"Aku akan mengalahkanmu wahai mesin sialan....," gerutunya suatu ketika.
Masa sekolah dulu, Modi Arr terhitung pemuda cerdas. Ia menyukai pelajaran yang menguras otak. Tak pelak dalam urusan nalar dan logika ia diakui jempolan.
Dalam kamar kos yang hanya tiga kali empat meter itu, Modi Arr sudah lama membenamkan benih bercampur rasa balas dendam yang tak terperi. Benih itu rupanya akan segera bertunas, tumbuh cepat dan kemudian berbuah. Ia ingin segera mengetahui rasa buahnya.
Satu unit laptop terlihat letih menemaninya siang malam. Sudah banyak rupiah dikeluarkan agar terhubung dengan dunia maya. Sampai akhirnya mimpi itu akan menjadi kenyataan.
Kopi bercampur moka dalam cangkir keramik putih bergambar Chicago White Sox, sisa semalam masih tinggal seperempat. Asbak bambu petung berbibir hitam kena panas bara tembakau, penuh oleh puntung rokok.
Ia memilih merokok berat sejak usaha konstruksi yang dulu diselami, dan sempat berjaya, tumbang dan bangkrut hanya dalam sekejap. Perhitungan bisnisnya meleset. Beberapa diantaranya kena tipu. Bahkan sempat dituduh menipu dan dilaporkan ke pihak berwajib.
Pihak bank tidak ambil pusing. Seluruh hartanya tak mampu memberi perlindungan. Sampai namanya masuk dalam daftar hitam nan gelap dunia perbankan. Hingga ia sempat terlunta-lunta dari satu kota besar ke kota besar lainnya.
Ia sanggup mengibaratkan setiap hembusan asap rokok adalah enyahnya serpihan puing kehancuran masa silam. Kesanggupan yang menyelamatkannya untuk tidak menjadi gila.
Namun kemudian nasib berkata lain. Ia rupanya tidak diperkenankan merokok berat selama sisa hidupnya. Ia tertolong oleh lele. Iya, ikan berkumis yang terkenal itu.
Modi Arr yang dulu bermobil mewah dan bersepatu kulit domba mengkilap itu, sekarang harus mendorong gerobak membantu Bang Tamil berjualan lalapan ikan lele.
Upah dari hasil membantu Bang Tamil itulah digunakan untuk memulai menata hidup baru.