberapa orang untuk ke rumahnya dan ia dibawa ke sini. Saya ingin mendengar kepastiannya langsung," kata sang pembesar.
Malik pun dijemput dan dibawa ke balai negeri malam itu juga. Sesampainya di hadapan sang pembesar Malik pun seperti kebingungan tetapi wajahnya tetap kukuh, ia tegak. Dari wajahnya memang telah menyiratkan isyarat seorang pemimpin.
"Benar apa kau ingin atau bersedia menjadi kepala negeri, Malik?"
"Tuan, aku tidak pernah berpikir untuk sampai ke hadapanmu dan dibebani pertanyaan ini. Aku sesungguhnya tak menyenangi kepentingan ini. Ini urusan besar. Urusan yang boleh jadi bisa menyeretku sampai terjungkal ke lubang neraka. Aku tidak sampai hati naik memikul pekerjaan seberat ini. Lagi pula apa yang aku punya sehingga orang-orang menginginkanku? Aku mungkin tidak akan bisa," jawab Malik dengan suara tenangnya.
Sejenak seisi ruang aula terdiam. Orang-orang sedang mendengarkan bagaimana Malik berbicara serius dengan sang pembesar negeri. Tak lama sang pembesar yang bijak pun melanjutkan pertanyaannya, "jadi, kiranya bagaimana engkau inginkan? Di sini mereka mau engkau menjadi kepala negeri sedang di lain diri engkau justru keberatan. Tidakkah engkau berpikir lagi untuk menerima ini. Bukankah kami semua memerlu kepala yang seperti engkau ini, dan bila mana yang lainnya dari pesaing engkau mundur maka kenapa engkau tidak memilih mengambil ruang kesempatan ini?"
"Tak perlu engkau risau berat pekerjaan ini. Ini hanya pekerjaan membangun dan mengepalai rakyat, kami akan bantu engkau. Ini pekerjaan kita semua," lanjut sang pembesar.
Malik terdiam. Rasa-rasanya ia seperti berat berkata meski itu sekata pun. Ia seperti merasa ditusuk sehingga kesulitan mencabut duri yang menusuk-nusuk itu. Ia sekarang berada pada kebingungan yang besar.Â
Ia berpikir, mana bisa lelaki sepertinya menjadi kepala negeri sedang ia sadar itu bukan pekerjaan ringan yang penuh leha-leha. Namun di sisi berlainan ia juga paham kondisi di masyarakatnya yang memang gersang akan kualitas yang diimpi-impikan kebanyakan masyarakat di tempat-tempat lain. Saat itu ia pun mulai memberanikan diri menjawab.