Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lentera Tua

15 Juni 2022   13:47 Diperbarui: 15 Juni 2022   14:02 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apakah lentera itu ada hubungan dengan Pak Tjok?" diam-diam pikiran Pak Malis mengelana. "Mengapa dia memelototi tanda lahirku? Apakah huruf 'LAM' pada lentera itu berarti Lambing? Apakah aku akan dituduh mencuri barang miliknya? Dia pasti sudah sampai mencari orang pintar. Dan mendapati ciri pencurinya bertanda lahir sepertiku. Apakah aku akan ditangkap? Dibui?" pikiran Pak Malis semakin liar. Sinar matanya mulai tak tenang. Sesekali matanya melirik ke arah lentera yang sedang disembunyikan. Lain detik matanya menyapu ke sekitar. Kalau-kalau ada polisi mengawasi.

Kalau benar Pak Tjokro datang untuk menggeledahnya, dan mengambil lentera itu, ia sudah siap. Yang pasti ia merasa aman dan benar. Karena ia tidak mencuri lentera itu. Ia membelinya dari gudang milik Pak Haji. Dan tentu Pak Haji pun harus ikut bertanggung jawab.

Ketakutannya mulai mereda. Tetapi ia tidak rela. Masa kejayaan berjualan barang bekas baru saja dimulai. Sedang dirasakannya. Belum puas meneguk nikmatnya hidup. Bak sedang kehausan dan mendapat kesempatan meneguk segelas air segar, namun baru dinikmati seteguk, air dan gelasnya sudah akan lenyap.

Apalagi belum terpenuhi keinginannya mengumpulkan uang untuk membiayai sekolah anaknya yang sempat putus. Juga rencana untuk sekedar memperbaiki rumah kontrakan tuanya dari lapuk dan kebocoran. Dan sedikit lebih lama memperpanjang masa sewanya. Seakan sekarang ia merasakan benar jungkir baliknya kehidupan. Bukan hanya di pikiran saja. Sekarang sedang di depan matanya.

"Maafkan saya Pak Malis, kalau boleh sekali lagi saya mohon, bolehkah saya tahu, apakah Pak Malis memiliki bekas luka di kulit kepala bagian kanan? Semacam bekas luka yang tidak ditumbuhi rambut," kata Pak Tjokro memecah keheningan.

Pak Malis semakin merasa terpojok. Di kepalanya memang ada bekas luka. Dan luka di kepalanya itu sejatinya sudah tidur tenang selama lebih dari lima puluh tahun. Namun hari ini luka itu terusik. Luka itu bisa memporakporandakan hidupnya. Pak Malis semakin gundah. Apakah artinya semua ini. Apakah hidupnya akan semakin terperosok. Oleh karena lentera itu? Sempat terlintas rasa sesal di pikirannya. Mengapa tidak dijual saja sang lentera itu.

Ia tidak tahu dari mana datangnya luka itu. Mak Jipah, emaknya sendiri tidak pernah bercerita tentang itu. Emaknya terlalu sibuk menjadi pemulung. Bahkan sampai akhir hayatnya, emak juga tidak pernah menceritakan di mana ayahnya berada. Emaknya hanya mengatakan, ayahnya sudah pergi jauh saat ia masih kecil. Sebagai sebuah keluarga melarat, hal semacam itu, urusan silsilah keluarga adalah urusan remeh temeh. Tak penting sama sekali. Ada yang jauh lebih penting dari itu. Yakni urusan perut.

Belum reda kegalauan Pak Malis, kalimat Pak Tjokro berlanjut. "Kalau benar Pak Malis memiliki luka di kulit kepala itu, saya pastikan Pak Malis adalah adik kandung saya. Pak Malis adalah Danan Djaja Lambing. Adik saya yang sangat saya rindukan. Luka di kepala adik saya itu di dapat saat ia  berumur dua tahun, ia sedang berlarian dan terpeleset jatuh. Kepalanya membentur lentera yang belum terpasang. Iya, saat itu kami sedang membangun rumah baru. Darah mengucur saat itu. Dan ayah kami segera membawanya ke rumah sakit. Beruntung adik saya selamat. Tidak mengalami goncangan yang berarti. Terbukti setelah kejadian itu, dia tetaplah seperti sedia kala."

Suasana hening. Pak Malis ternganga. Bibirnya bergetar. Matanya kuat menatap lekat Pak Tjokro. Kemudian dari bibir tuanya meluncur kalimat, "Lentera?"

Segera Pak Tjokro menyahut, "Iya, benar. Danan, adik saya itu kepalanya terbentur lentera. Lentera yang akan dipasang di beranda depan rumah yang sedang dibangun. Saat itu lentera masih tergeletak. Ada sepasang. Oh iya, saya masih ingat. Di lentera itu juga, ayah kami khusus memesan agar diberi nama Lambing. Karena ada sepasang maka satu lentera diberi nama 'LAM' dan satunya lagi diberi tulisan 'BING'. Dengan tinta emas."

Pak Malis masih menguasai dirinya. Lima puluh tahun hidup serba kekurangan, menempa dirinya tidak mudah terbelalak dengan kemewahan. Hingga ucapan Pak Tjokro berlanjut, "Namun sial, saat kami tidak di rumah, hanya ada pembantu saja, rumah kami kemalingan. Pembantu semua diikat. Rumah kami digasak. Satu lentera dicuri. Tinggal satunya akhirnya kami simpan saja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun