Mohon tunggu...
Edwin Pratama
Edwin Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berpuisi, berdoa, dan berupaya.

Keindahan terbesar ialah ketika hujan tiba, payung-payung itu tidak dibiarkan untuk meneduhi kepalanya seorang sendiri. Tapi, mampu meneduhkan pelbagai kepala yang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Contoh Cerpen Terbaik untuk Penugasan Sekolah: Sastra Karunia Semesta

28 Juni 2021   21:15 Diperbarui: 28 Juni 2021   21:14 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa itu cerpen? Apakah kamu salah seorang yang termasuk suka dalam membaca cerpen?

Yap, cerpen merupakan suatu karya sastra dalam bentuk tulisan yang mengisahkan tentang sebuah cerita fiksi 

lalu dikemas secara pendek, jelas dan ringkas. Cerpen biasanya hanya mengisahkan cerita pendek tentang 

permasalahan yang dialami satu tokoh saja.

Cerpen juga bisa disebut sebagai fiksi prosa karena cerita yang disuguhkan hanya berfokus 

pada satu konflik permasalahan yang dialami oleh tokoh mulai dari pengenalah karakter hingga penyelesaian permasalahan 

yang dialami oleh tokoh. Cerpen juga terdiri tidak lebih dari 10.000 kata saja.

Nah! bagi kamu yang bingung banget mengenai contoh cerpen untuk tugas sekolah, kuliah, maupun ingin membuat cerpen sendiri.

Mimin ada satu contoh naskah cerpen yang barangkali dapat menyejukkan dahaga kamu dari kebimbangan-kebimbangan tersebut.

Let's go....Contoh Cerpen :


"Sastra Karunia Semesta."

Ia adalah seorang anak laki-laki cukup umur yang di besarkan dalam dekapan 

syair indah nan memesona dari Ayah dan Ibunya.

Sastra sangat menyukai ilmu kesusasteraan yang bertajuk; puisi dan prosa sejak dini.

Dalam bersyair; Sastra senantiasa menatap awan sambil mengantongi diksi-diksi liar dalam kepalanya.

Hanya bermodal sebuah pena dan secarik kertas yang selalu menempel erat dalam saku bajunya, 

Sastra terlihat begitu lihai dalam menyusun bait demi bait aksaranya.

Selepas berhasil menyusun naskah-naskahnya itu, Sastra memilih untuk kembali 

ke tempat asalnya, yaitu; rumah yang di huni dengan Ayah dan Ibunya.

Sastra anak tunggal, Ayahnya adalah seorang penyair ulung, dan Ibunya adalah guru 

Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Setelah berjalan sekian meter dari tempat favoritnya untuk mereduksi penat. 

Sampailah Sastra pada rumahnya yang jauh dari kemegahan.

Hari ini adalah hari minggu. Ya, segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan belajar-mengajar libur. 

Begitupun dengan Ayah dan Ibunya yang tengah libur bekerja.

Tak lama berselang, Sastra mendekat pada sebuah meja makan. 

Meja makan itu telah tersaji pelbagai macam menu makan siang yang telah dihidangkan Ibu Sastra.

"Sas, sini makan dulu bareng Ayahmu.",
ucap Ibunya sambil memegang kepala buah hatinya itu.

"Iyah, Bu."
jawab Sastra mengiyakan tawaran ibunya tersebut.

"Bu... sehabis makan. Ayah dan Ibu jangan lekas pergi 

meninggalkan ruangan ini, ya, hehe."
sambung Sastra kepada Ayah dan Ibunya.


"Iya nak, pasti mau diskusi tentang tulisanmu hari ini, bukan?"

tebak Ayah Sastra.

"Iyah, hehe, tahu aja sih Ayah."
tutup Sastra dengan buah senyum yang ia tampilkan.


Itulah keluarga Sastra, entah mengapa aku pun turut iri akan keharmonisan yang tercipta dalam keluarga kecil ini. 

Beruntunglah kau Sastra yang telah di anugerahlan Tuhan akan keluarga keluarga yang harmonis.

Selepas makanan yang di santap oleh keluarga harmonis tersebut telah sampai pada perutnya masing-masing.

Sastra kembali melanjutkan dialog yang sempat tertunda pada Ayah dan Ibunya di meja makan tersebut. 

Sementara, Ibu Sastra memilih untuk merapikkan makanan yang telah habis tersantap 

dan segera membawanya ke arah westafel untuk memberishkan sisa-sisa makanan yang masih menempel di piring.

Meja makan kini hanya di huni oleh Sastra dan Ayahnya saja.

"Ayah... tadi saat Sastra pergi keluar rumah, Sastra telah membuat sebuah naskah. 

Boleh aku minta pendapat dari Ayah mengenai naskahku?"
ucap Sastra, sambil menyerahkan secarik kertas 

beserta pena yang ia ambil dari saku bajunya.

"Coba sini Ayah lihat."

jawab Ayah dan Ibu Sastra.

Naskah itu ia beri judul, "Puisi yang Hilang"

-Puisi yang Hilang-

"Terlalu banyak pengaruh luar yang berceloteh tentang ini dan itu.

Dan...

Hilang sudah arah langkah puisi-puisi nan manis, mereka tersesat, 

dan lebih dari setahun ini ia tidak lagi kembali pada tempat yang layak.

Para pemoles buku tengah sibuk mencari pangsa pasar dan trend yang mempunyai nilai 

permintaan nan tinggi. Penulis dengan cinta kasih turut tersingkir hembusan ombak yang bertajuk 

'target pasar', penulis itu pun termenung terhimpit karang.

Lantas...

Kemana para puisi-puisi itu pergi? 

Tidakkah engkau melihatnya, Tuan, Nyonya?

Atau...
Apakah ia tidak akan pernah kembali lagi? 

Apa mungkin karana kita yang enggan memberinya tempat?

Ahh sudahlah...
Aku hanya bisa mengucap;

 selamat datang dalam era puisi-puisi yang tidak lagi memiliki jiwa."

Selepas membaca naskah dari Sastra, seketika jiwa Ayah Sastra bergetar, 

dan dengan sontak mengatakan;



"Sas... naskahmu mengandung satire?, ada apa denganmu?"

tanya Ayah, sambil memandang kedua kelopak mata anak muda yang ada di hadapannya.



"Hehe... maaf yah! Bukannya seperti itu. Tapi, begitulah sekiranya yang Sastra rasakan 

mengenai kesusasteraan saat ini.",

"Memangnya, pada jaman Ayah dahulu, bagaimana keadaannya 

mengenai karya sastra, khususnya puisi?"
sambung Sastra, mengajukan pertanyaan.

"Nak! Jaman kini telah berubah dan selalu mengalami perubahan dari setiap waktu ke waktunya. 

Tapi, walaupun begitu; Ayah hanya berpesan bahwa kala kau menulis karya 

entah puisi atau lainnya. Tetaplah menjadi dirimu."
jawab Ayah, bersama wejangan yang  seketika keluar dari sangkarnya.

Ayah Sastra lahir di Jakarta, empat puluh lima tahun yang silam.

Pada jamannya (Ayah Sastra). Tentu, karya sastra telah banyak mengalami perubahan 

sampai saat ini. Baik dalam puisi, prosa, dan lain sebagainya.

Ayah Sastra menjelaskan, bahwa; contoh yang sederhana dari perbedaan antara puisi lama 

dan puisi modern ialah dari sajak, larik, dan rimanya.

Maksudnya;
Penggunaan majas menjadi ciri khas dalam puisi lama, 

dan senantiasa kita temukan bersajak A-A, dalam puisi lama.
Namun, pada puisi modern tidak terikat akan itu.

Setelah mendengarkan penjelasan dari Ayahnya;
Sastra seketika menundukkan kepalanya, seakan ada yang tidak beres dalam nuraninya.

Sastra tetap berpegang teguh terhadap Idealismenya.


 Dan nampaknya; ia hanya rindu akan barisan larik, ritma, dan rima yang terdapat pada puisi lama, 

yang kini tengah jarang ditemukan pada era modern saat ini.

TAMAT...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun