Derit suara pintu mengagetkan lelapnya Ebu Lenath. Mendiang istrinya sempat melambaikan tangan dalam lelap singkatnya itu.
Lenath, anak semata wayangnya sudah begitu perlahan membuka pintu kayu itu. Beberapa bagian bilah papannya sudah berlubang. Ujung siku bawah sudah termakan rayap. Mungkin sudah sebegitu dalam. Hingga tinggal cat hijau tua dan pelapis dasar catnya saja yang sekedar menempel.
"Nanti ayah olesi engselnya dengan minyak. Kau sudah beli kerupuk itu?" tanya Ebu Lenath sambil mengusap mata dengan punggung tangan kanan.
Lenath, yang sebentar lagi akan menamatkan sekolah dasar itu, hanya mengangguk sambil meletakan sebungkus pastik kecil di meja makan. Dan berlalu ke belakang. Ke bilik belakang. Dia ingin melihat apakah ayahnya sudah mengetahui apa yang mereka ditemukan sejak beberapa hari ini.
"Jangan kau apa-apakan dulu nak. Biar ayah yang mengerjakan..awas kau bisa terperosok," ujar ayahnya dari bilik depan.
"Sinilah kita makan dulu."
"Iya.. Iya.. Yah..," sahut Lenath kemudian menemui ayahnya.
Mereka berdua kemudian makan di tengah siang nan terik. Nasi putih berlauk kerupuk dengan sambal dan kecap. Hidangan sehari-sehari yang mereka kenal. Kalau hasil jualan bensin eceran sedang ramai, mereka bisa menambahkan menu dengan sayur asem dan beberapa potong tempe bacem.
Semuanya beli. Kecuali nasi. Ebu tidak terbiasa memasak. Sepeninggal istrinya sebelas tahun yang lalu, dia harus memasak nasi sendiri. Itupun beberapa hari dia lakukan sebelum akhirnya boleh dikata bisa memasak.
Mereka cuma berdua mendiami rumah sederhana itu. Rumah semi permanen. Berbilik tiga. Berdiri dekat dengan jalur rel kereta api. Rumah itu diberikan oleh mertuanya.
"Kau pakai saja rumah itu. Kalau ada yang menagih tiap bulannya, kau bayar saja. Jangan sekali-kali melawan," ucap mertuanya saat menyerahkan kunci pintu.
Penghidupan mereka bersumber dari berjualan bensin eceran. Meminjam tempat di pojokan toko besar dekat perlintasan rel kereta api. Ebu Lenath membayar beberapa rupiah setiap bulannya pada sang pemilik toko.
Hari itu bensin mereka sudah habis. Menghabiskan sisa hari sebelumnya.
Ebu Lenath sedang dalam gairah pikiran. Pikirannya sedang gesit meraba-raba. Meloncat ke sana kemari.
Beberapa hari sebelumnya dia sedang memperbaiki lantai di bilik belakang yang sudah rusak. Rabatan semennya yang tipis sudah lapuk. Hingga sempat jebol ketika sedang menggeser bak air.
Dia segera mencari tahu. Dia khawatir kalau-kalau rumah yang sudah diakrabinya itu turut jebol.
Begitu dikorek-korek dengan linggis, ternyata tanahnya malah terperosok lebih dalam. Beberapa jengkal. Dihunjamkan linggis beberapa kali, tanahnya terus menurun. Hingga akhirnya setelah sekian kali menghunjamkan linggis dengan maksud memadatkan, terdengar suara, "Taaang," seketika dia berhenti. Diperiksanya lekat-lekat dengan bantuan lampu senter.
"Oh ini pipa. Pipa apa ya?" desah Ebu dengan nafas kacau.
Segera dikorek lebih dalam agar bisa diperkirakan besarnya. Baru setengah lingkar pipa dia sudah bisa menerka. Pipa di hadapannya lumayan besar. Ada seukuran pahanya. Dia menerka-nerka pipa apa gerangan yang ada di bawah rumahnya itu.
Pipa air? Pembuangan? Rupanya dia tidak mau ambil pusing. Pendek kata dia berucap, "Aku harus mencari tahu. Ini pipa apa. Karena ada di bawah rumahku, aku berhak mengetahui ini pipa apa."
Pipa Bensin Tinggal Sebulan
"Ayo Yah..lanjut lagi ngebornya..," ujar Lenath melihat ayahnya selesai membasuh tangan.
"Baiklah..kau ingat apa pesan ayah?"
"Jangan bilang siapa-siapa. Kalau sampai ada yang tahu, kita bisa celaka," ujarnya meniru ucapan ayahnya beberapa hari yang lalu.
Proyek ngebor itupun berlanjut. Ebu menggunakan bor manual. Agar tidak mengundang perhatian. Sudah beberapa mata bor berganti. Rupanya pipa yang tebal. Namun akhirnya, hari keempat, sang pipa menyerah kalah.
Begitu ujung mata bor menembus dinding pipa, segera merembes cepat isinya membasahi alat bor. Dengan cepat aroma menyembur.
"Oh ini bensin.. Iya ini bensin..," ujar Ebu setengah berseru. Lenath turut menyaksikan.
Mata bor ditarik perlahan. Segera diganti dengan batang besi seukuran mata bor. Dibiarkan merembes begitu saja.
Pikirannya menjelajah kemana-mana. Dia sadar ini berbahaya. Ini melawan hukum. Apakah dia harus melaporkan? Tentu dia akan langsung ditangkap karena sudah melubanginya. Dia merasa serba salah. Melapor, ditangkap. Apalagi tidak melapor.
Kemudian dia teringat lambaian tangan mendiang istrinya saat terlelap siang tadi. Namun mendiang istrinya saat itu tidak tersenyum. Apalagi tertawa. Ebu Lenath bertambah pusing. Semua hal dihubung-hubungkan.
Akhirnya dia memanggil Lenath dan berucap, "Nak sekarang ingat pesan baru ayah, jangan bilang siapa-siapa. Kalau sampai ada yang tahu, kita bisa celaka, ditangkap polisi dan masuk penjara. Dan matilah kita."
Lenath tidak menyahut dia hanya mengangguk. Dia merasakan ayahnya berbeda. Pancaran air muka ayahnya tidak seperti yang biasa dia lihat. Namun dia tidak peduli apa yang sedang dialami ayahnya. Dia hanya memiliki ayahnya itu saja. Dia tidak mau terpisah dengan ayahnya.
"Besok kita jualan lagi. Seperti hari-hari yang lain," ujar ayahnya memecah keheningan.
Keesokan harinya, seperti biasa mereka berjualan lagi. Tidak ada yang berubah. Orang-orang lalu lalang mengejar harapan.
Di pojok toko besar dekat perlintasan kereta, Ebu Lenath duduk di bangku kecil. Setia menunggu pembeli bensin ecerannya. Sesekali menyeka keringat dengan handuk kusam yang selalu mengalungi leher. Senyumnya sesekali mengembang. Namun kerap terlihat melamun.
Pandangannya jauh menembus cakrawala. Menjelajah bintang-bintang. Hingga sampai pada gugus bintang tertentu, dia mendapati mendiang istrinya sedang termenung.
Namun tiba-tiba, "Hey.. Bu... Ebu...," ujar seseorang sambil menepuk pundaknya. Ebu tersentak. Tukang tagih bulanan rumahnya tiba-tiba sudah di hadapannya.
"Ada apa ya Gan..?"
"Aku bawa kabar, bulan depan kau sudah harus pindah. Ada pelebaran jalur kereta. Rumah kau dan yang lain kena. Semua harus pindah." ujarnya sambil berlalu.
"Debbb..."
Dadanya seperti ada yang menghantam. Dia berusaha terlihat tenang.
"Masih ada waktu...," gumamnya lirih sambil memandangi Lenath yang sedang bermain di pinggir rel. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H