Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lentera Tua

15 Juni 2022   13:47 Diperbarui: 15 Juni 2022   14:02 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pandangan mereka beradu, si bapak tua itu segera melemparkan kalimat. "Terima kasih ya Pak, sudah cepat menolong saya," ujar sang bapak tua membuka percakapan.

"Oh iya.. Sama-sama Pak..Bapak yang kecelakaan kapan hari itu ya? Hampir lupa saya. Maklumlah Pak, berjualan seperti ini, banyak bertemu orang. Dan saya kurang jago menghafal wajah.. Hehe..," sahut Pak Malis berusaha mengimbangi si bapak tua. Maklum, si bapak tua terlihat perlente. Berkemeja bagus dan bersepatu mengkilap. "Bagaimana keadaan bapak sekarang? Sepertinya sudah baik-baik saja..," sambung Pak Malis sambil memperhatikan si bapak tua lekat-lekat.

"Saya Tjokro. Kenalkan nama saya Tjokro Lambing. Orang-orang memanggil saya Pak Tjok," ujar si bapak tua langsung mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

Salam dibalas. "Oh.. Saya Pak Malis. Iya, panggil Malis saja. Senang bisa bertemu bapak lagi," sahut Pak Malis pendek sambil membagi perhatian dengan pengunjung lapak. Ia tak mau kehilangan kesan bersemangat melayani pengunjung. Bisa-bisa tidak makan anak istrinya.

"Bisa kita bicara sebentar?" suara serak Pak Tjok seperti memohon.

"Boleh, silakan. Saya biasa ngobrol dengan siapa saja, di mana saja, berlama-lama pun tak apa," sahut Pak Malis sembari menyunggingkan senyum tanda tidak keberatan.

Ia mulai merasa mendapat kawan bicara yang tidak main-main. Bagaimana tidak, seumur hidupnya, baru kali ini ada orang yang akan ngobrol dengannya mesti minta ijin dulu.

Padahal ia sudah merasa menjadi orang kalah. Apa pentingnya orang kalah? Apa pedulinya orang-orang perlente pada orang-orang kalah? Apalagi dengan manusia petugas berseragam dan bertonfa itu. Mahluk Tuhan yang cukup hidup dengan membentak saja sudah sanggup menghidupi anak istri.

Walau kehidupan kerap membuat otaknya jungkir balik, Pak Malis sadar, bahwa peradaban dibangun bukan hanya dengan otak cemerlang tetapi juga dengan darah dan keringat manusianya.

"Begini Pak Malis..."

Suara Pak Tjokro terputus. Tatapannya jatuh pada tanda lahir Pak Malis. Sebuah bulatan hitam sebesar koin uang kepeng tepat di leher di bawah telinga kiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun