Keesokan harinya, seperti biasa mereka berjualan lagi. Tidak ada yang berubah. Orang-orang lalu lalang mengejar harapan.
Di pojok toko besar dekat perlintasan kereta, Ebu Lenath duduk di bangku kecil. Setia menunggu pembeli bensin ecerannya. Sesekali menyeka keringat dengan handuk kusam yang selalu mengalungi leher. Senyumnya sesekali mengembang. Namun kerap terlihat melamun.
Pandangannya jauh menembus cakrawala. Menjelajah bintang-bintang. Hingga sampai pada gugus bintang tertentu, dia mendapati mendiang istrinya sedang termenung.
Namun tiba-tiba, "Hey.. Bu... Ebu...," ujar seseorang sambil menepuk pundaknya. Ebu tersentak. Tukang tagih bulanan rumahnya tiba-tiba sudah di hadapannya.
"Ada apa ya Gan..?"
"Aku bawa kabar, bulan depan kau sudah harus pindah. Ada pelebaran jalur kereta. Rumah kau dan yang lain kena. Semua harus pindah." ujarnya sambil berlalu.
"Debbb..."
Dadanya seperti ada yang menghantam. Dia berusaha terlihat tenang.
"Masih ada waktu...," gumamnya lirih sambil memandangi Lenath yang sedang bermain di pinggir rel. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H