"Baiklah..kau ingat apa pesan ayah?"
"Jangan bilang siapa-siapa. Kalau sampai ada yang tahu, kita bisa celaka," ujarnya meniru ucapan ayahnya beberapa hari yang lalu.
Proyek ngebor itupun berlanjut. Ebu menggunakan bor manual. Agar tidak mengundang perhatian. Sudah beberapa mata bor berganti. Rupanya pipa yang tebal. Namun akhirnya, hari keempat, sang pipa menyerah kalah.
Begitu ujung mata bor menembus dinding pipa, segera merembes cepat isinya membasahi alat bor. Dengan cepat aroma menyembur.
"Oh ini bensin.. Iya ini bensin..," ujar Ebu setengah berseru. Lenath turut menyaksikan.
Mata bor ditarik perlahan. Segera diganti dengan batang besi seukuran mata bor. Dibiarkan merembes begitu saja.
Pikirannya menjelajah kemana-mana. Dia sadar ini berbahaya. Ini melawan hukum. Apakah dia harus melaporkan? Tentu dia akan langsung ditangkap karena sudah melubanginya. Dia merasa serba salah. Melapor, ditangkap. Apalagi tidak melapor.
Kemudian dia teringat lambaian tangan mendiang istrinya saat terlelap siang tadi. Namun mendiang istrinya saat itu tidak tersenyum. Apalagi tertawa. Ebu Lenath bertambah pusing. Semua hal dihubung-hubungkan.
Akhirnya dia memanggil Lenath dan berucap, "Nak sekarang ingat pesan baru ayah, jangan bilang siapa-siapa. Kalau sampai ada yang tahu, kita bisa celaka, ditangkap polisi dan masuk penjara. Dan matilah kita."
Lenath tidak menyahut dia hanya mengangguk. Dia merasakan ayahnya berbeda. Pancaran air muka ayahnya tidak seperti yang biasa dia lihat. Namun dia tidak peduli apa yang sedang dialami ayahnya. Dia hanya memiliki ayahnya itu saja. Dia tidak mau terpisah dengan ayahnya.
"Besok kita jualan lagi. Seperti hari-hari yang lain," ujar ayahnya memecah keheningan.